Tertarik Kutub Magnet Tuhan
Desember 07, 2016
Seperti deburan ombak
yang keras menghantam setiap bilik jantungku, tetapi tiba-tiba berubah seperti angin sepoi yang membelai setiap lekukan
hatiku. Datang silih berganti membuat perasaanku menjadi frustasi. Bingung memilih mana yang akan kupeluk dengan segenap
keyakinan.
Hari
ini adalah pengumuman Nilai Ebtanas Murni ( NEM ) tingkat SMP. Dan aku terjebak
didalamnya karena semuanya akan dipertaruhkan diatas selembar kertas yang
berisi nilai empat mata pelajaran yang hanya ditorehkan dalam waktu empat hari.
Ya, tiga tahun akan tersapu bersih oleh empat hari. Gelisah, tak enak makan,
tak enak tidur, tak bisa duduk berlama lama. Yang kulihat cuma putaran jam
tanganku yang berputar pelan sekali, tak sebanding dengan degup jantungku yang
berpacu secepat mobil F1 bikinan yang terbaru. Persis seperti balapan kancil
dan sang keong. Dan rasanya sama saat
ijab qobul di depan sang penghulu 15 tahun yang lalu.
Dan
sekarang aku sedang duduk di depan panggung besar dengan lampu yang bersinar
terang yang menjamah hampir setiap sisi panggung. Aku sedang berada di sekolah
anakku menghadiri detik detik pengadilan Tuhan terhadap segala usaha yang telah
dilakukan orang tua dan anak. Aku tidak tahu apakah jika nilai anakku tidak
bagus, itu berarti Tuhan sedang menjatuhkan vonisnya terhadap ketidak becusan
kami sebagai orang tua, atau ketika nilai anakku bagus itu berarti Tuhan sedang
memberi hadiah atas semua usaha yang
telah kami lakukan. Atau justeru berlaku sebaliknya, karena matematika Tuhan
tidak sama dengan matematika bikinan manusia. Seribu dikurangi lima ratus
memang sama dengan lima ratus, itu menurut kita. Tapi bagi Tuhan bisa jadi
tetap seribu, atau satu juta atau bahkan habis tak bersisa. Tuhan memang
semauNya sendiri. Beliau tak mau diatur oleh siapapun, karena Beliau memang
Maha Mengatur. Rumusnya bisa dipelajari tapi tak pernah bisa dibikin manusia.
Acara
pertama diisi oleh serombongan band anak anak kelas tiga SMP. Musiknya
terdengar sangat gaduh seperti tak berirama, atau mungkin telinga orang tua
seperti kami ini yang sudah tak bisa menampung dentuman drum dan petikan gitar
yang frekuensinya terlalu besar buat telinga kami. Itulah masa remaja, tak ada
yang salah dengan pilihan musik mereka. Mereka butuh wadah untuk menyalurkan
energi mereka yang terlalu berlebih.
Ketika
sampai pada sambutan kepala sekolah,
kulihat wajahnya berseri seri, mungkin sudah tahu hasilnya terlebih dahulu. Berarti
sebagian besar sudah sesuai dengan yang diharapkan. Lalu yang sebagian kecil?
Rasanya semakin menambah kegelisahan pikiranku. Kabut tipis berwarna hitam
pekat mulai menggelantung bersembunyi di jalur kerutan kerutan keningku yang
sudah mulai kelihatan menua seiring umurku yang sudah berkepala lima.
“
Alhamdulillah, 85 % anak nilainya diatas 35. Kemudian 15 % sisanya antara 30
sampe 33 “, ujar kepala sekolah itu. Suaranya lantang dan vulgar, sepertinya
dia orang batak medan. Akankah anakku yang ada di 15 % itu ? Pertanyaan itu
terus mengikuti kemanapun pikiranku mengembara.
“
Dan saatnya sekarang pengumuman peserta peraih nilai 100 untuk ujian sekolah
dan ujian nasional. Selanjutnya akan diteruskan dengan pengumuman rangking
nilai sekolah dan rangking nilai ujian nasional. Orang tuanya dimohon untuk
tampil di panggung mendampingi putra putrinya“, suara sang pembawa acara
membuyarkan semua kegelisahanku. Seorang bapak muda dengan pakaian batik
kulihat mondar mandir naik turun panggung sampai lima kali mendampingi putrinya
yang sarat dengan prestasi. Sampai kelihatan lelah. Gila, sementara aku di
sebelahnya kelelahan menunggu nasib yang tak jelas. Aku hanya membayangkan
seandainya aku berdiri dipanggung itu bersama anakku dengan selembar kertas
sakti yang bertuliskan 10 besar. Pasti bangga. Mungkin rasanya seperti terbang
menyusuri awan putih yang bergumpal gumpal, terasa indah dan menyejukkan hati.
“
Dan sekarang saatnya pembagian nilai ujian nasional….. “, suara itu berintonasi
datar tetapi rasanya seperti menyengat dan membangkitkan barisan pasukan ketakutanku,
sehingga mengalirkan cairan bening lewat pori pori kulit dan menembus serat
serat kain baju. Rasanya seperti duduk di depan hakim yang akan segera
menjatuhkan palu keadilannya.
“
Arkan Sukma Khaidar … “, begitu nama anakku dipanggil, tubuh ini tiba tiba
beratnya menjadi dua kali lipat dari biasanya. Setiap langkah kaki harus kuseret dengan
sepenuh tenaga agar bisa sampe ke meja yang diatasnya ada setumpuk kertas
berisi nasib dan masa depan manusia manusia belia. Bahkan kertas itu membuat
banyak orang yakin bahwa kertas itu yang akan menentukan kesuksesan hidup,
sehingga mungkin Tuhan merasa sangat tersinggung karenanya.
