Tertarik Kutub Magnet Tuhan

Seperti deburan ombak yang keras menghantam setiap bilik jantungku,  tetapi tiba-tiba berubah seperti  angin sepoi yang membelai setiap lekukan hatiku. Datang silih berganti membuat perasaanku menjadi frustasi. Bingung  memilih mana yang akan kupeluk dengan segenap keyakinan.

       Hari ini adalah pengumuman Nilai Ebtanas Murni ( NEM ) tingkat SMP. Dan aku terjebak didalamnya karena semuanya akan dipertaruhkan diatas selembar kertas yang berisi nilai empat mata pelajaran yang hanya ditorehkan dalam waktu empat hari. Ya, tiga tahun akan tersapu bersih oleh empat hari. Gelisah, tak enak makan, tak enak tidur, tak bisa duduk berlama lama. Yang kulihat cuma putaran jam tanganku yang berputar pelan sekali, tak sebanding dengan degup jantungku yang berpacu secepat mobil F1 bikinan yang terbaru. Persis seperti balapan kancil dan sang keong. Dan rasanya sama  saat ijab qobul di depan sang penghulu 15 tahun yang lalu.

          Dan sekarang aku sedang duduk di depan panggung besar dengan lampu yang bersinar terang yang menjamah hampir setiap sisi panggung. Aku sedang berada di sekolah anakku menghadiri detik detik pengadilan Tuhan terhadap segala usaha yang telah dilakukan orang tua dan anak. Aku tidak tahu apakah jika nilai anakku tidak bagus, itu berarti Tuhan sedang menjatuhkan vonisnya terhadap ketidak becusan kami sebagai orang tua, atau ketika nilai anakku bagus itu berarti Tuhan sedang memberi hadiah atas  semua usaha yang telah kami lakukan. Atau justeru berlaku sebaliknya, karena matematika Tuhan tidak sama dengan matematika bikinan manusia. Seribu dikurangi lima ratus memang sama dengan lima ratus, itu menurut kita. Tapi bagi Tuhan bisa jadi tetap seribu, atau satu juta atau bahkan habis tak bersisa. Tuhan memang semauNya sendiri. Beliau tak mau diatur oleh siapapun, karena Beliau memang Maha Mengatur. Rumusnya bisa dipelajari tapi tak pernah bisa dibikin  manusia.

      Acara pertama diisi oleh serombongan band anak anak kelas tiga SMP. Musiknya terdengar sangat gaduh seperti tak berirama, atau mungkin telinga orang tua seperti kami ini yang sudah tak bisa menampung dentuman drum dan petikan gitar yang frekuensinya terlalu besar buat telinga kami. Itulah masa remaja, tak ada yang salah dengan pilihan musik mereka. Mereka butuh wadah untuk menyalurkan energi mereka yang terlalu berlebih.

        Ketika sampai  pada sambutan kepala sekolah, kulihat wajahnya berseri seri, mungkin sudah tahu hasilnya terlebih dahulu. Berarti sebagian besar sudah sesuai dengan yang diharapkan. Lalu yang sebagian kecil? Rasanya semakin menambah kegelisahan pikiranku. Kabut tipis berwarna hitam pekat mulai menggelantung bersembunyi di jalur kerutan kerutan keningku yang sudah mulai kelihatan menua seiring umurku yang sudah berkepala lima.

          “ Alhamdulillah, 85 % anak nilainya diatas 35. Kemudian 15 % sisanya antara 30 sampe 33 “, ujar kepala sekolah itu. Suaranya lantang dan vulgar, sepertinya dia orang batak medan. Akankah anakku yang ada di 15 % itu ? Pertanyaan itu terus mengikuti kemanapun pikiranku mengembara.

          “ Dan saatnya sekarang pengumuman peserta peraih nilai 100 untuk ujian sekolah dan ujian nasional. Selanjutnya akan diteruskan dengan pengumuman rangking nilai sekolah dan rangking nilai ujian nasional. Orang tuanya dimohon untuk tampil di panggung mendampingi putra putrinya“, suara sang pembawa acara membuyarkan semua kegelisahanku. Seorang bapak muda dengan pakaian batik kulihat mondar mandir naik turun panggung sampai lima kali mendampingi putrinya yang sarat dengan prestasi. Sampai kelihatan lelah. Gila, sementara aku di sebelahnya kelelahan menunggu nasib yang tak jelas. Aku hanya membayangkan seandainya aku berdiri dipanggung itu bersama anakku dengan selembar kertas sakti yang bertuliskan 10 besar. Pasti bangga. Mungkin rasanya seperti terbang menyusuri awan putih yang bergumpal gumpal, terasa indah dan menyejukkan hati.

       “ Dan sekarang saatnya pembagian nilai ujian nasional….. “, suara itu berintonasi datar tetapi rasanya seperti menyengat dan membangkitkan barisan pasukan ketakutanku, sehingga mengalirkan cairan bening lewat pori pori kulit dan menembus serat serat kain baju. Rasanya seperti duduk di depan hakim yang akan segera menjatuhkan palu keadilannya.

       “ Arkan Sukma Khaidar … “, begitu nama anakku dipanggil, tubuh ini tiba tiba beratnya menjadi dua kali lipat dari biasanya.  Setiap langkah kaki harus kuseret dengan sepenuh tenaga agar bisa sampe ke meja yang diatasnya ada setumpuk kertas berisi nasib dan masa depan manusia manusia belia. Bahkan kertas itu membuat banyak orang yakin bahwa kertas itu yang akan menentukan kesuksesan hidup, sehingga mungkin Tuhan merasa sangat tersinggung karenanya.

