Tegak Lurus Gravitasi
Januari 14, 2017
“Minumnya
gratis pak…. “, aku terbengong mendengar jawabannya, kulirik wajah isteriku.
Dia cuma tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya. Hampir dua jam lebih mobilku berputar-putar
menyusuri jalanan aspal yang mendatar
kadang berbelok dan tiba tiba turun tajam. Setiap bertemu pertigaan atau
perempatan, mataku jelalatan mencari papan besar berwarna hijau dengan tulisan
besar berwarna putih yang menunjukkan arah perjalanan yang akan dituju. Sedari tadi belum pernah
sekalipun aku temukan tulisan yang sudah sangat kami rindukan bagaikan Syamsul
Bahri yang merindukan Siti Nurbaya, tapi
terhalang oleh Datuk Maringgih. “ Alun Alun Wonosobo “.
Lebih
dari tiga kali aku lewat jalur ini, tapi aku tak pernah sungguh sungguh menghapalkan
arahnya, karena memang tidak begitu berkepentingan dengannya. Tidak tahu kenapa,
tiba tiba ada hasrat yang sangat kuat
dalam benakku untuk datang ke kota yang udaranya dingin dan penuh dengan wisata
kuliner yang unik. Mie ongklok dan manisan carica, dua jenis makanan yang
menjadi andalan kuliner Kota Wonosobo. Belum pernah sekalipun lidahku ini
mencoba merasakannya. Katanya sih, mie ongklok ini terbuat dari mie, potongan
tahu dan sayuran serta siraman kuahnya yang terbuat dari pati kanji. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya menyantap
menu dengan racikan seperti itu.
Sepertinya,
perjalanan masih panjang untuk sampai ke penjual mie ongklok. Benar saja, dalam perjalanan kami bertemu dengan sebuah
pertigaan tapi sayang di dekatnya tidak terdapat tulisan besar penunjuk arah
perjalanan. Kuinjak rem dan segera aku pinggirkan mobil di dekat trotoar.
“
Tanya saja…. “, usul isteriku. Aku segera turun dari mobil sembari melayangkan
pandangan ke sekeliling jalan yang ada di depanku. Meski agak ragu, tapi kuberanikan
untuk mendekati seorang laki laki yang sedang duduk sendirian di atas trotoar. Kulirik
ke bawah, ada tatoo di kakinya. Tapi kuberanikan bertanya padanya.
“
Maaf Pak, kalau ke Alun Alun Wonosobo lewat mana? “. Nampaknya dia agak terusik
dengan kehadiranku, tapi dengan wajah santun pria itu mendekat ke arahku.
“
Aduh anda salah jalan.. “, katanya. Mungkin tadi seharusnya aku belok kiri
“Anda putar saja, lalu di perempatan
itu ambil kanan“, katanya sembari menunjukkan arah yang seharusnya aku ambil.
“ Terima kasih Pak “,
kataku. Segera aku putar mobilku, tetapi karena lalu lintas sangat ramai, terpaksa
menunggu beberapa saat. Tiba-tiba pria tadi bergegas ke tengah jalan mengatur lalu lintas dan
mencarikan jalan buatku. Kupandangi lekat lekat wajah pria tadi sebelum aku
putar kembali mobilku. Ada rasa haru menyelinap ke dalam bilik rasaku. Rasa
haru yang perlahan-lahan mengembun menjadi beberapa tetes air sejuk yang
menyentuh dan memberikan rasa ketenangan yang sangat dalam. Ternyata tidak
boleh memvonis perangai seseorang hanya dengan melihat luarnya saja. Sedari
tadi aku sudah khawatir, jangan jangan justeru kami yang akan mendapat
perlakuan yang tidak enak dari pria tadi. Tapi kami salah besar. Pelajaran
pertama buat kami.
Kuarahkan
mobilku mengikuti petunjuk pria bertatoo tadi. Lagi lagi kami bertemu sebuah
pertigaan dan celakanya tidak ada papan penunjuk jalan. Pingin bertanya pada
google map tapi handphone kami hanyalah handphone jadul ( jaman dulu ) yang
cuma bisa untuk sms dan menelpon saja. Kami memang bukan termasuk orang yang
maniak teknologi karena memang budget kami sangat terbatas. Cukuplah handphone buat sms dan telpon saja.
“
Tanya saja …”, usul isteriku mengulang usul yang pertama tadi. Kunyalakan lampu
sein ke kiri dan kuhentikan mobil di dekat trotoar. Di depanku ada serombongan
anak muda persis di samping warnet. Dua orang sedang menikmati rokok dan dua
orang lagi dengan rambut dicat berwarna coklat muda sedang menikmati sebuah
makanan. Pasti ini rombongan anak anak yang tidak jelas masa depannya. Ragu
ragu aku dekati. Mereka memandangku dengan tatapan sinis. Mungkin kelihatan
kalau kami memang bukan penduduk asli daerah ini.
“
Maaf mas, mau tanya. Kalau jalan menuju ke alun alun Wonosobo lewat mana ya?“, tukasku dengan intonasi rendah,
berusaha seramah mungkin. Takut menyinggung perasaan mereka. Sungguh di luar
dugaan, Mereka bergegas membuang rokok dan bergerak mendekatiku.
