Tidak Bertepuk Sebelah Tangan

Selama ini Mirna telah menjadi sosok sentris dalam kehidupanku. Bayangannya telah mengisi lembar demi lembar catatan perjalanan hidupku. Namun semua itu berakhir sebelum aku sempat mengatakan sesuatu pada cewek mirip Marsya Siregar itu.

Kuakui memang, aku telah terlanjur menyukai adik kelasku itu. Jauh sebelum teman sekelasku menggaetnya. Tapi semua itu adalah kelalaianku. Lalai karena tidak berani bertindak sebelum semuanya terjadi. Aku telah kalah tanpa pertandingan. 

Aku telah kecolongan sebelum memulai melakukan tindakan. Ternyata teman sekelasku, Jordan lebih cepat memulainya. Ia menggaet Mirna tanpa mendapat saingan, terutama dariku yang terlalu takut untuk berterus terang pada Mirna.

Aku tak mungkin bisa dekat dengan Mirna lagi. Antara aku dan dia telah dibatasi ruang penyekat. Ia kini milik Jordan, cowok pintar dan menjadi juara di kelasku. Jordan bukan hanya bintang kelas tetapi juga sahabatku sendiri.

Aku menarik nafas. Terasa berat sehingga membuat sesak terasa di dada.
“Coba kamu, Dorman…” Suara pak Budiman itu menyelinap di antara lamunanku. Antara sadar dan tidak, aku hanya diam.
“Dorman…!” Suara pak Budiman semakin keras sehingga membuat aku kaget. Kini lamunanku benar-benar jadi buyar.
“Iii…ya, pak…” sahutku gugup.
Seisi kelas mendadak riuh. Sekian pasang mata tertuju ke arahku. Aku jadi bingung. Namun berusaha untuk tetap tenang.
“Siapa nama presiden Amerika Serikat saat ini!”  tanya pak Budiman kemudian.
“Barak Obama, pak…” jawabku seadanya.
“Huuuu….” Kelas kembali riuh.
“Berarti kamu tidak mengikuti perkembangan dunia terkini.” cela pak Budiman.
“Dia lebih suka melamunin cewek, pak…” celetuk Amir dari belakang.
“Betul, pak. Sekarang dia jadi sering melamun” timpal Wati.
“Sudah, sudah…Tidak perlu kalian teruskan. Ada yang tahu? Tunjuk tangan…” kata pak Budiman mengendalikan suasana kelas.
“Donald Trump, pak…” Jawab Jordan yakin.
“Kamu dengar itu, Dorman?” tanya pak Budiman menoleh ke arahku.
“Dengar, pak…” Sahutku pelan.
Pak Budiman melanjutkan menerangkan pelajaran. Perasaanku jadi lega. Tanpa kusadari, ternyata aku sering melamun saat pelajaran berlangsung.
***
Kak…! Tunggu kak Dorman!”
Sebuah suara memanggil menahan langkahku. Aku hapal betul suara itu milik Mirna. Spontan aku menoleh ke arah sumber suara. Sementara Mirna memperbesar langkahnya menuju ke arahku.
“Bantuin aku ya, kak?”
“Apa yang perlu kakak bantu, Mir?”
“Buat PR IPA. Kakak mau, bukan?”
Aku terdiam sejenak. Membantu membuat PR IPA? Kenapa tidak sama Jordan?
“Mau tidak…?” desak Mirna. Suaranya semakin manja terdengar di telingaku.
“Hm…, bukannya tidak mau. Kalau ada PR, kan lebih bagus ditanya sama kak Jordan.”
“Kak Jordan itu sombong…Ia seperti tidak mau terganggu kalau ada adik kelas yang bertanya soal PR.” tutur Mirna agak sewot.
“Lho?” Aku tersentak. Mengerinyitkan dahi sekian lipatan. Sungguh tidak mengerti apa yang barusan diucapkan oleh Mirna. Bukankah Mirna cewknya Jordan?
“Iya, kak. Benar. Tadi aku ketemu dengan kak Jordan namun dia pura-pura sibuk,” sungut Mirna, menambah manis lesung pipinya.
“Mirna…”
“Ya, kak…”
“Bukankah kamu itu ceweknya kak Jordan?”
“Apa? Cewek kak Jordan?” Mirna balik bertanya. “Siapa bilang, kak?”
Aku terdiam lagi. Namun langkah kakiku terus menapaki jalan bercadas menuju rumah. Mirna berjalan di sebelahku seraya memain-mainkan tas bukunya. Sepatunya sekali-sekali menendang kerikil kecil di depannya.
“Kamu tidak pacaran dengan, Jordan?” tanyaku serius.
“Enggak…Emanngnya kenapa, kak?”
“Hm, enggak kenapa-kenapa kok,”
Aku menggaruk-garuk kepala meskipun tidak ada yang gatal di kulit kepalaku. Ternyata akau telah salah paham selama ini.
“Kak, mau bukan bantuin buat PR aku nanti malam di rumah?” desak Mirna penuh harap.
“Iya, deh…”
“Kak…” Mirna menghentikan langkahku. Lantas memegang tanganku.
“Ada apa, Mirna?”
“Aku suka pada kakak. Tapi apakah kakak juga demikian? Aku tidak tahu... Tapi maaf kalau cewek yang nembak duluan.” Ujar Mirna berterus terang.
Aku segera meraih kedua tangannya. 
“Mirna, kakak malah sejak dulu menyukai kamu. Hanya saja kakak tidak punya keberanian untuk berterus terang. Ternyata kakak tidak bertepuk sebelah tangan.” Ujarku balas berterus terang.
“Sekarang kakak sudah berani dan bertepuk dua tangan, bukan?” potong Mirna seraya tersenyum, memiringkan wajah memandangiku.
Angin siang berhembus kencang. Mengipas debu cadas jalan desa yang berliku. Sekelompok burung pemakan padi terbang berombongan menuju arah utara terbawa tiupan angin.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel