Kidung Sendu Penjual Goreng Pisang

Kidung sendu penjual goreng pisang – Sekejap saja anak kecil bertubuh kurus itu telah menghilang di tengah kabut pagi. Cuaca dingin menusuk kulit karena semalaman di guyur hujan. Tadi anak yang masih duduk di bangku kelas 2 sekolah dasar itu keluar dari rumah majikannya. Bergegas berjalan tanpa alas kaki. Di kepalanya ada tempayan plastik tempat pisang goreng jualannya.

“Pisang goreeeng….”

Suara lenting anak kurang gizi itu mengusik pagi.  Mengundang kepiluan warga di sepanjang kampung.

Sudah sekian jauh menapaki jalan berbatu dan bercadas. Namun belum seorang penduduk pun yang memanggil untuk membeli pisang gorengnya.

Hatinya mendadak galau.

Persendiannya terasa goyah. Seakan enggan untuk melangkah.

Ia berhenti di bawah sebatang kayu besar. Menaruh tempayan wadah jualannya di tempat duduk dari bambu di bawah pohon itu.

Kemudian kepalanya menengadah ke langit pagi yang mulai tampak buram. Awan kelabu menutupi langit pertanda bakal turun hujan lagi.  

Wajah anak kecil itu nampak semakin memelas dan lesu. Matanya memandang nanar pada genangan air bekas hujan semalam.

Tadi sebelum berangkat ia tetap menaruh harapan besar di pagi yang buram. Goreng pisang jualannya laris dan pulang dengan tempayan kosong.

Mengantongi sejumlah uang untuk diserahkan pada mak Suna, majikan pembuat goreng pisangnya.

Dari jualan goreng pisang goreng ia memperoleh persenan. Lumayan untuk jajan dan membeli perlengkapan sekolah.

Ini sudah cukup berarti dalam membantu meringankan beban kedua orangtuanya yang berprofesi sebagai kuli tani.

Harapan pisang gorengnya bakal laris semakin melayang. Sampai sejauh ini perjalannya belum ada yang membelinya.

Terbayang olehnya akan kembali ke rumah majikan dengan pisang goreng yang masih banyak.

Tidak menerima persenan. Bakal terlambat datang ke sekolah!

Ia menarik nafas berat. Serasa sesak rongga dadanya. Tanpa terasa air bening bergulir di pipinya.

“Kenapa kamu menangis, dik?”

Sebuah suara berat mengejutkannya. Dengan cepat ia menyusut air matanya. Memandang ke arah pemilik suara.

“Kakak yakin, kamu sedih karena pisang gorengmu tidak ada yang membeli, bukan?” tebak laki-laki itu.
Anak kecil penjual pisang goreng mengangguk lemah.

“Jangan sedih lagi, kakak akan memborong semua pisang goreng kamu. Berapa semuanya, dik?”

“Kakak siapa dan darimana?” Anak kecil itu balik bertanya. Ia merasa tidak percaya pada pendengarannya.

“Oh, saya Imran, baru pulang dari rantau. Kebetulan tidak sempat membeli oleh-oleh buat orang di rumah.”

“Benar kakak mau memborong goreng pisang saya?”

Imran mengangguk seraya memandang anak kecil penjual pisang goreng dengan penuh hiba.

“Terima kasih ya kak?” ujar anak kecil penjual pisang goreng setelah menerima sejumlah uang. Matanya berbinar-binar memandangi uang kertas dan logam di pegangannya.

Hatinya gembira bukan main. Segera ia mengemasi tempayan yang sudah kosong dan bergegas kembali ke rumah majikan.***