Beban Kurikulum Pendidikan di Sekolah
November 01, 2016
Beban kurikulum pendidikan di sekolah – Jika anda sebagai orangtua yang memiliki anak sekolah, apakah anda merasakan betapa beratnya beban belajar yang ditanggung anak-anak?
Ya, Mereka mendapat tugas cukup banyak untuk di bawa pulang ke rumah sehingga anda tak sampai hati lagi minta tolong pada anak untuk melakukan sesuatu yang bisa dilakukan anak.
Dan jika anda sebagai guru, apakah merasakan betapa beratnya beban tugas mengajar setiap hari?
Jadwal mengajar yang padat, berjibaku menghadapi peserta didik dengan segala sikap dan tingkah laku beraneka ragam.
Itu belum termasuk tugas administrasi dan tugas lain yang harus dikerjakan oleh guru sebagai bukti fisik kegiatan sebagai guru profesional.
Bagaimana dengan siswa? Apakah merasakan betapa beratnya tugas belajar yang diberikan oleh guru di sekolah?
Namun perlu disadari kalau semua itu, konon untuk kepentingan siswa juga? Agar siswa memahami dan mendalami materi pelajaran yang diberikan guru di sekolah.
Tentu saja masalah beratnya beban kurikulum pendidikan sangat menarik untuk dicermati dan diperbincangkan. Baik selalu orangtua murid, guru maupun sebagai murid yang menjadi objek sekaligus subjek pendidikan.
Namun demikian perbincangan itu barangkali hanya sekadar menjadi sebuah diskusi belaka karena kebijakan tentang pelaksanaan kurikulum pendidikan sedang dilaksanakan.
Kurikulum pendidikan yang berlaku sekarang diyakini mampu mendongkrak kualitas pendidikan di sekolah.
Kurikulum pendidikan
Konon, kurikulum pendidikan dikembangkan berdasarkan tuntutan perkembangan zaman dan perkembangan lainnya. Oleh sebab itu pemerintah sudah menambah struktur dan mutan kurikulum.
Sepertinya, yang menjadi objek pengembangan kurikulum bukan kurikulumnya
melainkan guru, siswa dan orangtua
siswa.
Program peningkatan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru melalui
sertifikasi benar-benar membuat guru berjibaku menyiapkan administrasi
perangkat pembelajaran.
Semua itu disiapkan untuk memasok ilmu pengetahuan ke
batok kepala siswa. Jika tidak cukup waktu pagi hari segera dilanjutkan sore hari.
Baca juga: Simbol Beratnya Beban Belajar Siswa
Beratnya beban kurikulum
Belajar adalah tugas siswa namun perlu dipertimbangkan kemampuan dan
perkembangan otak siswa. Beban kurikulum belajar benar-benar membuat siswa
tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain.
Belajar tidak mencukupi
lagi tatap muka pagi melainkan harus ditambah sore hari.
Mengajar adalah tugas guru namun perlu disesuaikan dengan kemampuannya
sebagai manusia.
Tugas mengajar 24 jam tatap muka (wajib) dan ditambah diluar
jam tatap muka menjadi 37,5 jam perminggu, sangat luar biasa. Kalau perlu guru
dan siswa pulang sore setiap hari.
Orangtua sangat peduli dengan pendidikan. Apapun yang dilakukan oleh
pihak sekolah, orang tua susah untuk membantah.
Pekerjaan pokok sehari-hari
kadang-kadang terabaikan demi pendidikan anaknya. Panggilan pihak sekolah
kadang-kadang datang bertubi-tubi.
Alasannya sederhana saja, membicarakan
kemajuan pendidikan anak di sekolah.
Jangan abaikan aspek humanisme
Ada kecendrungan bahwa pendidikan mulai mengabaikan aspek humanisme.
Pendidikan mulai atau sudah menjadi komoditi politik pihak tertentu dengan
menjadikan pihak-pihak terkait pendidikan sebagai objek.
Peningkatan mutu
pendidikan dikhawatirkan hanya dijadikan sebagai jargon politik praktis untuk
kepentingan sesaat. Gejala ini dapat sobat rasakan di daerah sobat
masing-masing.
Belajar bagi anak seolah-olah hanya untuk mengejar perolehan nilai
evaluasi murni (NEM). Pemerintah berusaha mendorong pihak sekolah dan orang tua
untuk mengejar prestasi NEM.
Maka pantaslah, jika nilai ujian murni (NEM)
melorot pada suatu sekolah, daerah kabupaten/kota, pihak yang mengelola
pendidikan seperti kebakaran jenggot dan takut terkena Imbasnya.
Jangan lupa Baca: Kurikulum Itu Apa, dan Untuk Siapa?
Seyogyanyalah, hakikat pendidikan dikembalikan pada formasi semula.
Pendidikan itu mencerdaskan anak bangsa dalam aspek kognitif (intelektual),
afektif (sikap dan tingkah laku) dan aspek psikomotorik (keterampilan dan
keahlian).
Untuk menjembatani semua ini kiranya perlu menelaah kembali kurikulum
apapun namanya agar tidak terlalu memberatkan orang tua, guru maupun siswa.***