Guruku Cantik Sekali
November 13, 2017
Guruku cantik sekali - Hari
itu, sebagaimana minggu-minggu sebelumnya, aku berusaha pindah tempat duduk
dari bagian paling belakang ke bagian depan. Paling dekat dengan meja guru. Untuk
mencapai maksud ini aku harus bernegosiasi dengan teman agar ia mau bertukar tempat
duduk denganku. Tidak terlalu rumit berkonspirasi soal tempat duduk.
Bu Arini sudah nongol di mulut pintu. Kemudian meletakkan perangkat mengajarnya di atas meja guru.
“Selamat siang, buk!” sapa Arman, sang ketua kelas.
“Selamat siang juga…” sahut buk Rini sembari melempar senyum kasnya. Manis sekali. Namun aku sedikit keki karena keduluan menyapa buk Rini.
Aku melipat tangan di meja memperhatikan buk Arini menerangkan pelajaran. Aku siap siaga jikalau buk Arini mengajukan pertanyaan maka aku yang mengangkat telunjuk paling duluan. Namun kesempatan yang kutunggu belum kunjung datang. Buk Arini tak pernah mengajukan pertanyaan.
Perhatianku
untuk belajar mendadak buyar. Entah mengapa penampilan buk Arini menjadi sasaran
perhatianku. Penampilan beliau makin keren saja dengan pakaian seragam harian
dinas. Rambut hitam bergelombang, hidung mancung dengan bibir dipolesi pemerah
bibir seadanya. Kulit putih dan bersih.
Suatu
ketika aku pernah melihat buk Arini menyanyikan lagu diiringi organ tunggal pada
sebuah pesta pernikahan. Penampilan buk Arini tampak beda, jauh berbeda ketika
mengenakan seragam dinasnya. Aku semakin kagum dengan buk Arini. Penampilan yang
anggun dan berwibawa….
“Prasetyo…!”
Mendadak
hayalanku buyar. Aku gelagapan ketika menyadari namaku dipanggil.
“I…iya,
buk…”jawabku gugup.
“Kamu
mendengar pertanyaan saya tadi?”
“Dengar,
buk…” jawabku berbohong. Sungguh, aku tidak mendengar apa isi pertanyaan buk
Arini.
“Kalau
begitu, apa jawabanya?”
“Guruku
cantik sekali, buk…”
“Geerrrrrr….!!”
Tiba-tiba seisi kelas jadi gaduh.
“Woooi…!
Yang ditanya bukan judul film, bro!” teriak arman di tengah kegaduhan. Ada yang
tertawa ngakak. Ada yang bersuit-suit. Ada yang tersenyum simpul. Untung tidak
ada yang menimpuk kepalaku dengan batu.
Aku
tertunduk malu setelah menyadari jawabanku nyeleneh. Namun buk Arini tidak
terlihat marah dan tersinggung. Beliau hanya menenangkan suasana gaduh sehingga
menjadi tenang kembali. Bahkan tak menggubris kejadian barusan. Beliau melanjutkan
pelajaran. Bukan main hebatnya buk Arini.***