Paradigma Pendidikan Murah
Juni 27, 2013
Paradigma pendidikan murah – Pendidikan murah
masih menjadi paradigma bagi pihak yang terkait dengan dunia pendidikan di
negeri ini. Terutama sekali pihak orangtua siswa yang menjadi penanggung jawab biaya pendidikan
anak.
Apalagi di tengah kondisi perekonomian yang semakin tidak menentu. Kenaikan harga BBM (bahan bakar minyak), tarif dasar listrik (TDL) telah memicu kenaikan
harga barang kebutuhan lainnya. Tidak hanya sampai di situ, bea dan jasa
ikut-ikutan naik.
Jika semua harga
barang, tarif, bea dan jasa semakin
melambung. Impian akan terwujudnya pendidikan murah
semakin melayang jauh di angkasa. Orangtua yang memiliki anak usia sekolah
akan banyak mengeluh dan mengurut dada.
Ancaman anak akan putus sekolah sudah
menganga di depan mata. Ini sangat tidak diharapkan untuk kelangsungan pendidikan anak.
Pemerintah sebenarnya
tidak pernah tinggal diam. Sejak
beberapa tahun yang lalu telah berusaha mengantisipasi kemungkinan dampak
perekonomian terhadap pendidikan anak.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang Sistem Pendidikan Nasional telah mengakomodir pendidikan anak.
Anak
yang berusia 7 sampai 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar. Pemerintah dan
pemerintah daerah menjamin terlaksananya wajib belajar bagi anak minimal
jenjang pendidikan dasar tanpa memungut biaya.
Menindaklanjuti
undang-undang tersebut, pemerintah
telah meluncurkan sebuah program
ekslusif berupa BOS (Dana Operasional Sekolah).
Program ini sudah sangat
memasyarakat. Tujuan program ini adalah untuk meringankan beban orangtua terhadap biaya pendidikan anak untuk menyukseskan program wajib belajar 9
tahun.
Sebagian orangtua yang
membaca ketentuan dalam pelaksanaan BOS mengharapkan pendidikan di Indonesia
akan gratis (?).
Sebagian lagi menginginkan biaya pendidikan
murah karena sebagian biaya operasional sekolah
sudah ditanggung oleh BOS.
Program pemerintah untuk
membebaskan siswa dari pungutan ini belum dapat mencapai sasaran secara
optimal.
Dana BOS memiliki batasan-batasan sehingga tidak dapat mengakomodasi seluruh biaya pelaksanaan pendidikan di
sekolah.
Akibatnya, beberapa kebutuhan pelaksanaan pendidikan di sekolah masih
dibebankan kepada orangtua siswa.
Sementara itu, biaya kebutuhan harian dan perlengkapan sekolah anak tidak dapat diakomodasi oleh bantuan BOS.
Kecuali, anak yang
berasal dari keluarga kurang mampu dan rawan terancam putus sekolah. Siswa
kategori ini harus dibebaskan dari berbagai pungutan dan mendapat bantuan
perlengkapan serta kebutuhan harian sekolah.
Memang, jangkauan
dana BOS sampai saat ini baru pada jenjang pendidikan dasar dan menengah. Hal
ini sepertinya untuk menyukseskan Program Wajib Belajar 9 Tahun.
Impian orangtua, program ini akan berlanjut pada wajib belajar 12 tahun yang memungkinkan
bantuan BOS akan diterapkan juga pada jenjang SMA/Sederajat.
Sepertinya, ongkos pendidikan murah belum akan terwujud menjadi
kenyataan.
Iuran yang dipungut setiap tahun melalui komite sekolah belum akan
berhenti selagi program peningkatan mutu sekolah masih jalan.
Berbagai
sumbangan masih terpaksa dipungut oleh pihak sekolah.
Namun diharapkan,
pihak sekolah tidak terlalu memberatkan orangtua siswa dalam menetapkan
besarnya iuran.
Apalagi sampai memaksa orangtua, mengancam siswa untuk
dikeluarkan dari sekolah. Ini adalah tindakan yang melanggar hak anak untuk
mendapatkan pendidikan yang layak.
Yang lebih penting,
keputusan apapun untuk memungut iuran atau sumbangan yang dipungut pihak
sekolah harus melalui musyawarah yang melibatkan semua unsur yang terkait pendidikan.
Orangtua siswa,
siswa (pengurus OSIS), guru, pemuka masyarakat, pemerintah setempat dan semua
anggota komite perlu terlibat dalam menetapkan jenis dan besarnya iuran.
Program yang akan dijalankan haruslah jelas dan transparan. Semoga.***