Kidung Sendu Penjual Goreng Pisang
Juli 24, 2016
Kidung sendu penjual goreng
pisang – Sekejap saja anak kecil bertubuh kurus itu
telah menghilang di tengah kabut pagi. Cuaca dingin menusuk kulit
karena semalaman di guyur hujan. Tadi anak yang masih duduk di
bangku kelas 2 sekolah dasar itu keluar dari rumah majikannya. Bergegas berjalan
tanpa alas kaki. Di kepalanya ada tempayan plastik tempat pisang goreng
jualannya.
“Pisang goreeeng….”
Suara lenting anak kurang gizi itu mengusik pagi. Mengundang kepiluan warga di sepanjang kampung.
Sudah sekian jauh menapaki jalan berbatu dan bercadas. Namun belum seorang penduduk pun yang memanggil untuk membeli pisang gorengnya.
Hatinya mendadak galau.
Persendiannya terasa goyah. Seakan enggan untuk melangkah.
Ia berhenti di bawah sebatang kayu besar. Menaruh tempayan wadah jualannya di tempat duduk dari bambu di bawah pohon itu.
Kemudian kepalanya menengadah ke langit pagi yang mulai tampak buram. Awan kelabu menutupi langit pertanda bakal turun hujan lagi.
Wajah anak kecil itu nampak
semakin memelas dan lesu. Matanya memandang nanar pada genangan air bekas hujan
semalam.
Tadi sebelum berangkat ia tetap
menaruh harapan besar di pagi yang buram. Goreng pisang jualannya laris dan
pulang dengan tempayan kosong.
Mengantongi sejumlah uang untuk diserahkan pada
mak Suna, majikan pembuat goreng pisangnya.
Dari jualan goreng pisang goreng
ia memperoleh persenan. Lumayan untuk jajan dan membeli perlengkapan sekolah.
Ini sudah cukup berarti dalam membantu meringankan beban kedua orangtuanya yang
berprofesi sebagai kuli tani.
Harapan pisang gorengnya bakal
laris semakin melayang. Sampai sejauh ini perjalannya belum ada yang
membelinya.
Terbayang olehnya akan kembali ke rumah majikan dengan pisang
goreng yang masih banyak.
Tidak menerima persenan. Bakal terlambat datang ke
sekolah!
Ia menarik nafas berat. Serasa
sesak rongga dadanya. Tanpa terasa air bening bergulir di pipinya.
“Kenapa kamu menangis, dik?”
Sebuah suara berat
mengejutkannya. Dengan cepat ia menyusut air matanya. Memandang ke arah pemilik
suara.
“Kakak yakin, kamu sedih karena
pisang gorengmu tidak ada yang membeli, bukan?” tebak laki-laki itu.
Anak kecil penjual pisang goreng
mengangguk lemah.
“Jangan sedih lagi, kakak akan
memborong semua pisang goreng kamu. Berapa semuanya, dik?”
“Kakak siapa dan darimana?” Anak
kecil itu balik bertanya. Ia merasa tidak percaya pada pendengarannya.
“Oh, saya Imran, baru pulang dari
rantau. Kebetulan tidak sempat membeli oleh-oleh buat orang di rumah.”
“Benar kakak mau memborong goreng
pisang saya?”
Imran mengangguk seraya memandang
anak kecil penjual pisang goreng dengan penuh hiba.
“Terima kasih ya kak?” ujar anak
kecil penjual pisang goreng setelah menerima sejumlah uang. Matanya
berbinar-binar memandangi uang kertas dan logam di pegangannya.
Hatinya gembira bukan main.
Segera ia mengemasi tempayan yang sudah kosong dan bergegas kembali ke rumah
majikan.***