        Segera kusobek pinggiran amplop berwarna putih, kuintip jumlah NEM yang tertera di kotak paling bawah. Tiga puluh tiga ( 33 ), sejumlah itulah NEM anakku. Ada rasa kecewa yang merayap menelusuri syaraf syaraf keegoisanku bahkan terus bergerak dan mencoba menembus sampai ke dalam ruang nurani yang masih bersih, padahal disitulah sebenarnya ruang yang disediakan Tuhan untuk menggerakkan pikiran pikiran yang selalu mengarah pada hal hal kebaikan. Rasa kecewa itu terus menggedor pintu nuraniku, seolah tidak percaya bahwa semua yang terjadi adalah skenario terbaik dari Tuhan. Seolah tidak percaya bahwa Tuhan itu tidak pernah salah dengan semua keputusanNya.

     “ Jangan berkecil hati Mas, masih ada banyak kesempatan dalam hidupmu untuk membuat papa dan mama bangga “, begitu kataku lirih pada anakku. Aku berusaha menutupi semua perasaan kecewa, berusaha menghiburnya. Kulihat ada guratan kesedihan di pelupuk matanya, apalagi melihat teman temannya bersorak gembira merayakan kemenangan akademiknya. Sebagian besar mendapatkan NEM diatas 36. Aku usap kepalanya dan sejenak kupeluk tubuhnya yang sudah hampir sama tinggi denganku.

      “ Hari ini Tuhan memberimu sedikit, tapi percayalah suatu saat Tuhan akan memberimu lebih dibanding temen temanmu “, kataku masih berusaha menghiburnya. Suaraku terasa sesak, sulit bergerak keluar seperti mendorong truk yang macet dengan muatan berton-ton. Meskipun kecewa tetapi aku harus tetap menghiburnya, kataku dalam hati sambil menghibur diri. Lalu siapa yang akan menghiburku ?

       Usai sudah drama penantian panjang  bersama anakku. Segera kuajak pulang ke rumah, pingin istirahat, kemudian  mencoba dan mencoba lagi untuk menerima kenyataan yang menurutku pahit. Di depan sekolah masih terlihat ramai oleh lalu lalang orang tua dan anak yang larut dalam nasibnya masing masing, ku coba menerobos membelah keramaian sambil memboncengkan anakku yang masih lengkap menggunakan jas, dasi, celana panjang dan sepatu hitamnya yang terlihat mengkilap. Keren banget, seperti saat aku berusia 17 tahun.

          Belum selesai kami menembus keramaian, tiba tiba anakku menepuk pundakku.

          “ Berhenti dulu Pa, tunggu sini ya … “, kulihat dia berlari kecil mengejar seseorang. Rupanya seorang ibu setengah tua yang sedang berjalan menuntun sepeda motor tuanya. Sepertinya ban belakang bocor. Dari kejauhan tampak anakku berdialog sejenak, kemudian dia berlari kecil kearahku kembali tanpa peduli dengan tatapan banyak orang yang keheranan. Kurang kerjaan, mungkin begitu batin mereka.

          “ Papa ikuti aku menuntun sepeda motor ibu itu, sambil boncengkan beliau ya ? “, katanya sembari tersenyum meskipun jas sewaan itu agak basah terkena keringat. Aku hanya mengangguk mengiyakan. Dari belakang kuikuti anakku menuntun sepeda motor ibu tadi, dan sang ibu duduk kelelahan diatas jok sepeda motorku. Mungkin sejak tadi tidak ketemu tukang tambal ban. Hampir 300 meter anakku menuntun sepeda motor bocor itu dengan pakaian jas lengkap. He he he keren banget. Sebuah pemandangan yang unik dan langka.

       Akhirnya di tempat tambal ban terdekat, kami berhenti dan kami mohon pamit duluan. Kulihat mata sang ibu tampak berkaca kaca, seperti menahan cairan bening dari kedua kelopak matanya yang sudah mulai berkeriput.
          “ Terima kasih banyak nak ….. “, hanya kalimat itu yang mampu dia keluarkan. Anakku tersenyum sembari mencium tangan ibu tadi.

          “ Doakan saya menjadi orang yang beruntung “, ujar anakku pelan.

          “ Pasti Nak …..  “, jawab ibu itu sembari mengusap debu yang menempel pada jas anakku. Beliau perlakukan seperti anaknya sendiri.
Baca juga : Sepuluh Lebih Sepuluh
      Sebuah episode kecil dari Tuhan yang diperlihatkan di depan mataku, bahkan aku dilibatkan  di dalamnya. Sebuah episode yang membuka mata batin bahwa anakku adalah juara sejati dalam kehidupan ini. Sebuah kecerdasan hati yang langka dan jarang dipunyai oleh banyak orang. NEM_nya yang hanya 33, tidak lantas membuatnya terpuruk bahkan Tuhan memberi nilai  yang jauh lebih berharga dari nilai NEM itu sendiri. Aku malu pada Tuhan. Bagaimana bisa,  aku tidak sanggup melihat emas yang sudah ada di genggamanku. Di hadapanku. Di dalam kehidupanku. Dan semua itu telah menjadi milikku. Maafkan aku dan terima kasih Tuhan, untuk semua episode ini. (*Penulis : Bakti Sukmoko Aji, Guru SMA 8 Yogyakarta)