Sebuah Catatan Harian : Mereka Bukan Robot
Januari 04, 2017
Lima belas tahun aku mengajar di salah satu SMA faforit di
Yogyakarta. Hari ini aku mendapatkan sesuatu yang tak pernah aku pikirkan
sebelumnya. Selama 15 tahun belum pernah
aku lakukan sama sekali. Berbicara,
bercerita panjang lebar pada muridku tentang dia, tentang aku tentang ayah
ibunya, tentang teman mereka, tentang masa depan mereka.
Biasanya seluruh waktuku cuma habis untuk membicarakan tentang Hukum Newton, gravitasi, gerak melingkar, momentum, energi kinetik dan lain sebagainya yang membuat pikiranku, pikiran muridku menjadi semakin tebal, semakin kebal dan semakin melupakan bagaimana rasanya menyayangi, mencintai, menghormati dan menghargai. Semuanya hanya diukur dengan angka, hipotesis dan rumus rumus yang semakin merobotkan jiwa mereka. Semakin menajamkan logika mereka, tetapi semakin menumpulkan perasaan mereka.
Hari ini aku tidak mood untuk masuk kelas dan mengajar. Ada kejenuhan yang luar biasa menghinggapi perasaanku. Kejenuhan akan rutinitas keseharian mengajar. Tetapi karena ini adalah tugas terpaksa aku putuskan tetap masuk kelas XI Ipa 5, kelas yang super ramai, meriah, cuek dan urakan. Cowok cewek sama saja.
Tapi aku selalu memperhatikan salah satu muridku
perempuan yang duduk di barisan belakang. Setiap kali dia tidak mood dengan
pelajaranku, yang dia lakukan cuma diam dan duduk menghadap ke belakang. Tak
menggubris omonganku sedikitpun. Jika aku adalah 10 tahun lalu, pasti anak tadi
sudah aku maki maki di depan kelas, dihadapan semua murid. Tapi sekarang hal
itu tak akan pernah bisa aku lakukan. Memarahi murid adalah pantangan bagiku. Hanya
menghabiskan energi, menyakiti perasaan mereka dan membuat hidupku tidak
nyaman. Kalau aku sudah tidak kuat menghadapinya, biasanya aku memilih keluar
kelas dengan alasan ada tugas yang harus aku selesaikan.
Mungkin hari ini Tuhan kasihan melihat kekacauan dalam
hatiku. Beliau dengan penuh kasih sayang memberikan ide dan inspirasi kepadaku.
Tiba tiba muncul ide dalam otakku, aku bilang pada anak anak hari ini hanya ada
tugas mengerjakan 10 soal dan dikumpulkan.
Sambil menunggu mereka mengerjakan
tugas itu, aku memanggil 6 anak,
termasuk murid perempuan tadi. Aku ajak mereka ke laboratorium fisika,
kebetulan tidak dipakai guru lain. Aku pangggil satu persatu, aku ajak ngobrol
tentang keluarga mereka, cita cita mereka dan masalah kehidupan mereka. Ketika
sampai giliran dia, anehnya tak satupun aku lihat kecuekannya, acuhnya atau
masa bodohnya. Dari tatapan matanya kurasakan kesedihan yang mendalam, dari
gerakannya kurasakan kegelisahan yang terpendam. Dari caranya memandangku,
sepertinya dia pingin bercerita tentang banyak hal kepadaku.
Kebetulan nama kita ada kesamaan, begitu aku membuka
pembicaraan dengannya. Pura pura aku ajak dia jabat tangan. Sambil kugenggam
tangannya aku bilang kalau aku merasakan hawa panas yang menjalar dari
tangannya. Kulihat dia terkejut dengan pernyataanku tadi. Mungkin dia mengiraku
punya ilmu paranormal. Bapak kok bisa tahu ? tanya dia. Aku tidak tahu
soal paranormal, aku hanya bisa
merasakan saja. Justeru kamu yang harus cerita kenapa ada hawa panas dalam
dirimu. Begitu jawabku.
Sepertinya dia percaya dengan omonganku. Sambil
berlinang air mata dia bercerita tentang ayah, ibu, kakak dan cita citanya.
