Merindukan Langit Biru
Oktober 23, 2015
Merindukan langit biru
– Sudah dua bulan lebih kabut asap menutupi pemandangan kami ke angkasa. Selama
itu pula kami tak pernah melihat langit berwarna biru. Warna yang melambangkan
kebebasan hati dan pikiran.
Matahari pun enggan menerangi bumi secara utuh. Sang surya terlihat bulat penuh kemerah-merahan.
Namun, saat-saat seperti inilah manusia sempat menatap matahari dengan tepat. Jika langit biru, tak mungkin manusia dapat menatap wajah matahari dengan tajam.
Dulu, semasa aku kecil. Peristiwa alam seperti ini menjadi cara tersendiri bagi orang tuaku untuk mendidik anaknya.
Aku sering bertanya pada emak ada apa gerangan yang terjadi dengan matahari.
Orangtuaku menjawab, matahari sedang sakit. Bisa jadi pertanda kiamat memang sudah
dekat.
Oleh sebab itu kalian jangan nakal, sebaliknya semakin taat-lah
beribadah. Mendekatkan diri kepada Allah SWT, pencipta langit dan matahari itu.
Pikiran
kecilku terusik. Benar-benar menangkap pesan moral ini dengan penuh ketakutan. Maka
tak heran, ketika suara azan berkumandang.
Aku dan adik-adikku segera ber-wudhuk
dan melaksanakan shalat fardhu. Takut untuk melalaikan shalat apalagi
meninggalkannya.
Ah…,
itu zaman dulu. Zaman sekarang masih seperti itukah anak-anak menanggapi
bencana nasional kabut asap ini? Entahlah.
Yang pasti, hampir setiap hari kami bergelimang
kabut asap. Di sana sini terlihat orang memakai masker pelindung.
Meskipun
diliputi kabut asap, perilaku anak sekolah masih biasa-biasa. Seakan tidak
terjadi apa-apa. Anak-anak tetap keluyuran, bersepeda tandem, mengendarai motor
ke sana kemari sepulang sekolah.
Ya,
di daerah tempat tinggal-ku, anak-anak masih tetap bersekolah. Pihak terkait
menganggap kabut asap belum membahayakan.
Pelajaran anak sekolah akan
ketinggalan jika sering diliburkan. Ini benar juga alasannya.
Namun timbul
pertanyaan, apakah belajar dalam kondisi kabut asap ini pembelajaran akan
berjalan efektif.
Entah
kapan bencana alam kabut asap kiriman ini akan berakhir. Sementara kerinduan
akan langit biru semakin menggebu-gebu. ***