Ketika Cinta Itu Masih Ada
Februari 18, 2017
Lama
sekali Basrul terpaku di tempat duduknya. Ucapan Marni telah membuat ia tak
berdaya. Bagai sebuah keputusan pengadilan, vonis yang ditimpakan padanya telah
membuat ia bertekuk lutut.
“Jangan pernah kamu mengeluh padaku lagi, Bas. Kamu tidak akan pernah berubah. Percuma banyak orang menasehatimu. Siapa pun tidak akan mampu lagi menasehatimu, termasuk aku. Hanya kamu sendiri yang mampu merubahnya. Berusahalah untuk mengubah kebiasaan burukmu itu sehingga terlepas dari kesulitan yang kamu hadapi.” Begitu ucapan Marni sebelum ia meninggalkan Basrul di tempat itu.
Dalam hati, Basrul mengakuinya. Apa yang dikatakan sahabatnya itu ada benarnya. Orang lain tidak akan mau menasehati seseorang yang tidak berusaha merubahnya sendiri, termasuk Marni. Pasti Marni sudah bosan menasehatiku, kata Basrul membatin.
Setiap
kali Basrul curhat pada Marni, ibu satu anak itu selalu mendengar keluhannya.
Kemudian Marni selalu mencarikan solusi atas keluhannya. Namun solusi tinggal
solusi. Saran tinggal saran. Basrul melupakan semua itu dan kembali terjebak
dengan kebiasaan buruknya.
Basrul
menghela nafas. Kini ia baru sadar mengapa Marni tidak peduli dengannya. Marni
telah bosan mendengar keluhannya. Marni pergi meninggalkannya begitu saja di
tempat itu.
“Aku
harus berubah sikap mulai dari sekarang,” gumam Basrul penuh tekad. “Aku tak
pantas lagi selalu mengeluhkan masalahku pada orang lain, termasuk sahabatku
yang berstatus janda beranak satu itu. Ya, sikapku yang kasar akan membuat
semua perempuan yang kudekati akan menghindar. Kebiasaan begadang, malas dan
sering telat akan merugikan diriku sendiri.”
***
Banyak
perubahan yang terjadi pada diri Basrul. Sejak terakhir kali bertemu dengan
Marni, Basrul sudah rajin melaksanakan perintah sholat 5 waktu sehari semalam.
Tidak itu saja, kebiasaan buruk lainnya telah mulai ia tinggalkan. Kebiasaan
begadang dan mengganggu perempuan sudah ia tinggalkan.
Kini
ia pasrah. Jodoh, riski dan maut memang ada di tangan Allah SWT. Di usianya
yang sudah mulai memasuki kepala tiga ini, Basrul menyerahkan segalanya kepada yang
Maha Kuasa.
Basrul
semakin rajin bekerja. Tak mau lagi terlambat atau lalai masuk kantor
sebagaimana yang sering ia lakukan.
***
Hari
itu Basrul pulang kantor disambut oleh Mona, adik semata wayangnya. Ini tak biasanya
dilakukan oleh Mona. Penampilan dan cara adik tersayang itu terasa aneh. Apalagi
nampak senyam-senyum menunggunya. Ada apa gerangan dengan adikku ini? Begitu
pikir Basrul penasaran.
“Ops,
tungu dulu. Kakak jangan nyelonong aja!” ujar Mona menghalangi langkah Basrul ketika
hendak membuka pintu rumah.
“Ada
apa apa sih?”
“Ada
kejutan luar biasa…”
“Luar
biasa? Kakak enggak mengerti?”
“Nanti
kakak akan mengerti juga. Tapi kakak janji ya, jangan kasar sama perempuan
lagi…”
Basrul
tercenung.
“Ya,
ya…kakak janji.”
Tiba-tiba
Mona mendekatkan kepala ke telinga Basrul dan membisikkan sesuatu.
“Hah?”
“Benar,
kak…Di dalam rumah ada kak Marni.”
Jantung
Basrul berdetak aneh. Ia sudah lama tidak bertemu dengan Marni. Dan, sekarang
tiba-tiba ia muncul di rumahnya. Ada apa gerangan? Basrul semakin penasaran.
