Quo Vadis Calon Guru Baru
September 04, 2013
Quo vadis calon guru baru - Postingan
ini hanyalah sekadar analisa sederhana, diilhami oleh persoalan sederhana
antara saya dan anak. Salah seorang putra saya mendadak membatalkan niatnya
untuk memilih perguruan tinggi keguruan.
Pada hal ia telah lulus dan diterima di salah satu perguruan tinggi keguruan jurusan Pendidikan Kimia meskipun melalui jalur mandiri.
Bahkan ia banting setir dan memilih perguruan tinggi non keguruan swasta dengan jurusan Teknik Perminyakan.
Keputusannya yang mendadak untuk membatalkan pilihannya untuk menjadi calon guru membuat saya sedikit geram.
Namun setelah mendengar penjelasan putra saya dengan rinci dan ilmiah mengenai masa depan lulusan perguruan tinggi keguruan setelah adanya program sertifikasi guru, saya jadi menerima keputusannya itu.
Ada sisi lain, fenomena yang menarik dicermati dengan adanya program sertifikasi guru yang sudah berjalan beberapa tahun terakhir.
Program peningkatan mutu profesionalisme dan kesejahteraan guru ini, berpeluang menciptakan calon guru banyak yang menganggur(?) jika tidak ada pengembangan aturan dalam program sertifikasi.
Berikut ini adalah analisa sederhana untuk mengkaji fenomena tersebut:
1.Besarnya animo generasi muda menjadi guru
Animo
generasi untuk menjadi guru meningkat secara signifikan setelah adanya program
sertifikasi untuk guru dan dosen berdasar UU No 14 Tahun 2005.
Guru akan
mendapat tunjangan sertifikasi dua kali lipat dari gaji pokoknya setelah memenuhi
persyaratan yang ada.
Di pihak lain, perguruan tinggi negeri maupun swasta
terus menghasilkan calon guru yang siap pakai. Dari tahun ke tahun pun tetap
menerima mahasiswa baru dengan jumlah yang besar.
2.Beban mengajar guru sertifikasi
Guru
wajib mengajar 24 jam per minggu sesuai mata pelajaran yang diampu atau
sertifikat pendidik yang diperoleh.
Pada sekolah tertentu ada guru yang mengalami
kekurangan jam mengajar sehingga bermasalah untuk menerima tunjangan sertifikasi.
Untuk mengatasi hal ini, guru berpeluang untuk menambah jam mengajar di sekolah
lain asal sesuai mata pelajaran yang diampu atau sertifikat pendidik.
Tentu
tidaklah mudah untuk melakukan cara ini karena bisa jadi sekolah lain tersebut
gurunya juga mengalami hal sama.
3.Struktur kurikulum sekolah
Dalam
struktur kurikulum sudah diatur alokasi waktu setiap mata pelajaran yang
ditetapkan oleh pemerintah.
Misalnya, mata pelajaran IPA untuk jenjang
SMTP/Sederajat hanyalah 4 jam pelajaran per minggu.
Ini tidak mungkin dinaikkan
menjadi 6 jam pelajaran misalnya, hanya untuk mencukupkan jam mengajar bagi guru sertifikasi.
Berdasarkan
tiga butir analisa tersebut, kemungkinan besar sangat sulit untuk menerima guru baru di suatu
sekolah.
Mustahil pula rasanya, jika seorang guru yang sudah sertifikasi dan
menerima tunjangan akan rela melepas sebagian jam mengajarnya demi guru baru
atau calon guru.
Quo vadis (mau kemana) calon guru baru
jika kesempatan mengabdikan diri sudah
terbatas di suatu sekolah?
Kenyataannya,
cukup banyak lulusan perguruan tinggi keguruan yang kesulitan untuk menerapkan
ilmunya di suatu sekolah karena tidak adanya jam mengajar untuk dia.
Calon guru
lulusan perguruan tinggi keguruan sangat antusias untuk dapat mengabdikan diri
di sekolah sesuai ijazah dan akta yang dimiliki.
Untuk menjadi guru PNS mungkin
terlalu jauh, namun menjadi tenaga honorer pun sudah menjadi harapan. Yang
penting dapat mengabdikan diri kepada nusa dan bangsa.***