Ajari Aku Cara Belajar
Desember 04, 2016
Ajari aku cara belajar
– Sekolah berangsur lengang. Hanya beberapa guru dan siswa yang masih bertahan
di lokasi sekolah. Orangtua murid telah pulang beberapa saat setelah menerima
rapor anaknya dari wali kelas masing-masing. Kegiatan penerimaan rapor semester
berakhir sudah.
Beberapa
siswa yang belum meninggalkan lokasi sekolah tampak santai di bawah pohon
mangga yang rimbun. Mungkin bercengkrama tentang rapor hasil belajar yang
diperoleh semester ganjil ini.
“Pasti
mereka bangga meraih prestasi belajar memuaskan”, gumamku dalam hati tatkala
menyaksikan mereka dari jauh. Kenapa aku tidak seperti mereka? Tidak merasa
gembira dengan hasil belajar yang kuperoleh? Jangankan juara, peringkat 10
besar pun tidak kudapatkan.
Aku
tak pernah absen. Apalagi yang namanya bolos, tak pernah. Semua tugas atau pekerjaan rumah, selalu
kuselesaikan meskipun kadang-kadang mencontek
pekerjaan teman.
Memang
kuakui, otak di kepalaku agak kesulitan menangkap materi pelajaran yang
diajarkan guru. Apalagi yang namanya mata pelajaran, fisika, matematika dan
bahasa Inggris. Ketika belajar mata pelajaran itu, aku tidak bisa memusatkan
perhatian Jangankan untuk fokus, malah aku mengantuk. Aku sering berpura-pura
melihat ke depan kelas. Berjuang melawan rasa kantuk menyerang.
“Hmmmh…”
Aku menghela nafas pelan. Semester depan
aku bertekad mencapai peringkat 10 besar di kelasku.
Tapi
bagaimana caranya? Apa yang harus kulakukan? Ahaa… Aku ada ide. Bukankah Boby
mendapat peringkat 1 di kelas? Ya, tidak ada salahnya aku belajar pada sang
juara kelas itu. Kalau perlu, aku datang belajar ke rumahnya. Siapa tahu aku
mendapat resep belajar dari Boby dan ketularan kepandaiannya.
Namun
seketika hatiku menjadi resah. Bukankah datang belajar ke rumah Boby akan
menimbulkan masalah baru? Aku dan teman-teman di kelas sudah tahu kalau Nita
dekat dan suka sama Boby…
“Hoiii,
melamun lagi…”
Tiba-tiba
sebuah suara mengejutkanku mana kala ia menepuk pundakku dari belakang.
Lamunanku jadi buyar.
“Eh,
kamu, Bob…” sahutku gelagapan.
“Kenapa
kamu belum pulang, Rin?” tanya Boby seraya mengambil tempat di sisiku.
“Aku
istirahat disini dulu, Bob. Capek. Habis, nilai semesterku tidak memuaskan,” sahutku
berdalih.
“Rini…Rini,
jangan terlalu dipikirkan yang sudah lewat…”
“Bagaimana
enggak dipikirkan, Bob?”
“Maksudku,
itu ‘kan sudah berlalu. Yang perlu kamu pikirkan, bagaimana caranya untuk
merubahnya menjadi lebih baik semester depan, gitu lho,” jelas Boby kemudian
Kembali
aku melirik Boby.
“Wah,
kebetulan sekali, Bob…”
“Kebetulan
apanya?”
“Ajari
aku cara belajar biar aku mendapat peringkat 10 besar, ya?”
Boby
tertawa. Ia tampak tak percaya dengan ucapanku. Mungkin ia melihat itu sebagai
basa-basi semata. Atau mungkin caraku terasa lucu bagi seorang Boby, sang juara
kelas bertahan?
“Kok
ketawa? Apanya yang lucu?” sungutku kemudian.
“Ekspresi
kamu barusan membuat aku tertawa. Sejak kapan kamu pandai bicara serius seperti
itu, Rin?” tanya Boby.
“Aku
aku serius, Bob. Bantu aku ya?” kataku penuh harap.
“Iya,
iya deh…Tapi…?”
“Tapi
apa?”
“Ada
syaratnya,”
“Apa,”
“Senyum
dulu…”
“Iiih…kamu.”
Tak sengaja mencubit lengannya. “Hm, apa Nita enggak marah?” selidikku
kemudian.
“Kenapa
dia yang marah?”
“Dia
suka padamu,”
“Siapa
bilang?”
“Aku…”
“Dia
memang suka padaku tapi aku… tidak.”
“Dia
‘kan cantik…”
“Cantikan
kamu…”
Aku
tersentak. Tak menyangka ucapan itu meluncur dari mulut Boby. Aku akui memang,
Nita memang cantik, anak orang kaya lagi.
“Aku
sudah lama suka sama kamu, Rin…” ujar Boby berterus terang.
“Benarkah?”
Boby
mengangguk serius.
“Terima
kasih atas semua itu, Bob. Tapi, kamu mau mengajari aku cara belajar, bukan?”
“Tentu
saja aku mau, Rin.”
Seketika
angin sepoi bertiup. Sehelai daun mangga gugur dan jatuh tepat di pangkuanku.
Aku tersenyum bahagia. Senyum untuk memulai semester depan dengan penuh
semangat.