Di
ruang tengah sudah ada Marni menunggu. Basrul berusaha berpenampilan biasa-biasa saja
meskipun ada rasa kikuk bertemu dengan Marni. Hatinya semakin tak karuan. Namun
ia berusaha untuk menyalami marni.
“Gimana
kabarmu, Marni?” tanya Basrul kemudian seraya duduk di samping Marni.
“Seperti
yang kamu lihat sekarang ini, Bas…Kamu sendiri?
“Ya,
begitulah… juga seperti yang kamu lihat. Oh, ya, anakmu dimana? Kok enggak
diajak?” tanya Basrul mengalihkan persoalan.
“Lagi
di tempat neneknya,”
“Oh…”
“Ealah…,
kok diajak ngobrol saja. Diajak minum dong si Marni,” ujar Ibunya Basrul yang
muncul dari dapur.
“Oh,
ya. Silahkan diminum teh buatan ibuku,” suruh Basrul agak kikuk.
Di
luar, mentari sudah mulai condong ke arah barat. Selesai makan bersama, Basrul
dan Marni jalan-jalan ke tempat yang biasa ia kunjungi dulu.
“Ngomong-ngomong,
kamu sudah dapat pacar, Bas?” tanya Marni berani.
“Aku
belum berpikir ke sana, Mar.”
“Lho?
Kenapa?”
“Saat
ini aku lebih baik berusaha mengubah diri sendiri dulu menjadi lebih baik, baru
kemudian memikirkan soal pacar,”
“Oh,
begitu. Pantasan kamu kulihat telah berubah.”
Angin
sore yang bertiup menampar lembut pipi Marni. Basrul memperhatikan hal itu
dengan pandangan lembut. Namun kemudian ia menunduk. Takut ketauan dirinya
mencuri pandang.
Dalam
hati Basrul mengakui kalau Marni masih cantik meskipun ia sudah janda. Itu pula
yang membuat ia berani untuk kembali mengangkat wajah dan bertanya.
“Hm,
kamu sudah punya calon pengganti mendiang suamimu?”
“Sudah.
Memangnya kenapa?”
“Ah,
enggak kenapa-kenapa, koq. Cuma pengin tau aja,”
Sejenak
suasana hening.
“Kalau
boleh tau, siapa orangnya?” tanya Basrul kemudian. Mencairkan suasana hening di
antara mereka.
“Kamu…”
Basrul
tersedak. Terdiam. Mulutnya bagai terkunci untuk berkata. Seakan tak percaya
pada pendengarannya barusan.
“Aku?”
“Iya,
tapi kalau kamu enggak suka, tidak apa-apa…” ujar Marni pelan seraya menunduk
ke arah ujung sepatunya..
“Eitt,
tunggu dulu…Yang bilang tak suka itu siapa?” pintas Basrul cepat.
“Ya,
aku sendiri.”
“Hm,
Apa kamu tak akan menyesal?” tanya Basrul.
“Kenapa
aku mesti menyesal? Justru aku yang harus bertanya padamu karena aku sudah
janda….”
“Stop!”
Jangan ucapkan kata itu lagi,” ujar Basrul seraya melekatkan telunjuknya pada
bibir Marni.
Marni
terdiam.
“Marni,
seandainya kamu tahu isi hatiku. Sudah lama aku suka padamu. Tapi sayang, aku
tak sempat menyatakan hal itu karena kamu keburu dilamar orang. Aku telah
ikhlas menghadapi kenyataan itu,” tutur Basrul kemudian.
“Sekarang
masih ada perasaan itu untukku, Bas?” pintas Marni.
Basrul
mengangguk pelan. Menatap wajah Marni yang tetap cantik seperti dulu. Kini
pegharapan itu hidup kembali setelah pupus diregang takdir. Kini takdir juga
yang mempertemukan mereka dalam cinta yang sesungguhnya.
Sehelai
daun rambutan jatuh ditiup angin sore. Jatuh persis di hadapan Basrul dan
Marni. Kalau jodoh tidak akan kemana. Kalaupun ia pergi jauh, itupun untuk
sementara dan akan kembali lagi.***