Beban Kurikulum Pendidikan di Sekolah

Beban kurikulum pendidikan di sekolah  Jika anda sebagai orangtua yang memiliki anak sekolah, apakah anda merasakan betapa beratnya beban belajar yang ditanggung anak-anak?

Ya, Mereka mendapat tugas cukup banyak untuk di bawa pulang ke rumah sehingga anda tak sampai hati lagi minta tolong pada anak untuk melakukan sesuatu yang bisa dilakukan anak.

Dan jika anda sebagai guru, apakah merasakan betapa beratnya beban tugas mengajar setiap hari?

Jadwal mengajar yang padat, berjibaku menghadapi peserta didik dengan segala sikap dan tingkah laku beraneka ragam.

Itu belum termasuk tugas administrasi dan tugas lain yang harus dikerjakan oleh guru sebagai bukti fisik kegiatan sebagai guru profesional.

Bagaimana dengan siswa? Apakah merasakan betapa beratnya tugas belajar yang diberikan oleh guru di sekolah?

Namun perlu disadari kalau semua itu, konon untuk kepentingan siswa juga? Agar siswa memahami dan mendalami materi pelajaran yang diberikan guru di sekolah.

Tentu saja masalah beratnya beban kurikulum pendidikan sangat menarik untuk dicermati dan diperbincangkan. Baik selalu orangtua murid, guru maupun sebagai murid yang menjadi objek sekaligus subjek pendidikan.

Namun demikian perbincangan itu barangkali hanya sekadar menjadi sebuah diskusi belaka karena kebijakan tentang pelaksanaan kurikulum pendidikan sedang dilaksanakan.

Kurikulum pendidikan yang berlaku sekarang diyakini mampu mendongkrak kualitas pendidikan di sekolah.

Kurikulum pendidikan

Konon, kurikulum pendidikan dikembangkan berdasarkan tuntutan perkembangan zaman dan perkembangan lainnya. Oleh sebab itu pemerintah sudah menambah struktur dan mutan kurikulum.

Sepertinya, yang menjadi objek pengembangan kurikulum bukan kurikulumnya melainkan guru, siswa dan orangtua siswa.

Program peningkatan mutu pendidikan dan kesejahteraan guru melalui sertifikasi benar-benar membuat guru berjibaku menyiapkan administrasi perangkat pembelajaran.

Semua itu disiapkan untuk memasok ilmu pengetahuan ke batok kepala siswa. Jika tidak cukup waktu pagi hari segera dilanjutkan sore hari. 
Baca juga: Simbol Beratnya Beban Belajar Siswa

Beratnya beban kurikulum

Belajar adalah tugas siswa namun perlu dipertimbangkan kemampuan dan perkembangan otak siswa. Beban kurikulum belajar benar-benar membuat siswa tidak mempunyai waktu lagi untuk kegiatan yang lain.

Belajar tidak mencukupi lagi tatap muka pagi melainkan harus ditambah sore hari.

Mengajar adalah tugas guru namun perlu disesuaikan dengan kemampuannya sebagai manusia.

Tugas mengajar 24 jam tatap muka (wajib) dan ditambah diluar jam tatap muka menjadi 37,5 jam perminggu, sangat luar biasa. Kalau perlu guru dan siswa pulang sore setiap hari.

Orangtua sangat peduli dengan pendidikan. Apapun yang dilakukan oleh pihak sekolah, orang tua susah untuk membantah.

Pekerjaan pokok sehari-hari kadang-kadang terabaikan demi pendidikan anaknya. Panggilan pihak sekolah kadang-kadang datang bertubi-tubi.

Alasannya sederhana saja, membicarakan kemajuan pendidikan anak di sekolah.

Jangan abaikan aspek humanisme

Ada kecendrungan bahwa pendidikan mulai mengabaikan aspek humanisme.

Pendidikan mulai atau sudah menjadi komoditi politik pihak tertentu dengan menjadikan pihak-pihak terkait pendidikan sebagai objek.

Peningkatan mutu pendidikan dikhawatirkan hanya dijadikan sebagai jargon politik praktis untuk kepentingan sesaat. Gejala ini dapat sobat rasakan di daerah sobat masing-masing.

Belajar bagi anak seolah-olah hanya untuk mengejar perolehan nilai evaluasi murni (NEM). Pemerintah berusaha mendorong pihak sekolah dan orang tua untuk mengejar prestasi NEM.

Maka pantaslah, jika nilai ujian murni (NEM) melorot pada suatu sekolah, daerah kabupaten/kota, pihak yang mengelola pendidikan seperti kebakaran jenggot dan takut terkena Imbasnya.
Seyogyanyalah, hakikat pendidikan dikembalikan pada formasi semula.

Pendidikan itu mencerdaskan anak bangsa dalam aspek kognitif (intelektual), afektif (sikap dan tingkah laku) dan aspek psikomotorik (keterampilan dan keahlian).

Untuk menjembatani semua ini kiranya perlu menelaah kembali kurikulum apapun namanya agar tidak terlalu memberatkan orang tua, guru maupun siswa.***