Tegak Lurus Gravitasi

Minumnya gratis pak…. “, aku terbengong mendengar jawabannya, kulirik wajah isteriku. Dia cuma tersenyum sembari mengedipkan sebelah matanya.  Hampir dua jam lebih mobilku berputar-putar menyusuri  jalanan aspal yang mendatar kadang berbelok dan tiba tiba turun tajam. Setiap bertemu pertigaan atau perempatan, mataku jelalatan mencari papan besar berwarna hijau dengan tulisan besar berwarna putih yang menunjukkan arah perjalanan  yang akan dituju. Sedari tadi belum pernah sekalipun aku temukan tulisan yang sudah sangat kami rindukan bagaikan Syamsul Bahri yang merindukan  Siti Nurbaya, tapi terhalang oleh Datuk Maringgih. “ Alun Alun Wonosobo “.

Lebih dari tiga kali aku lewat jalur ini, tapi aku tak pernah sungguh sungguh menghapalkan arahnya, karena memang tidak begitu berkepentingan dengannya. Tidak tahu kenapa,  tiba tiba ada hasrat yang sangat kuat dalam benakku untuk datang ke kota yang udaranya dingin dan penuh dengan wisata kuliner yang unik. Mie ongklok dan manisan carica, dua jenis makanan yang menjadi andalan kuliner Kota Wonosobo. Belum pernah sekalipun lidahku ini mencoba merasakannya. Katanya sih, mie ongklok ini terbuat dari mie, potongan tahu dan sayuran serta siraman kuahnya yang terbuat dari pati kanji. Aku tidak  bisa membayangkan bagaimana rasanya menyantap menu dengan racikan seperti itu.

Sepertinya, perjalanan masih panjang untuk sampai ke penjual mie ongklok. Benar saja,  dalam perjalanan kami bertemu dengan sebuah pertigaan tapi sayang di dekatnya tidak terdapat tulisan besar penunjuk arah perjalanan. Kuinjak rem dan segera aku pinggirkan mobil di dekat trotoar.
            “ Tanya saja…. “, usul isteriku. Aku segera turun dari mobil sembari melayangkan pandangan ke sekeliling jalan yang ada di depanku. Meski agak ragu, tapi kuberanikan untuk mendekati seorang laki laki yang sedang duduk sendirian di atas trotoar. Kulirik ke bawah, ada tatoo di kakinya. Tapi kuberanikan bertanya padanya.
            “ Maaf Pak, kalau ke Alun Alun Wonosobo lewat mana? “. Nampaknya dia agak terusik dengan kehadiranku, tapi dengan wajah santun pria itu mendekat ke arahku.
            “ Aduh anda salah jalan.. “, katanya. Mungkin tadi seharusnya aku belok kiri
“Anda putar saja, lalu di perempatan itu ambil kanan“, katanya sembari menunjukkan arah yang seharusnya aku ambil.
“ Terima kasih Pak “, kataku. Segera aku putar mobilku, tetapi karena lalu lintas sangat ramai, terpaksa menunggu beberapa saat. Tiba-tiba pria tadi bergegas  ke tengah jalan mengatur lalu lintas dan mencarikan jalan buatku. Kupandangi lekat lekat wajah pria tadi sebelum aku putar kembali mobilku. Ada rasa haru menyelinap ke dalam bilik rasaku. Rasa haru yang perlahan-lahan mengembun menjadi beberapa tetes air sejuk yang menyentuh dan memberikan rasa ketenangan yang sangat dalam. Ternyata tidak boleh memvonis perangai seseorang hanya dengan melihat luarnya saja. Sedari tadi aku sudah khawatir, jangan jangan justeru kami yang akan mendapat perlakuan yang tidak enak dari pria tadi. Tapi kami salah besar. Pelajaran pertama buat kami.
            Kuarahkan mobilku mengikuti petunjuk pria bertatoo tadi. Lagi lagi kami bertemu sebuah pertigaan dan celakanya tidak ada papan penunjuk jalan. Pingin bertanya pada google map tapi handphone kami hanyalah handphone jadul ( jaman dulu ) yang cuma bisa untuk sms dan menelpon saja. Kami memang bukan termasuk orang yang maniak teknologi karena memang budget kami sangat terbatas. Cukuplah handphone  buat sms dan telpon saja.
            “ Tanya saja …”, usul isteriku mengulang usul yang pertama tadi. Kunyalakan lampu sein ke kiri dan kuhentikan mobil di dekat trotoar. Di depanku ada serombongan anak muda persis di samping warnet. Dua orang sedang menikmati rokok dan dua orang lagi dengan rambut dicat berwarna coklat muda sedang menikmati sebuah makanan. Pasti ini rombongan anak anak yang tidak jelas masa depannya. Ragu ragu aku dekati. Mereka memandangku dengan tatapan sinis. Mungkin kelihatan kalau kami memang bukan penduduk asli daerah ini.
            “ Maaf mas, mau tanya. Kalau jalan menuju ke alun alun Wonosobo lewat  mana ya?“, tukasku dengan intonasi rendah, berusaha seramah mungkin. Takut menyinggung perasaan mereka. Sungguh di luar dugaan, Mereka bergegas membuang rokok dan bergerak mendekatiku.
            “ Sudah dekat Pak. Mari ikuti saya saja, kebetulan saya juga akan ke alun alun “, jawabnya sopan, bahkan terlalu sopan untuk tampilan orang seperti itu. Kuluncurkan mobil mengikuti  sepeda motornya menuju alun alun.
            “ Ternyata banyak orang baik ya? “, kata isteriku lirih.
            “ Iya….”, jawabku mengiyakan. Pelajaran ke dua buat kami.
            Alun alun Wonosobo, kami datang! Area seluas 10.000 m2 tampak dipenuhi aneka kuliner dan fashion. Hampir tidak ada tempat kosong disepanjang trotoar yang mengelilingi alun alun itu. Kuedarkan pandanganku ke seluruh area, ada magnet yang menarikku sangat kuat. Benar juga tubuhku tak berdaya mengikuti selera makan yang meronta ronta untuk dipuaskan. Ada asap tipis yang meliuk liuk menggugah selera menutupi satu baris kata yang menempel pada kaca buram dan sudah  lama aku rindukan. “ Mie Ongklok Wonosobo”.
            “ Eiit… “, tiba tiba bajuku ditarik isteri membuatku urung memesan mie ongklok. Kutengok ke belakang, rupanya anakku tidak setuju dengan pilihannya. Wajahnya yang cantik menjadi sedikit buram tertutup kabut cemberut. Aduuh bakalan perang dunia ke 3.
            “ Tempatnya gak bersih… “, protesnya pelan.
         “Yaaahhhh…”, tiba tiba asap putih bergulung gulung menutupi gerobak dan dalam sekejap lenyap bersama musnahnya harapanku menyantap mie ongklok. Begitulah kehidupan, rejeki seseorang tidak akan pernah salah menghampiri sang pemiliknya. Bahkan yang sudah digenggaman saja bisa melayang pergi. Pelajaran ke tiga buat kami. Dan kami berdebar debar menunggu pelajaran berikutnya. Rupanya ini jawaban dari Tuhan kenapa aku sangat ingin pergi ke alun alun Wonosobo. Tak ada yang kuasa menolak jika Tuhan berkehendak memberikan pelajaran pada hambaNya.
            Sepanjang perjalanan pulang kami bertiga terdiam dan terkurung dalam pikiran kami masing masing. Mencoba menelan, mengunyah dan menyerap inti sari dari semua pelajaran Tuhan hari ini, hingga  rasa lapar yang hinggap di perut sejak siang tadi mulai mengusik kekhusukan kami berolah rasa. Bahkan diantara puluhan tempat makan yang kami lewati, tak ada satupun yang dapat menggerakkan telapak kakiku untuk menginjak rem. Semua lewat. Hingga ada ribuan tesla dari sekumpulan medan magnet yang menggerakkan hati, pikiran dan seluruh tubuh untuk menghentikan laju mobil pada sebuah warung kecil dan sederhana di depan sebuah gang kecil. Di sampingnya berdiri megah toko oleh oleh khas Kota Wonosobo yang tengah ramai diserbu orang orang yang akan membeli oleh oleh untuk orang orang tercinta di rumah. Meski kecil, tapi kelihatan bersih saat kami berada di dalamnya. Sepasang suami isteri yang masih muda dengan dua anak perempuan. Seusia anak kelas 3 SD dan satunya masih 4 tahun.
            Hampir pukul 17.00 wib saat aku minta ijin ke toilet dan tempat sholat, bergantian dengan anak dan isteriku.
            “ Tiga mie ongklok Pak. Sama tiga teh panas ‘, akhirnya penantian panjang untuk menikmati makanan khas Wonosobo terwujud. Kesabaran memang selalu berbuah kenikmatan.
            “ Berapa pak semuanya? “, tanyaku sambil memberikan uang lima puluh ribuan.
            “ Tiga mie ongklok….. dua puluh empat ribu. Minumnya gratis “, jawabnya
            “ Haaaa…. Gratis??? “, aku terbengong.
           “Kenapa pak?”, tanyaku seperti tidak percaya. Aku heran dengan cara berhitungnya. Dengan untung dari mie yang tidak terlalu banyak, bagaimana bisa mereka menggratiskan minumnya.
            “ Karena bapak, isteri dan putrinya sudah sholat di tempat ini…”
Seketika mulutku terkunci. Tak ada lagi sederetan kata yang dapat keluar lagi. Jantungku seperti berhenti berdetak. Hampir tak sanggup mengedarkan oksigen ke seluruh jaringan tubuh. Kakiku seperti terhujam ke tanah sedalam satu meter, membuatku tak bisa bergerak sedikitpun. Mataku hampir tak berkedip selama 10 detik. Kalau tidak aku tahan pasti akan segera jatuh bulir bulir air bening menetes ke bumi seolah bersujud pada Kebesaran Tuhan. Hanya bibirku yang bisa tersenyum haru melihat kemuliaan seorang manusia yang tengah mencoba mendekati salah satu sifat Asma Tuhan. Maha Pemurah…
                                                                                                            Magelang, Januari 2016
(*Penulis : Bakti Sukmoko Aji, Guru SMA 8 Yogyakarta)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel