Nyanyian Sendu Batang Kapuah - Bagian 3

Nyanyian sendu batang kapuah bagian 3 - Di suatu pinggiran sungai Batang Kapuah. Berdiri sebuah rumah mirip gubug yang menyerupai rumah panggung. Menghadap ke arah barat, tepatnya ke sungai Batang Kapuah.

Ilustrasi gambar (Matrapendidikan.id)

Dinding rumah panggung terbagi dua bagian. Dinding bagian atas  terbuat dari aur yang dianyam sedemikian rupa.

Sementara bagian bawah atau pinggang rumah, didinding dengan kayu papan. Begitu pula lantainya juga dari kayu papan serta tangga terbuat dari balok kayu.

Sebagai rumah model panggung, rumah ini memiliki kolong yang tidak begitu tinggi.

Kolong rumah dijadikan kandang ternak ayam dan itik. Hewan ternak ini tidak bercampur baur karena kolong rumah dibatasi menjadi dua bagian, separuh untuk kandang ayam dan separuh lagi untuk kandang itik.

Ayam memang tidak bertelur di kandang kolong bawah rumah. Ayam bertelur di tempat khusus yang digantung di dinding belakang rumah. Tempat ayam bertelur terbuat dari bambu yang diolah sedemikian rupa.

Nyaris setiap pagi aku masuk kolong rumah ini. Memungut telur itik yang bertebaran di tanah  bawah kolong rumah. Adakalanya harus masuk ke kolong rumah buat menangkap ayam untuk dijual ibuku ke pasar di hari minggu.

Kepalaku sering terantuk pada lantai rumah tatkala memungut telur itik maupun menangkap ayam. Ayam-ayam itu lebih mudah ditangkap di dalam kandang sebelum matahari terbit ketimbang sudah dilepas keluar kandang.

Yang kuingat, ayam dijual ibu ke pasar Sumani pada hari Minggu untuk belanja dapur. Ibu selalu membeli ikan kering dan makanan untuk anak-anaknya.

Makanan itu antara lain Ketupat Pitalah. Ketupat Pitalah ini sudah ternama dari masa ke masa karena memang enak. Gulai ketupatnya adalah cempedak campur rebung yang dimasak sehingga hasilnya betul-betul empuk.

Di depan rumah panggung, ada sebatang pohon rambutan yang rimbun. Tingginya nyaris melebihi tinggi rumah panggung. Rambutan itu sering berbuah lebat.

Karena ditanam terlalu dekat dengan pondasi rumah, dahan dan ranting rambutan melambai-lambai ke atas atap rumah. Ketika musim berbuah, aku sering memanjat pohon dan bisa naik ke atap rumah.
Namun pohon rambutan depan rumah itu juga punya kenangan sendu bagiku. Pohon itu tak lain adalah tempat aku dan adik-adikku dieksekusi bila melakukan kesalahan.

Pernah aku menerima eksekusi dari orangtua, diikat dengan tali rantai di batang pohon rambutan itu pada malam hari.

Pasalnya, sapi gembalaanku tidak kenyang gara-gara aku banyak main-main bersama teman waktu gembala sapi. Hewan ini aku tambatkan saja sejak awal mulai gembala.

          “Sapi juga punya perasaan. Coba perut kamu itu tidak kenyang, bagaimana perasaanmu? Begitu pula dengan sapi itu,” kata ayah pedas, sebelum mengikatku di batang rambutan di malam itu.

Orangtuaku telah melakukan kekerasan, melanggar hak azasi manusia kata orangzaman sekarang. Tapi sumpah…, aku tak pernah… dan tidak akan pernah menggugat ayahku karena perlakuan telah melakukan kekerasan dan melanggar hak azasi manusia itu.
Sebaliknya, sampai sekarang aku bersyukur karena dididik dengan penuh disiplin dan kekerasan. Karena pola didikan seperti itu telah membuat diriku banyak belajar hikmah dan filosofi hidup.*** (Tamat)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel