Mawar Merah Ketiga
Agustus 08, 2016
Mawar merah ketiga
– Sengaja Silfi berangkat sekolah lebih awal dari biasanya. Hatinya masih diliputi
penasaran. Kenapa tidak? Sudah
dua kali gadis berangkat remaja itu menerima bunga mawar berwarna merah. Namun
pengirimnya masih misterius. Dan hari ini sesuai janjinya, si pengirim akan
menampakkan diri.
Minggu
lalu, Silfi menemukan setangkai mawar merah di dalam laci meja. Ketika itu ia
hendak membersihkan laci meja dari sampah kertas.
Kebiasaannya memang, kalau
salah menulis lembaran jawaban ulangan harian, selalu meremas dan memasukkan ke
dalam laci meja belajarnya. Kemudian menggantinya dengan kertas buku tulis yang
baru.
Bunga
mawar merah itu amat bagus. Serta merta ia menarik ke luar laci. Memperhatikan helai
demi helai daun bunga mawar itu. Silfi mencium aroma harum yang dipancarkan oleh
bunga itu. Tak disadari bunga itu sudah menempel di hidungnya.
Tangkai
bunga ternyata dililit dengan kertas dan diikat dengan benang jahitan berwarna
putih. Silfi membuka ikatan benang, kemudian membuka perlahan gulungan kertas
di tangkai bunga.
Silfi
membelalakkan mata. Ternyata gulungan kertas itu berisi tulisan. Ditulis tangan
dengan tinta emas.
Perlahan
Silfi membacanya.
“Silfi,
ini mawar pertama yang ku titip dalam laci meja belajarmu. Kamu pasti penasaran,
siapa pengirim bunga mawar ini. Namun suatu saat kamu akan mengetahuinya juga.
Salam manis.”
Silfi
tercenung. Pikirannya mencoba menebak-nebak orang yang telah mengirim bunga
mawar merah ini secara diam-diam.
Hendra,
kawan sekelasnya kah si pengirim bunga ini? Tapi kayaknya tidak. Soalnya sikap
Hendra biasa-biasa saja. Beberapa hari terakhir tak menunjukkan perubahan
apa-apa. Masih akrab berteman, bercanda ria bersama ketika jam istirahat di
kantin sekolah.
Irwan?
Ini yang lebih tak mungkin. Soalnya, Irwan orangnya pendiam dan cuek terhadap
semua orang. Ia lebih suka belajar serius. Mendengarkan ceramah guru kemudian
mencatat materi pelajaran yang penting. Tak heran kalau Irwan selalu juara di
setiap terima rapor. Lalu siapa?
Kemarin,
kembali Silfi menemukan bunga mawar merah untuk kedua kalinya. Hatinya semakin
penasaran. Ingin mengetahui secepat mungkin seperti yang dijanjikan dalam
gulungan surat yang dililitkan pada mawar kedua itu.
“Silfi,
aku tahu kamu semakin penasaran karena kamu menemukan lagi mawar kedua di dalam
laci meja belajarmu. Kalau kamu tidak menyukainya kuharap kamu tak membuangnya
di keranjang sampah. Aku akan segera menampakkan diri di hadapanmu pada saat
kamu temukan mawar ketiga besok.”
Sekarang
Silfi sudah sampai di pintu gerbang sekolah. Belum banyak memang siswa yang
datang pagi itu. Suasana pagi masih diliputi kabut tipis. Embun yang turun
malam tadi masih membasahi rumput-rumput di halaman sekolah.
Hatinya
berdebar tak menentu ketika sudah sampai di koridor kelasnya. Pintu kelas sudah
terbuka. Namun ia tak mendengar suara apapun dari dalam kelas. Hening.
Di
mulut ruang kelas, Silfi menghentikan langkahnya. Kemudian mengedarkan
pandangan mulai dari bagian depan, sampai pada bagian belakang ruangan kelas.
Dag…dig…dug…der…!
Jantungnya
berdegup kencang manakala matanya menatap sosok yang berdiri di sisi kiri
bagian belakang ruang kelas. Laki-laki itu berdiri mantap seraya memegang
setangkai mawar merah dengan kedua tangannya.
“Irwan…?
Kamu…” tiba-tiba mulutnya kelu untuk meneruskan ucapan.
“Iya,
aku…., Silfi.” pintas Irwan dengan suara lembut.
Sekan
sulit dipercaya oleh Silfi dengan kenyataan ini. Ia memang pernah menebak Irwan
sebagai pengirim bunga mawar merah di laci meja belajarnya . Namun sedikit pun
ia tak mempercayainya.
Lalu
Silfi melangkah pelan menghampiri Irwan yang masih berdiri dengan bunga mawar
merah di tangan. Sesampai di hadapan Irwan, gadis SMP itu tiba-tiba menekur. Menatap
ujung sepatunya yang memang tidak ada yang aneh.
“Silfi…”
Irwan
meraih tangan kanan Silfi pelan. Silfi mengangkat wajah kemudian menatap Irwan
dengan perasaan tak menentu.
“Masih
maukah kamu, menerima mawar merah untuk yang ketiga ini?”
Silfi
mengangguk, pelan. Kemudian meraih perlahan bunga warna merah yang menebar
aroma wangi itu.
“Aku
sudah lama… suka padamu, Silfi.” ujar Irwan perlahan.
Silfi
hanya terdiam, menunggu kelanjutan ucapan Irwan.
“Tetapi
aku terpaksa mencari waktu dan cara untuk mengungkapkannya padamu. Sebab, aku
khawatir kalau kamu tidak menyukaiku,” sambung Irwan.
“Aku
juga…suka…kamu dan …bunga mawar ini,” balas Silfi lembut.
“Benarkah?”
tanya Irwan antusias. Sekadar meyakinkan diri.
Silfi
mengangguk, seraya tersenyum. Manis sekali…
“Ternyata
kamu itu orangnya romantis juga,” kata Silfi dalam hati.***