Anak Sang Mantan
Desember 11, 2016
Anak sang mantan
– Suasana di ruang kelas membuatku sedikit gerah. Hawa panas menerobos masuk
melewati pintu. Itu yang membuatku tidak meneruskan menerangkan pelajaran. Mencatatkan
materi pelajaran di papan tulis. Setelah penuh papan tulis, tidak ada lagi
tempat menulis, aku segera duduk kembali.
Keringat mulai membasahi seragam harian yang kukenakan, terutama bagian punggung, bahu dan ketiak. Aku sebenarnya tak mengeluh. Keadaan seperti ini nyaris kuhadapi setiap minggu di kelas itu. Ruang kelas over muatan oleh sekian murid sedangkan langit-langit ruangan kelas cukup rendah. Ventilasi yang ada di jendela kurang memadai untuk menyalurkan sirkulasi udara.
Selain
itu, jadwal mengajar di kelas itu selalu pada jam terakhir. Mengajar mata pelajaran
fisika pada bagian ujung jam pelajaran di hari itu, membuat aku sedikit
kewalahan. Apalagi mata pelajaran yang kuajarkan ini tidak menarik bagi
sebagian siswa. Mata pelajaran fisika dianggap sulit oleh siswa.
Rasanya
ingin kutinggalkan kelas yang dihuni oleh siswa tergolong bandel dan hasil
belajar rendah. Namun keinginan itu segera urung mana kala seorang siswi
mengacungkan tangan. Semula aku pikir dia minta izin meninggalkan kelas.
“Iya, ada apa? Mau minta izin? Mau ke kamar
kecil?” tanyaku memintas.
“Bukan, pak. Bukan mau minta izin. Tetapi…apakah
bapak haus?”
Gerrrrr!!!
Mendadak kelas menjadi riuh oleh tawa siswa. Siswa yang mengacungkan tangan
kebingungan. Dengan gerakan tangan aku menenangkan suasana sampai tenang
kembali.
“Iya, memang bapak lagi haus, kenapa?”
“Biar saya jemputkan air putih ke kantor
majelis guru, pak.” ujarnya bersungguh-sungguh.
Aku
terdiam. Mita, siswa paling rajin ditunjuk ke depan kelas itu nampak serius.
Kayaknya dia mengerti kalau aku memang lagi haus. Tapi bagaimana ya? Mau
diizinkan?
“Hm, terima kasih. Dengan senang hati,
silahkan dibantu untuk menjemput minuman bapak di kantor,” ujarku
mengizinkannya untuk meninggalkan kelas.
Beberapa
menit kemudian Mita telah kembali membawakan segelas air putih.
“Terima kasih, ya?”
“Sama-sama, pak.” Sahutnya kembali kenuju
meja belajarnya.
Ternyata,
belum selesai aku mereguk air putih buat membasahi kerongkongan, bel tanda
berakhirnya pelajaran berbunyi. Siswa pada berteriak kegirangan. Dan aku segera
memberi aba-aba agar ketua kelas mempersiapkan ketua kelas untuk pulang.
Satu
per satu siswa datang ke arahku. Menyalami dan mengucapkan salam. Mita
menyalamiku pada giliran terakhir. Lalu dia terdiam di tempat. Seakan ada
sesuatu yang hendak disampaikannya.
“Ada apa, Mita? Sepertinya ada sesuatu
yang ingin kamu katakan,”
“Hm… Tadi pagi mama titip salam buat
bapak,” jawabnya agak ragu-ragu.
“Salam balik kembali pada mamamu, ya?”
“Iya, pak…” sahut Mita seraya menuju pintu
kelas.
Mita
segera membalikkan tubuh ketika aku memanggilnya kembali. Kemudian melangkah ke
arahku.
“Ada apa, pak?”
“Oh, ya. Siapa nama mammu?” tanyaku sedikit
penasaran.
“Elfi…”
“Elfi Sundari?” potongku cepat.
Mita
mengangguk.
“Ya, silahkan kamu boleh pulang,”
Simak juga : Guruku Cantik Sekali
Sementara
aku masih terhenyak di kursi guru. Suasana kelas telah sepi. Aku tak menyangka
kalau Mita Rahayu itu adalah anaknya Elfi Sundari, sang mantanku sekian tahun
silam.Aku
menepuk jidat sendiri. Pantasan…siswa bernama Mita itu agak mirip dengan wajah
dengan Elfi. Ah, itu masa lalu.***