Cinta Hanya dalam Mimpi
Februari 05, 2017
Marsya
tidak terlalu cantik di mataku - Bahkan perempuan tiga puluhan tahun itu kalah
cantik dari perempuan-perempuan yang ada di tempat aku bekerja. Rekan-rekan
kerjaku dari kaum hawa nyaris semuanya berkulit putih bersih dan halus.
Mengenakan hijab keren namun tampil
dengan sikap agresif dan bergaya masa kini. Mungkin seperti itu trend perempuan
moderen masa kini.
Berlainan
dengan Marsya. Perempuan berwajah lonjong itu kulitnya agak gelap. Itu kalau
tidak keterlaluan dikatakan berkulit hitam. Berkulit sawo matang kalau tidak mau dikatakan
berkulit sawo hangus. Itu juga kuketahui dari kulit tangan maupun mukanya.
Penampilannya
jauh tertinggal dari rekan kerjaku yang lainnya. Jarang kuperhatikan dia memakai
bedak tebal, apalagi memoles bibirnya dengan pewarna bibir yang glamour. Mungkin karena Marsya merasa
tidak cocok saja menggunakan gincu. Atau memang tidak biasa memoles bibir
mungilnya dengan lipstik.
Justru
keadaan dan penampilan Marsya apa adanya itu telah mencuri perhatianku. Lagi
pula sikap dan caranya memandangku, menyita sebagian besar energi batinku. Sikapnya yang lembut dan suaranya terdengar manja di telinga telah membetot sukmaku.
Suatu
ketika, aku menyatakan isi hati pada Marsya. Isi hati yang telah lama kupendam. Kata-kata yang akan
kusampaikan telah ditata sedemikian rupa, mulai dari pendahuluan, inti sampai
pada penutup. Bahkan nyaris seperti dramawan menghafal teks drama yang akan
diperankan.
Ujung-ujungnya
aku kecewa. Tanggapannya begitu ringan terhadap pernyataanku yang sudah kususun
dari semula. Marsya tidak merespon dengan antusias maksud isi hatiku. Ia seakan
berusaha untuk melepaskan diri dari ikatan kalimat yang kusampaikan.
“Mas,
sebaiknya cari saja perempuan yang lain.” ungkap Marsya.
Aku
tercenung. Menatap hampa ke arah Marsya.
“Banyak
teman-teman kerja di tempat kita ini yang lebih cantik dari saya. Mas dapat
saja memilih salah seorang yang mas sukai.” Sambung Marsya.
Aku
terdiam. Kehabisan kata untuk menanggapi apa yang disampaikan perempuan yang
duduk di hadapanku.
Sebenarnya,
aku telah melupakan peristiwa itu dan membuang jauh-jauh perasaanku pada
Marsya. Namun semakin aku melupakan, semakin aku buang perasaan suka kepadanya.
Marsya justru semakin mendekat ke lokasi sentral hatiku. Perasaan suka yang tertanam
menjadi bumerang, menyerang balik
jantung hatiku.
Mungkin
semua itu karena aku dan Marsya bekerja di lingkungan sama. Mau atau tidak akan
bertemu setiap hari. Ini akan membuat tumbuh subur benih-benih siuka kepadanya
meskipun ia telah menolakku secara halus.
Marsya
memang benar. Banyak perempuan cantik di tempat kerjaku. Aku bisa memilih salah
seorang di antara mereka. Yang berkulit putih mulus, yang berginju bibir menyala,
yang energik dan tampil keren.
Tapi
aku memang tolol. Semua itu tak membuat semangatku menyala untuk mengikuti
saran Marsya. Peduli amat dengan saran Marsya. Yang ada di benak dan hatiku
hanya Marsya.
Ketika
aku merasa belum cukup usaha, aku bertekad untuk mendekati Marsya untuk kedua
kalinya. Mana tahu pendirian Marsya berubah. Dengan penuh optimis aku memanggil
Marsya ke sebuah Kafe dan menyatakan kembali apa yang kurasakan.
“Mas…,
saya bukan menolak apalagi enggan, mas.” Ujar Marsya pelan.
“Lantas,
kenapa kamu keberatan?” desakku cepat.
“Juga
bukan keberatan, mas… Tapi saya….” Ucapan Marsya terputus.
Aku
semakin penasaran.
“Kenapa,
Marsya? Ada apa denganmu?” .
“Saya
sudah… bersuami, mas…”
Aku
terhenyak. Pengakuan Marsya barusan membuat sekujur tubuhku terasa kaku. Kalaupun
mataku menatap pada Marsya, itu hanyalah tatapan kosong. Kecewa. Hatiku
mendadak resah. Pikiranku galau.
“Anggap
saja saya teman atau adiknya mas Iman.” ujar
Marsya kemudian….
Braakkkk…!!!
Bunyi benda jatuh itu membuat aku tersentak bangun. Kuusap-usap bola mataku. Kepalaku
terasa sakit. Terbentur pada lantai. Sekujur tubuhku terasa pegal. Aku meringis
kesakitan.
Astaga…!!!
Ternyata aku bermimpi dan terjatuh dari tempat tidur. Mungkin
karena posisi tidurku terlalu dekat ke sisi tempat tidur. ***