Tradisi Adat Kematian Pangulu Suku di Nagari Taluk
September 12, 2016
Tradisi adat kematian pangulu suku di nagari
Taluk - Tradisi atau adat merupakan kebiasaan turun
temurun yang diwariskan nenek moyang kepada anak cucu mereka dan menjadi bagian
dari kehidupan bermasyarakat. Tapi
sekarang banyak daerah-daerah di Indonesia yang tradisinya sudah mulai pudar,
bahkan hampir punah.
Itu karena perkembangan zaman yang membuat kita tidak menganggap tradisi itu sebagai suatu hal yang patut dilestarikan.
Di provinsi Sumatera Barat, lebih tepatnya di Nagari Taluk, tradisinya masih terjaga dan masih dipakai dalam kehidupan bermasyarakat, meskipun masih ada sebagian kecil orang yang menyalahgunakan tradisi tersebut.
Pada artikel kali ini saya akan berbagi informasi tentang tradisi adat kematian di Nagari Taluk.
Kematian pangulu suku
Suku di Nagari Taluk ada empat, yaitu patopang, chaniago, mandailiang, dan piliang. Tiap-tiap suku dipimpin oleh orang 4 Jiniah (urang nan 4 jiniah) yaitu; pangulu, manti, malin, dan dubalang.
Jika
salah seorang dari urang nan 4 jiniah
meninggal dunia, maka akan diadakan upacara adat kematian di Nagari Taluk.
Begitu pula jika salah seorang pangulu suku
meninggal dunia, maka akan diberitahukan kepada pangulu yang 3 suku lainnya.
Begitu juga dengan manti, akan diberitahukan kepada manti yang 3 suku lainnya.
Malin dan dubalang pun juga begitu.
Jika
pangulu suku lain telah diberitahu,
maka ia akan memberitahukan kepada orang nan 4 jiniah lainnya, termasuk tuo kampuang dalam sukunya.
Setelah
semuanya diberitahu, kemudian urang nan 4
jiniah ditambah tuo kampuang dari
3 suku lainnya akan datang ke rumah gadang
pangulu yang meninggal tersebut untuk melayat dan merundingkan tentang :
1.Sako (gelar) dan pusako (harta)
Mereka
akan membicarakan tentang, siapa di antara kemenakannya yang pantas untuk
menggantikan gelarnya (sako).
Hal ini sesuai dengan pepatah minangkabau:
Biriak-biriak
tabang ka sasak
Dari
sasak ka hilaman
Dari
niniak turun ka mamak
Dari
mamak ka kamanakan.
2.Proses penyelenggaraan upacara kematian
Mereka
akan membahas tentang dimana pandam
pakuburan (tempat pemakamannya), dan proses mulai dari menggali kuburan
sampai jenazah selesai dimakamkan merupakan tanggung jawab dubalang.
Sedangkan untuk biayanya adalah 1 ekor kambing (diganti
dengan uang, tergantung berapa harga kambing saat itu).
Itulah
yang dirundingkan di rumah gadang,
kemudian dengan segera dubalang akan memerintahkan sumando untuk membuat keranda (garai), bentuknya seperti balok
tanpa atap, terbuat dari bambu, dengan tiap-tiap sudut, bambunya dipanjangkan
untuk mengangkatnya nanti.
Setelah
garai selesai dibuat, kemudian garai tersebut diletakkan di
depan/halaman rumah gadang.
Setelah itu, garai akan dihiasi oleh bundo kanduang dari 4 suku. Masing-masing
sudut akan dihiasi oleh bundo kanduang 1 suku.
Di tiap-tiap sudut akan dipasang
tabir (tabigh), pakaian adat, kain sarung, kemudian payung yang diatasnya
diberi kain berwarna merah (domok).
Masing-masing
sandangan keranda (garai) dibalut dengan kain kafan. Setelah selesai dihiasi,
jenazah yang telah dimandikan dan dikafani dimasukkan ke dalam keranda tadi,
dan diikuti pula oleh kemenakan yang akan menggantikan gelarnya untuk berdiri
dalam keranda itu juga.
Jenazah
tersebut diikat agar tidak jatuh. Masing-masing sandangan akan diangkat oleh 1
suku, maka di tiap-tiap sandangan dipegang oleh 1 suku.
Kemudian, secara
serentak masing-masing suku mengangkat keranda (garai) sampai kerandanya agak
sedikit melambung di udara.
Simak juga : Pengangkatan Penghulu di Minangkabau
Setelah
terangkat, maka garai tersebut dilarikan sampai ke pandam pakuburannya. Dalam
perjalanan, masing-masing suku berusaha untuk mengangkat garai
setinggi-tingginya.
Sesampainya dipandam pakuburan, jenazah disholatkan
kemudian disemayamkan seperti biasanya. (Sumber : Usfaizi Dt. Rajo Mudo) (*Penulis : Difo
Faizi Pratama)***