Segera
kusobek pinggiran amplop berwarna putih, kuintip jumlah NEM yang tertera di
kotak paling bawah. Tiga puluh tiga ( 33 ), sejumlah itulah NEM anakku. Ada
rasa kecewa yang merayap menelusuri syaraf syaraf keegoisanku bahkan terus
bergerak dan mencoba menembus sampai ke dalam ruang nurani yang masih bersih,
padahal disitulah sebenarnya ruang yang disediakan Tuhan untuk menggerakkan
pikiran pikiran yang selalu mengarah pada hal hal kebaikan. Rasa kecewa itu
terus menggedor pintu nuraniku, seolah tidak percaya bahwa semua yang terjadi
adalah skenario terbaik dari Tuhan. Seolah tidak percaya bahwa Tuhan itu tidak
pernah salah dengan semua keputusanNya.
“
Jangan berkecil hati Mas, masih ada banyak kesempatan dalam hidupmu untuk
membuat papa dan mama bangga “, begitu kataku lirih pada anakku. Aku berusaha
menutupi semua perasaan kecewa, berusaha menghiburnya. Kulihat ada guratan
kesedihan di pelupuk matanya, apalagi melihat teman temannya bersorak gembira
merayakan kemenangan akademiknya. Sebagian besar mendapatkan NEM diatas 36. Aku
usap kepalanya dan sejenak kupeluk tubuhnya yang sudah hampir sama tinggi
denganku.
“
Hari ini Tuhan memberimu sedikit, tapi percayalah suatu saat Tuhan akan
memberimu lebih dibanding temen temanmu “, kataku masih berusaha menghiburnya.
Suaraku terasa sesak, sulit bergerak keluar seperti mendorong truk yang macet
dengan muatan berton-ton. Meskipun kecewa tetapi aku harus tetap menghiburnya,
kataku dalam hati sambil menghibur diri. Lalu siapa yang akan menghiburku ?
Usai
sudah drama penantian panjang bersama
anakku. Segera kuajak pulang ke rumah, pingin istirahat, kemudian mencoba dan mencoba lagi untuk menerima
kenyataan yang menurutku pahit. Di depan sekolah masih terlihat ramai oleh lalu
lalang orang tua dan anak yang larut dalam nasibnya masing masing, ku coba
menerobos membelah keramaian sambil memboncengkan anakku yang masih lengkap
menggunakan jas, dasi, celana panjang dan sepatu hitamnya yang terlihat mengkilap.
Keren banget, seperti saat aku berusia 17 tahun.
Belum
selesai kami menembus keramaian, tiba tiba anakku menepuk pundakku.
“
Berhenti dulu Pa, tunggu sini ya … “, kulihat dia berlari kecil mengejar
seseorang. Rupanya seorang ibu setengah tua yang sedang berjalan menuntun
sepeda motor tuanya. Sepertinya ban belakang bocor. Dari kejauhan tampak anakku
berdialog sejenak, kemudian dia berlari kecil kearahku kembali tanpa peduli
dengan tatapan banyak orang yang keheranan. Kurang kerjaan, mungkin begitu
batin mereka.
“
Papa ikuti aku menuntun sepeda motor ibu itu, sambil boncengkan beliau ya ? “,
katanya sembari tersenyum meskipun jas sewaan itu agak basah terkena keringat.
Aku hanya mengangguk mengiyakan. Dari belakang kuikuti anakku menuntun sepeda
motor ibu tadi, dan sang ibu duduk kelelahan diatas jok sepeda motorku. Mungkin
sejak tadi tidak ketemu tukang tambal ban. Hampir 300 meter anakku menuntun
sepeda motor bocor itu dengan pakaian jas lengkap. He he he keren banget.
Sebuah pemandangan yang unik dan langka.
Akhirnya
di tempat tambal ban terdekat, kami berhenti dan kami mohon pamit duluan.
Kulihat mata sang ibu tampak berkaca kaca, seperti menahan cairan bening dari
kedua kelopak matanya yang sudah mulai berkeriput.
“
Terima kasih banyak nak ….. “, hanya kalimat itu yang mampu dia keluarkan.
Anakku tersenyum sembari mencium tangan ibu tadi.
“
Doakan saya menjadi orang yang beruntung “, ujar anakku pelan.
“
Pasti Nak ….. “, jawab ibu itu sembari
mengusap debu yang menempel pada jas anakku. Beliau perlakukan seperti anaknya
sendiri.
Baca juga : Sepuluh Lebih Sepuluh
Sebuah
episode kecil dari Tuhan yang diperlihatkan di depan mataku, bahkan aku dilibatkan
di dalamnya. Sebuah episode yang membuka
mata batin bahwa anakku adalah juara sejati dalam kehidupan ini. Sebuah
kecerdasan hati yang langka dan jarang dipunyai oleh banyak orang. NEM_nya yang
hanya 33, tidak lantas membuatnya terpuruk bahkan Tuhan memberi nilai yang jauh lebih berharga dari nilai NEM itu
sendiri. Aku malu pada Tuhan. Bagaimana bisa,
aku tidak sanggup melihat emas yang sudah ada di genggamanku. Di
hadapanku. Di dalam kehidupanku. Dan semua itu telah menjadi milikku. Maafkan
aku dan terima kasih Tuhan, untuk semua episode ini. (*Penulis : Bakti Sukmoko Aji, Guru SMA 8
Yogyakarta)