Sebuah Catatan Harian : Mereka Bukan Robot

Lima belas tahun aku mengajar di salah satu SMA faforit di Yogyakarta. Hari ini aku mendapatkan sesuatu yang tak pernah aku pikirkan sebelumnya. Selama 15 tahun belum pernah aku lakukan sama sekali. Berbicara, bercerita panjang lebar pada muridku tentang dia, tentang aku tentang ayah ibunya, tentang teman mereka, tentang masa depan mereka. 

Biasanya seluruh waktuku cuma habis untuk membicarakan tentang Hukum Newton, gravitasi, gerak melingkar, momentum, energi kinetik dan lain sebagainya yang membuat pikiranku, pikiran muridku menjadi semakin tebal, semakin kebal dan semakin melupakan bagaimana rasanya menyayangi, mencintai, menghormati dan menghargai. Semuanya hanya diukur dengan angka, hipotesis dan rumus rumus yang semakin merobotkan jiwa mereka. Semakin menajamkan logika mereka, tetapi semakin menumpulkan perasaan mereka.

Hari ini aku tidak mood untuk masuk kelas dan mengajar. Ada kejenuhan yang luar biasa menghinggapi perasaanku. Kejenuhan akan rutinitas keseharian mengajar. Tetapi karena ini adalah tugas terpaksa aku putuskan tetap masuk kelas XI Ipa 5, kelas yang super ramai, meriah, cuek dan urakan. Cowok cewek sama saja. 

          Tapi aku selalu memperhatikan salah satu muridku perempuan yang duduk di barisan belakang. Setiap kali dia tidak mood dengan pelajaranku, yang dia lakukan cuma diam dan duduk menghadap ke belakang. Tak menggubris omonganku sedikitpun. Jika aku adalah 10 tahun lalu, pasti anak tadi sudah aku maki maki di depan kelas, dihadapan semua murid. Tapi sekarang hal itu tak akan pernah bisa aku lakukan. Memarahi murid adalah pantangan bagiku. Hanya menghabiskan energi, menyakiti perasaan mereka dan membuat hidupku tidak nyaman. Kalau aku sudah tidak kuat menghadapinya, biasanya aku memilih keluar kelas dengan alasan ada tugas yang harus aku selesaikan.

Mungkin hari ini Tuhan kasihan melihat kekacauan dalam hatiku. Beliau dengan penuh kasih sayang memberikan ide dan inspirasi kepadaku. Tiba tiba muncul ide dalam otakku, aku bilang pada anak anak hari ini hanya ada tugas mengerjakan 10 soal dan dikumpulkan. 

Sambil menunggu mereka mengerjakan tugas itu, aku memanggil 6 anak,  termasuk murid perempuan tadi. Aku ajak mereka ke laboratorium fisika, kebetulan tidak dipakai guru lain. Aku pangggil satu persatu, aku ajak ngobrol tentang keluarga mereka, cita cita mereka dan masalah kehidupan mereka. Ketika sampai giliran dia, anehnya tak satupun aku lihat kecuekannya, acuhnya atau masa bodohnya. Dari tatapan matanya kurasakan kesedihan yang mendalam, dari gerakannya kurasakan kegelisahan yang terpendam. Dari caranya memandangku, sepertinya dia pingin bercerita tentang banyak hal kepadaku.

Kebetulan nama kita ada kesamaan, begitu aku membuka pembicaraan dengannya. Pura pura aku ajak dia jabat tangan. Sambil kugenggam tangannya aku bilang kalau aku merasakan hawa panas yang menjalar dari tangannya. Kulihat dia terkejut dengan pernyataanku tadi. Mungkin dia mengiraku punya ilmu paranormal. Bapak kok bisa tahu ? tanya dia. Aku tidak tahu soal  paranormal, aku hanya bisa merasakan saja. Justeru kamu yang harus cerita kenapa ada hawa panas dalam dirimu. Begitu jawabku.