“
Sudah dekat Pak. Mari ikuti saya saja, kebetulan saya juga akan ke alun alun “,
jawabnya sopan, bahkan terlalu sopan untuk tampilan orang seperti itu.
Kuluncurkan mobil mengikuti sepeda
motornya menuju alun alun.
“
Ternyata banyak orang baik ya? “, kata isteriku lirih.
“
Iya….”, jawabku mengiyakan. Pelajaran ke dua buat kami.
Alun
alun Wonosobo, kami datang! Area seluas 10.000 m2 tampak dipenuhi
aneka kuliner dan fashion. Hampir tidak ada tempat kosong disepanjang trotoar
yang mengelilingi alun alun itu. Kuedarkan pandanganku ke seluruh area, ada
magnet yang menarikku sangat kuat. Benar juga tubuhku tak berdaya mengikuti
selera makan yang meronta ronta untuk dipuaskan. Ada asap tipis yang meliuk
liuk menggugah selera menutupi satu baris kata yang menempel pada kaca buram
dan sudah lama aku rindukan. “ Mie Ongklok
Wonosobo”.
“
Eiit… “, tiba tiba bajuku ditarik isteri membuatku urung memesan mie ongklok.
Kutengok ke belakang, rupanya anakku tidak setuju dengan pilihannya. Wajahnya
yang cantik menjadi sedikit buram tertutup kabut cemberut. Aduuh bakalan perang
dunia ke 3.
“
Tempatnya gak bersih… “, protesnya pelan.
“Yaaahhhh…”, tiba tiba asap putih bergulung gulung menutupi gerobak dan dalam
sekejap lenyap bersama musnahnya harapanku menyantap mie ongklok. Begitulah
kehidupan, rejeki seseorang tidak akan pernah salah menghampiri sang
pemiliknya. Bahkan yang sudah digenggaman saja bisa melayang pergi. Pelajaran
ke tiga buat kami. Dan kami berdebar debar menunggu pelajaran
berikutnya. Rupanya ini jawaban dari Tuhan kenapa aku sangat ingin pergi ke
alun alun Wonosobo. Tak ada yang kuasa menolak jika Tuhan berkehendak
memberikan pelajaran pada hambaNya.
Sepanjang
perjalanan pulang kami bertiga terdiam dan terkurung dalam pikiran kami masing
masing. Mencoba menelan, mengunyah dan menyerap inti sari dari semua pelajaran
Tuhan hari ini, hingga rasa lapar yang
hinggap di perut sejak siang tadi mulai mengusik kekhusukan kami berolah rasa. Bahkan
diantara puluhan tempat makan yang kami lewati, tak ada satupun yang dapat
menggerakkan telapak kakiku untuk menginjak rem. Semua lewat. Hingga ada ribuan
tesla dari sekumpulan medan magnet yang menggerakkan hati, pikiran dan seluruh
tubuh untuk menghentikan laju mobil pada sebuah warung kecil dan sederhana di
depan sebuah gang kecil. Di sampingnya berdiri megah toko oleh oleh khas Kota
Wonosobo yang tengah ramai diserbu orang orang yang akan membeli oleh oleh
untuk orang orang tercinta di rumah. Meski kecil, tapi kelihatan bersih saat
kami berada di dalamnya. Sepasang suami isteri yang masih muda dengan dua anak
perempuan. Seusia anak kelas 3 SD dan satunya masih 4 tahun.
Hampir
pukul 17.00 wib saat aku minta ijin ke toilet dan tempat sholat, bergantian
dengan anak dan isteriku.
“
Tiga mie ongklok Pak. Sama tiga teh panas ‘, akhirnya penantian panjang untuk
menikmati makanan khas Wonosobo terwujud. Kesabaran memang selalu berbuah
kenikmatan.
“
Berapa pak semuanya? “, tanyaku sambil memberikan uang lima puluh ribuan.
“
Tiga mie ongklok….. dua puluh empat ribu. Minumnya gratis “, jawabnya
“
Haaaa…. Gratis??? “, aku terbengong.
“Kenapa
pak?”, tanyaku seperti tidak percaya. Aku heran dengan cara berhitungnya.
Dengan untung dari mie yang tidak terlalu banyak, bagaimana bisa mereka
menggratiskan minumnya.
“
Karena bapak, isteri dan putrinya sudah sholat di tempat ini…”
Seketika mulutku terkunci. Tak ada lagi
sederetan kata yang dapat keluar lagi. Jantungku seperti berhenti berdetak.
Hampir tak sanggup mengedarkan oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Kakiku seperti
terhujam ke tanah sedalam satu meter, membuatku tak bisa bergerak sedikitpun. Mataku
hampir tak berkedip selama 10 detik. Kalau tidak aku tahan pasti akan segera
jatuh bulir bulir air bening menetes ke bumi seolah bersujud pada Kebesaran
Tuhan. Hanya bibirku yang bisa tersenyum haru melihat kemuliaan seorang manusia
yang tengah mencoba mendekati salah satu sifat Asma Tuhan. Maha Pemurah…
Magelang,
Januari 2016
(*Penulis : Bakti Sukmoko Aji, Guru SMA 8 Yogyakarta)