Satu Bintang Di Ujung Cahaya
Januari 04, 2017
Cahaya rembulan tampak
sempurna memendarkan cahayanya saat ini.
Cakrawala yang sudah terbalut kelam bergerak perlahan mengikuti hukum
alam. Aku sandarkan tubuhku di tegaknya penyangga
gazebo teras rumahku. Kupandangi satu
persatu kelip kecil yang bertebaran di atap bumi melewati ruang kosong yang
bermilyar jaraknya. Meski jarum pendek
jam dinding sudah bergerak mendekati angka dua belas dan jarum panjang di angka
enam, tak kunjung juga bisa kupejamkan mata ini. Ada hal yang begitu mengusik hati dan
pikiranku. Aku buka satu per satu dalam memoriku file cerita yang terlewat
seharian ini.
Hari ini aku tidak mengajar penuh, beberapa
jam kosong aku habiskan untuk membantu petugas perpustakaan. Seperti biasa aku duduk di deretan kursi
belakang, dengan ritme teratur aku tuangkan cap bulat kayu label sekolahku di
halaman tertentu setiap buku baru. Beberapa siswa bahkan tidak menyapaku karena terlalu asyik membaca di
sudut ruang itu.
Oh iya aku adalah guru fisika yang baru dua
puluh dua bulan mengajar di sekolah ini. Anak anak sering memanggilku Bu Rini. Jabatan sebagai wali kelaspun belum lama aku terima. Menurut beberapa cerita kawan, sekolah ini memiliki
input siswa menengah kebawah dalam kemampuan akademiknya. Selain itu latar
belakang ekonomi yang sebagian besar sangat kurang, patut untuk mendapatkan
bantuan. Ditambah dengan tingkat
pendidikan orangtua yang kurang dan yang lebih mengagetkan sepertiga dari total
jumlah siswa dibesarkan di lingkungan yang abu-abu.
Tanpa aku sadari
kedatangannya, tiba-tiba seorang siswa menarik kursi yang ada di depanku, duduk
dan tertunduk lesu. Rambutnya yang berombak, garis-garis wajahnya yang datar,
pandangan matanya yang sendu menghentikan sejenak pekerjaanku. Aku tatap bola matanya yang menyimpan banyak
kesedihan dan tumpukan pilu dari prediksi kacamataku.
Ferdiyan, nama anak lelaki
itu, dia siswa kelas 9D. Telapak
tangannya berkali-kali mengusap pergelangan tangan kanannya, masih sambil
menunduk.
“Kenapa?” aku pecahkan
keheningan diantara kami. Lelaki yang
sedang menginjak masa remaja ini masih juga mengatupkan kedua bibirnya. Aku biarkan detik jam dinding berlalu, aku coba
dengan sepenuh perasaan kutawarkan bantuanku.
“ Ceritakan saja….mungkin Ibu bisa membantu”.
Sesirat cairan bening merata
menutup kornea matanya, pelupuknya berkedip berulang, dan pelan buliran cairan
itu membasahi pipinya.
“ Kangen ibu saya”, pita
suara di tenggorokannya tak bergetar sempurna, nampak berat tertahan di rongga dada.
“ Lho? Ibu pergi?” kataku
setengah menebak meskipun di sisi lain aku tersentak mendengarnya, namun aku coba tutupi .
Dia hanya menggelengkan
kepalanya. Aku letakkan telapak tanganku
dibahunya. Aku usap pelan.
“Ibu di mana?”, setengah berbisik aku
lontarkan kalimat itu.
“Kalimantan…., Ayah dan Ibu sudah berpisah,
saya dan ayah di Magelang. Adik dengan ibu di Kalimantan. Saya betul-betul tidak bisa belajar dan rasanya
malas untuk berangkat ke sekolah saat kangen pada ibu saya. Bagaimana bisa ayah dan ibu memutuskan
sesuatu tanpa memikirkan nasib saya dan adik? “, tanyanya dengan kepalan
tangan kanannya nampak geram.
“ Mereka orangtua yang egois”
, nada emosionalnya sangat bisa aku baca.
Masyaalloh….baur antara iba,
sedih, empati, memenuhi seluruh ruang kosong dalam hati dan pikiranku. Tanpa terasa, dengan sekali kedip saja cairan
hangat pasti akan tumpah dari kedua
lensa mataku. Aku sekuat tenaga
menahannya, aku harus kuat, aku tidak mau dia larut dalam kesedihannya. Aku susun batang-batang kekuatan untuk bisa
melipur laranya.
“ Ibu paham dan bisa merasakan ”, pelan aku ucapkan
sambil memandangi matanya.
“ Inilah hidup Ferdiyan ” , ucapku pelan
sambil kukerahkan sisa-sisa energi yang masih aku miliki.
“ Adakalanya tidak sesuai
dengan yang kita inginkan. Tentu ayah
dan ibu benar-benar sudah tidak ada pilihan, dan ini adalah jalan yang terbaik
yang mereka putuskan. Bisa jadi kalau
mereka bertahan, aura dalam rumah setiap hari akan terasa panas, karena ayah
dan ibu tidak seia sekata lagi dalam mengarunginya. Kata-kata kasar mungkin akan sering
tertangkap di gendang telinga adik dan kamu. Tentu ini tidak nyaman. Ayah ibu sangat
menjaga perasaan kalian. Kasihan kalau adikmu yang masih sekecil itu harus selalu
melihat ayah dan ibumu bertengkar. Yakinkan
pada dirimu bahwa Ibu disana pun selalu mendoakanmu. Kamu harus bisa menunjukkan pada ayah ibu
kelak, bahwa kamu bisa berhasil “.
“ Setidaknya mereka akan
malu pada dirimu, karena mereka tidak mengemban amanah Tuhan dengan penuh
kesungguhan, namun kamu bisa menunjukkan pada mereka bahwa kamu bisa
melewatinya. Dan siapa tahu itu bisa
menyatukan mereka kembali, yakinlah kesabaranmu akan indah pada waktunya. Kamu harus kuat, kamu adalah anak laki-laki
yang kelak juga harus bisa membantu ibu, menyenangkan hati ibu dan pastikan ibu
melihat cerah masa depanmu.”
Mungkin ini adalah
audiosonik dengan frekuensi terendah yang pernah aku keluarkan. Aku tatap matanya beberapa waktu, kesedihan
sudah tidak melingkupi penuh di garis-garis wajahnya. Nampaknya sudah sedikit ada rasa lega yang ia
rasakan. Dering bel memecahkan aksi diam
yang masih ia lakukan.
“Tetaplah disini, tenangkan
hati, barang satu jam pelajaran bisa kamu lewati untuk kita berdiskusi”, begitu
pintaku. Sambil berdiri aku yakinkan
bahwa aku akan mengijinkan pada guru yang akan mengajar di waktu berikutnya. Dia anggukkan pelan.
Dan sejak saat itu, dia
melewatkan detik demi detik dalam kehidupannya dengan penuh kepasrahan pada
Tuhan. Terkadang jika kepalanya sudah terlalu penuh dengan permasalahan maka
bisa dipastikan dia akan mencariku, kemudian berbincang melepaskan semua kepenatan
hidupnya. Dan itu membuatnya menjadi segar dan berani menghitung kembali jumlah
detik, menit, jam, hari, bulan dan tahun yang masih harus dijalaninya.
Lima tahun berlalu dengan
singkat, tanpa sengaja kami bertemu di parkiran sebuah Mall, yang kini adalah
satu-satunya Mall terbesar di Magelang.
Saat aku sedang berpikir keras mengatur motorku untuk bisa keluar dari
barisan puluhan motor lain, tiba-tiba ada seorang pemuda menghampiri dan
memanggilku.
“Bu Rini…, masih ingat saya?” sambil ia
ulurkan tangannya. Aku tersenyum, bagian
otakku yang bertugas mengingat tidak perlu bekerja keras menebaknya.
“ Apa kabar Ferdiyan? “, aku
tangkap uluran tangannya erat, serasa seluruh memoriku kembali ke masa silam,
saat ia duduk di depanku. Kali ini aku
lihat gurat wajahnya sudah tidak menampakkan kesedihan seperti dahulu.
“Ibu masih ingat saya ? ”, katanya sekali lagi
memastikan. Tak pernah berubah
gelagatnya saat bicara, masih Ferdiyan yang dulu.
“ He…he…he, mari kita duduk
disana “, pintaku. Aku parkirkan kembali
motorku.
“Alhamdulillah saya sudah
bekerja di New Armada Bu “. New Armada adalah sebuah perusahaan otomotif yang
sangat terkenal di kotaku. Begitulah dia mengawali ceritanya saat kami duduk di
cetakan semen pembatas lajur parkiran di Mall itu.
‘Heeuumm… siiip “,
kataku.
“Gimana, sudah menikah atau
belum? “, candaku.
Sambil tersenyum malu, dia
jawab, “ Belum memikirkan itu bu “.
“ Bagaimana kabar ibumu ? “,
aku beranikan tanya padanya.
“ Ibu dan adik sekarang
sudah tinggal di Magelang bersama kami “, jelasnya.
“ Subhanalloh…. “, satu
kalimat meluncur dengan ringannya dari mulutku. Terhenyak sesaat aku akan
jawabannya yang sama sekali tidak aku duga.
“ Terimakasih, Bu Rini selalu menyemangati
saya, hingga saya bisa bertahan dan menyelesaikan jenjang SMP saya,” panjang lebar ia ceritakan perjalanan
hidupnya.
“ Waktu itu saya ingin
segera bekerja, dan menyusul ibu di Kalimantan.
Pernah terbersit saya akan drop out saja, supaya ayah dan ibu tahu
akibat dari apa yang mereka putuskan. Saya
ingin balas dendam saat itu dan meminta perhatian keduanya. Namun saya ingat nasehat Bu Rini. Saya urungkan niat itu. Saat itu ayah
menginginkan saya masuk SMA, namun karena saya punya obsesi untuk segera
bekerja, saya nekat mendaftar di STM dan diterima. Tiga tahun saya lalui dengan tidak mudah,
namun saya mencoba untuk bertahan, meski di sela-sela itu sering berdebat dan
bertengkar dengan ayah. Alhamdulillah
tiga tahun bisa saya lewati meski dengan prestasi yang tidak tentu “, jelasnya
dengan mata menerawang atap parkiran.
“ Kemudian ada rekan ayah
yang mengajak untuk mendaftar bekerja di Armada. Tanpa tes yang berarti saya pun diterima di
bagian perawatan mesin “.
“ Tiga bulan saya kumpulkan
hasil keringat menjadi karyawan di
Armada, saya sampaikan tekad saya pada
ayah, untuk bisa menjemput Ibu dan adik .
Ayah malah terharu dan memeluk
saya bu, bahkan meminta maaf. Sejak saat
itu kami sudah kembali bersama bu “, tak kusadari tetesan demi tetesan air mataku
mengalir tanpa bisa aku hentikan barang sebulirpun. Aku sangat terharu. Aku hanya bisa berkata, itu buah kesabaranmu
Ferdiyan. Tuhan Maha Kuasa atas segala
sesuatu. Aku bangga padamu Ferdiyan.
Bahkan tidak hanya sampai
disitu, ketika Tuhan sudah memberikan nikmat pada hambaNya dan dia bersyukur
maka akan ditambahkan lagi nikmat yang lain. Begitulah jalan hidup Ferdiyan, sekarang dia disekolahkan oleh perusahaannya
di Jepang 6 bulan. Subhanalloh…. Luar
biasa skenarioMu Ya Tuhan… kisah ini mengakhiri lamunanku di teras
gazeboku. Hawa dingin yang sedari tadi
tak kurasa kini sudah menebal di kulitku.
Terimakasih Tuhan, ….Kau selamatkan satu
bintangku, Maret 2015 (Penulis : Rini Eka Handayani, guru SMPN 1 Magelang)