Hidupnya terasa sempit, selalu menjadi sasaran kemarahan kedua orang tuanya
karena dia tidak sepintar kakaknya yang sudah kuliah di fakultas kedokteran
umum. Kedua orang tuanya selalu membandingkan dirinya dengan kakaknya. Selalu
kakaknya yang diunggulkan, sedangkan dirinya hanyalah pecundang.
Cita citanya adalah menjadi peragawati busana muslim.
Sebuah cita cita yang selalu mengganggu pikirannya. Ketika hal itu dibicarakan
dengan kedua orang tuanya, selalu saja mereka menyalahkan dirinya. Menurut bapak,
apa yang harus aku lakukan ? Sebuah pertanyaan yang datang membuatku terkejut …..
Demikikan sekelumit dialog yang aku lakukan dengan
murid muridku. Dan anehnya setelah aku berdialog dengan mereka, pada pertemuan
berikutnya saat di kelas, anak anak yang sudah berdialog tadi berubah drastis
menjadi sangat memperhatikan pelajaranku. Semenjak kejadian itu, maka hampir
disetiap kelas aku lakukan hal yang sama, berdialog dengan anak satu persatu. Bercerita
dari hati ke hati, mendengarkan masalah mereka, memompa cita cita mereka, mengawal
harapan mereka dan merasakan kesedihan mereka.
Banyak waktu yang “hilang” dan menjelma menjadi rasa
empati, menghargai dan menyayangi. Saking asyiknya berdialog dengan mereka,
terkadang aku lupa kalau aku adalah guru fisika mereka. Gerak parabola berubah menjadi pelajaran
bagaimana kita harus berinteraksi
seimbang antara Tuhan dan sesama manusia. Hukum kekekalan energi mekanik berubah
menjadi pelajaran bagaimana kita harus menyikapi hidup ini bahwa di setiap
kebahagiaan pasti ada penderitaan dan di setiap penderitaan pasti ada
kebahagiaan karena Tuhan sudah membuat kehidupan tiap manusia adalah seimbang.
Getaran harmonik berubah menjadi pelajaran bagaimana kita harus mengerti bahwa
kehidupan ini selalu berubah setiap saat dan pencarian tujuan kehidupan ini
adalah garis keseimbangan.
Setelah
berdialog dengan puluhan anak dan mendengarkan begitu banyak kesedihan, begitu
banyak harapan, begitu banyak keputus-asaan,
aku serasa menjelma menjadi sosok manusia yang sangat bisa mendengarkan
dan memahami perasaan orang lain.
Setelah 15 tahun mengajar, baru kali ini aku merasa menjadi guru yang
sesungguhnya. Guru yang tidak hanya mentransfer ilmu pengetahuan, tetapi juga
mentransfer nilai nilai kehidupan. Inilah hakekat belajar sesungguhnya.
Dan mengelola sebuah kelas tidaklah semudah
memindah atau menggeser meja dan kursi, karena siswa bukanlah robot yang dengan
mudah kita program sesuai dengan keinginan kita. Guru
adalah satu komponen manusiawi dalam proses belajar-mengajar, yang ikut
berperan dalam usaha membentuk sumber daya manusia yang potensial. Pada
setiap diri guru itu terletak tanggung jawab untuk membawa para siswanya pada
suatu kedewasaan atau taraf kematangan tertentu.
Dialog
dengan mereka satu persatu akan membuka banyak hal tentang masalah mereka,
keinginan mereka dan kegelisahan mereka, sehingga mereka mengekspresikan dalam
berbagai macam pembangkangan di kelas saat proses belajar mengajar berlangsung. Memerlukan waktu yang lama dan butuh
ketrampilan berdialog dengan berbagai macam karakter anak.
Bisa jadi guru akan
kehilangan banyak energi untuk dapat melakukan cara ini, tetapi setelah itu
kita menjadi tahu apa harus dilakukan dikelas berbekal informasi dari hasil
dialog tersebut. Robot hanya punya logika, maka dia hanya akan melakukan
perintah yang bisa dihitung dengan logika, manusia punya logika dan rasa, maka
dia akan melakukan sesuatu yang masuk logika dan rasa mereka mereka.
Dengan
dialog kita bisa membuka pintu gerbang menuju keseimbangan proses belajar
mengajar, di mana guru dan murid sama sama bisa memahami tujuan pembelajaran
dengan metode yang mereka inginkan. (*Penulis : Bakti Sukmoko Aji, guru SMU Negeri 8 Yogyakarta )