Sepertinya dia percaya dengan omonganku. Sambil berlinang air mata dia bercerita tentang ayah, ibu, kakak dan cita citanya. Hidupnya terasa sempit, selalu menjadi sasaran kemarahan kedua orang tuanya karena dia tidak sepintar kakaknya yang sudah kuliah di fakultas kedokteran umum. Kedua orang tuanya selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya. Selalu kakaknya yang diunggulkan, sedangkan dirinya hanyalah pecundang.

Cita citanya adalah menjadi peragawati busana muslim. Sebuah cita cita yang selalu mengganggu pikirannya. Ketika hal itu dibicarakan dengan kedua orang tuanya, selalu saja mereka menyalahkan dirinya. Menurut bapak, apa yang harus aku lakukan ? Sebuah pertanyaan yang datang membuatku terkejut …..

Demikikan sekelumit dialog yang aku lakukan dengan murid muridku. Dan anehnya setelah aku berdialog dengan mereka, pada pertemuan berikutnya saat di kelas, anak anak yang sudah berdialog tadi berubah drastis menjadi sangat memperhatikan pelajaranku. Semenjak kejadian itu, maka hampir disetiap kelas aku lakukan hal yang sama, berdialog dengan anak satu persatu. Bercerita dari hati ke hati, mendengarkan masalah mereka, memompa cita cita mereka, mengawal harapan mereka dan merasakan kesedihan mereka.

Banyak waktu yang “hilang” dan menjelma menjadi rasa empati, menghargai dan menyayangi. Saking asyiknya berdialog dengan mereka, terkadang aku lupa kalau aku adalah guru fisika mereka.  Gerak parabola berubah menjadi pelajaran bagaimana kita harus berinteraksi  seimbang antara Tuhan dan sesama manusia.  Hukum kekekalan energi mekanik berubah menjadi pelajaran bagaimana kita harus menyikapi hidup ini bahwa di setiap kebahagiaan pasti ada penderitaan dan di setiap penderitaan pasti ada kebahagiaan karena Tuhan sudah membuat kehidupan tiap manusia adalah seimbang. Getaran harmonik berubah menjadi pelajaran bagaimana kita harus mengerti bahwa kehidupan ini selalu berubah setiap saat dan pencarian tujuan kehidupan ini adalah garis keseimbangan.

 Setelah berdialog dengan puluhan anak dan mendengarkan begitu banyak kesedihan, begitu banyak harapan, begitu banyak keputus-asaan,  aku serasa menjelma menjadi sosok manusia yang sangat bisa mendengarkan dan memahami  perasaan orang lain. Setelah 15 tahun mengajar, baru kali ini aku merasa menjadi guru yang sesungguhnya. Guru yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga mentransfer nilai nilai kehidupan. Inilah hakekat belajar sesungguhnya.

 Dan mengelola sebuah kelas tidaklah semudah memindah atau menggeser meja dan kursi, karena siswa bukanlah robot yang dengan mudah kita program sesuai dengan keinginan kita. Guru adalah satu komponen manusiawi dalam proses belajar-mengajar, yang ikut berperan dalam usaha membentuk sumber daya manusia yang potensial. Pada setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu.

Dialog dengan mereka satu persatu akan membuka banyak hal tentang masalah mereka, keinginan mereka dan kegelisahan mereka, sehingga mereka mengekspresikan dalam berbagai macam pembangkangan di kelas saat proses belajar mengajar berlangsung. Memerlukan waktu yang lama dan butuh ketrampilan berdialog dengan berbagai macam karakter anak. 

Bisa jadi guru akan kehilangan banyak energi untuk dapat melakukan cara ini, tetapi setelah itu kita menjadi tahu apa harus dilakukan dikelas berbekal informasi dari hasil dialog tersebut. Robot hanya punya logika, maka dia hanya akan melakukan perintah yang bisa dihitung dengan logika, manusia punya logika dan rasa, maka dia akan melakukan sesuatu yang masuk logika dan rasa mereka mereka.

Dengan dialog kita bisa membuka pintu gerbang menuju keseimbangan proses belajar mengajar, di mana guru dan murid sama sama bisa memahami tujuan pembelajaran dengan metode yang mereka inginkan. (*Penulis :Bakti Sukmoko Aji, guru SMU Negeri 8 Yogyakarta )

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel