Gadis Cantik Penampi Padi
Juli 31, 2017
Gadis cantik penampi padi
– Aku
menunggu kedatangan Upik Senja di warung ini dengan hati berdebar. Warung Etek
Suna yang cukup terkenal dengan pisang gorengnya yang gurih. Namun belum ada
tanda-tanda Upik Senja bakal datang meskipun sudah semakin sore.
Upik Senja hanyalah seorang gadis desa yang lugu. Tidak sempat menamatkan sekolah menengah pertama. Meskipun tidak berpendidikan tingi, putri pak Simir itu dikaruniai wajah cantik dan menarik. Bertubuh gempal dengan rambut panjang terurai.
Semasa sekolah di SMP, Upik Senja dipaksa berhenti sekolah oleh kedua orangtuanya. Pak Simir, ayah Upik Senja, sudah bosan dipanggil oleh pihak sekolah atas kelakuannya. Dalam satu semester paling tidak sampai tiga atau empat kali memenuhi panggilan wali kelas maupun kepala sekolah.
Upik
Senja sering bolos belajar. Ia berbuat seenaknya kalau ia mau. Jika malas
belajar dengan guru tertentu, Upik Senja langsung berangkat setelah minta izin
keluar kelas. Namun tidak kembali lagi sampai pelajaran itu berakhir.
Akhirnya
pak Simir memberhentikan putrinya sekolah. Kemudian memaksa anak semata
wayangnya itu bekerja menjadi wanita penampi padi di waktu panen padi tiba.
Entah sampai kapan hukuman itu akan dijalani oleh Upik Senja.
Aku
menghela napas pelan. Teringat kembali saat pertama dekat dengan gadis desa
penampi padi itu.
***
SEMINGGU lalu, aku harus melewati pematang sawah tempat Upik Senja bekerja menampi padi.
Karena pematang sawah cukup kecil aku mesti berhati-hati seraya menyandang
cangkul di bahu.
Persis
ketika melewati tempat Upik Senja menampi padi, entah apa yang memaksaku untuk
selalu menoleh ke arah gadis berambut berkulit sawo matang itu.
“Blaurr..syiahhh…!!! Tiba-tiba kakiku
terpeleset dari pematang sawah. Tubuhku terjerembab ke sawah, menimpa jerami
batang padi yang sudah disabit. Nyaris cangkul yang kupikul di bahu kiri ikut
menimpa tubuhku.
Pinggangku
terasa sakit. Namun semua itu jadi lenyap karena sayup-sayup terdengar suara
tawa Upik Senja mendekat.
“Makanya,
kalau jalan di pematang sawah, matanya jangan celengak-celinguk ke arah lain,”
ujar Upik Senja menyindir.
Aku
hanya nyengir menerima sindiran Upik Senja. Aku segera bangkit. Upik Senja mengajakku mampir ke dangau di tepi pematang sawah tempat ia menampi padi. Itulah awal kedekatanku dengan Upik Senja.
Masa liburan kuliah serasa cepat berlalu. Aku semakin dekat dengan Upik Senja. Dan ketika masa liburan itu sudah berada diambang waktu, kami berjanji bertemu di sebuah warung goreng pisang di desa kami.
***
“SUDAH lama Uda menunggu?”
Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Suara siapa lagi kalau bukan Upik Senja. Ia berdiri persis di seberang meja di hadapanku. Lalu, tanpa disuruh segera duduk di bangku panjang di seberang meja. Kini ia berhadapan denganku.
"Ah, tidak juga.” Sahutku pendek.
Upik
senja tersenyum. Mungkin ia tahu kalau jawabanku bohong. Tapi senyum Upik Senja
mampu mengusir kegalauan di hatiku.
Etek
Suna menaruh sepiring goreng pisang di tengah meja antara aku dan Upik Senja.
Segera aku comot sebuah sekadar mengusir kekakuan diriku ketika berhadapan
dengan Upik Senja.
“Silahkan
diambil pisang gorengnya,” ujarku seraya menyodorkan tempat pisang goreng lebih
dekat ke hadapan Upik Senja.
“Terima
kasih, Uda…”
Ternya
Upik Senja enggan menikmati goreng pisang buatan Etek Suna.
“Boleh Upik nanya, Uda?”
Aku berhenti mengunyah pisang goreng.
“Ya, tentu saja boleh. Mau nanya apa,
sih?”
“Apa Uda serius dengan saya?”
Aku
terdiam. Tidak menyangka Upik Senja bertanya seperti itu. Namun aku dapat
memahaminya. Jika wanita bertanya seperti itu, dengan nada yang berat dan
serius maka harus ditanggapi dengan serius juga.
“Iya, kenapa? Kamu meragukan diri Uda?”
Aku balik bertanya.
“Mmm, bukan begitu maksud saya, Uda.” Pintas
Upik Senja.
“Lantas?”
“Aku
hanya orang bodoh, Uda. Tidak sempat menamatkan SMP. Sehari-hari saya hanya
bekerja jadi wanita penampi padi dari sawah ke sawah orang lain. Sedangkan Uda?
Seorang calon sarjana, memiliki ilmu tinggi dan juga masa depan yang lebih
baik.”
Upik
Senja menghela nafas sejenak. Aku serius menunggu kelanjutan ucapan Upik Senja.
“Apa Uda tidak malu atau gengsi dengan
keadaan saya seperti ini, Uda?”
Aku
terkesima mendengar ucapannya. Teryata, meski tidak tamat SMP, cara berbicara
Upik Senja cukup memikat dan mendorong aku untuk tidak berdiam diri. Cara
bicaranya kali ini melebihi dari apa yang aku bayangkan selama ini.
“Kalau kamu wanita penampi padi, Uda bisa
jadi lelaki penyabit padinya,” sahutku santai setengah bergurau.
“Aku serius, Uda.” Sungut Upik Senja.
Wajahnya makin manis.
“Uda juga serius, koq…hehehe.”
“Kapan Uda kembali kuliah ke kota?”
“Dua hari lagi,”
“Dua hari lagi?” Upik senja mengulang
kalimatku. Nampak di raut wajahnya nada sedih.
“Jangan sedih begitu. Uda juga bakal pulang
ke kampung ini setiap minggu.”
“Iya, deh…” Upik Senja nampak senang. Nikmat
goreng pisang buatan Etek Suna belumlah senikmat menatap wajah cantik penampi
padi di hadapanku.
Angin
sore bertiup sepoi menyeruak masuk warung menyibak anak rambut Upik Senja.***