Gadis Cantik Penampi Padi

Gadis cantik penampi padi
 – Aku menunggu kedatangan Upik Senja di warung ini dengan hati berdebar. Warung Etek Suna yang cukup terkenal dengan pisang gorengnya yang gurih. Namun belum ada tanda-tanda Upik Senja bakal datang meskipun sudah semakin sore.

Upik Senja hanyalah seorang gadis desa yang lugu. Tidak sempat menamatkan sekolah menengah pertama. Meskipun tidak berpendidikan tingi, putri pak Simir itu dikaruniai wajah cantik dan menarik. Bertubuh gempal dengan rambut panjang terurai.

Semasa sekolah di SMP, Upik Senja dipaksa berhenti sekolah oleh kedua orangtuanya. Pak Simir, ayah Upik Senja, sudah bosan dipanggil oleh pihak sekolah atas kelakuannya. Dalam satu semester paling tidak sampai tiga atau empat kali memenuhi panggilan wali kelas maupun kepala sekolah.

Upik Senja sering bolos belajar. Ia berbuat seenaknya kalau ia mau. Jika malas belajar dengan guru tertentu, Upik Senja langsung berangkat setelah minta izin keluar kelas. Namun tidak kembali lagi sampai pelajaran itu berakhir.

Akhirnya pak Simir memberhentikan putrinya sekolah. Kemudian memaksa anak semata wayangnya itu bekerja menjadi wanita penampi padi di waktu panen padi tiba. Entah sampai kapan hukuman itu akan dijalani oleh Upik Senja.

Aku menghela napas pelan. Teringat kembali saat pertama dekat dengan gadis desa penampi padi itu.

***

SEMINGGU lalu, aku harus melewati pematang sawah tempat Upik Senja bekerja menampi padi.

Karena pematang sawah cukup kecil aku mesti berhati-hati seraya menyandang cangkul di bahu.

Persis ketika melewati tempat Upik Senja menampi padi, entah apa yang memaksaku untuk selalu menoleh ke arah gadis berambut berkulit sawo matang itu.

“Blaurr..syiahhh…!!! Tiba-tiba kakiku terpeleset dari pematang sawah. Tubuhku terjerembab ke sawah, menimpa jerami batang padi yang sudah disabit. Nyaris cangkul yang kupikul di bahu kiri ikut menimpa tubuhku.

Pinggangku terasa sakit. Namun semua itu jadi lenyap karena sayup-sayup terdengar suara tawa Upik Senja mendekat.

“Makanya, kalau jalan di pematang sawah, matanya jangan celengak-celinguk ke arah lain,” ujar Upik Senja menyindir.

Aku hanya nyengir menerima sindiran Upik Senja. Aku segera bangkit. Upik Senja mengajakku mampir ke dangau di tepi pematang sawah tempat ia menampi padi. Itulah awal kedekatanku dengan Upik Senja. 

Masa liburan kuliah serasa cepat berlalu. Aku semakin dekat dengan Upik Senja. Dan ketika masa liburan itu sudah berada diambang waktu, kami berjanji bertemu di sebuah warung goreng pisang di desa kami.

***

“SUDAH lama Uda menunggu?”

Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Suara siapa lagi kalau bukan Upik Senja. Ia berdiri persis di seberang meja di hadapanku. Lalu, tanpa disuruh segera duduk di bangku panjang di seberang meja. Kini ia berhadapan denganku.

"Ah, tidak juga.” Sahutku pendek.
Upik senja tersenyum. Mungkin ia tahu kalau jawabanku bohong. Tapi senyum Upik Senja mampu mengusir kegalauan di hatiku.

Etek Suna menaruh sepiring goreng pisang di tengah meja antara aku dan Upik Senja. Segera aku comot sebuah sekadar mengusir kekakuan diriku ketika berhadapan dengan Upik Senja.

“Silahkan diambil pisang gorengnya,” ujarku seraya menyodorkan tempat pisang goreng lebih dekat ke hadapan Upik Senja.

“Terima kasih, Uda…”
Ternya Upik Senja enggan menikmati goreng pisang buatan Etek Suna.
      “Boleh Upik nanya, Uda?”
      Aku berhenti mengunyah pisang goreng.
      “Ya, tentu saja boleh. Mau nanya apa, sih?”
      “Apa Uda serius dengan saya?”
Aku terdiam. Tidak menyangka Upik Senja bertanya seperti itu. Namun aku dapat memahaminya. Jika wanita bertanya seperti itu, dengan nada yang berat dan serius maka harus ditanggapi dengan serius juga.
     “Iya, kenapa? Kamu meragukan diri Uda?” Aku balik bertanya.
     “Mmm, bukan begitu maksud saya, Uda.” Pintas Upik Senja.
     “Lantas?”
      “Aku hanya orang bodoh, Uda. Tidak sempat menamatkan SMP. Sehari-hari saya hanya bekerja jadi wanita penampi padi dari sawah ke sawah orang lain. Sedangkan Uda? Seorang calon sarjana, memiliki ilmu tinggi dan juga masa depan yang lebih baik.”
Upik Senja menghela nafas sejenak. Aku serius menunggu kelanjutan ucapan Upik Senja.
      “Apa Uda tidak malu atau gengsi dengan keadaan saya seperti ini, Uda?”
Aku terkesima mendengar ucapannya. Teryata, meski tidak tamat SMP, cara berbicara Upik Senja cukup memikat dan mendorong aku untuk tidak berdiam diri. Cara bicaranya kali ini melebihi dari apa yang aku bayangkan selama ini.
     “Kalau kamu wanita penampi padi, Uda bisa jadi lelaki penyabit padinya,” sahutku santai setengah bergurau.
     “Aku serius, Uda.” Sungut Upik Senja. Wajahnya makin manis.
     “Uda juga serius, koq…hehehe.”
     “Kapan Uda kembali kuliah ke kota?”
     “Dua hari lagi,”
     “Dua hari lagi?” Upik senja mengulang kalimatku. Nampak di raut wajahnya nada sedih.
     “Jangan sedih begitu. Uda juga bakal pulang ke kampung ini setiap minggu.”
     “Iya, deh…” Upik Senja nampak senang. Nikmat goreng pisang buatan Etek Suna belumlah senikmat menatap wajah cantik penampi padi di hadapanku.

Angin sore bertiup sepoi menyeruak masuk warung menyibak anak rambut Upik Senja.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel