Tidak Bertepuk Sebelah Tangan
Februari 28, 2017
Selama ini Mirna telah
menjadi sosok sentris dalam kehidupanku. Bayangannya telah mengisi lembar demi
lembar catatan perjalanan hidupku. Namun semua itu berakhir sebelum aku sempat
mengatakan sesuatu pada cewek mirip Marsya Siregar itu.
Kuakui
memang, aku telah terlanjur menyukai adik kelasku itu. Jauh sebelum teman
sekelasku menggaetnya. Tapi semua itu adalah kelalaianku. Lalai karena tidak
berani bertindak sebelum semuanya terjadi. Aku telah kalah tanpa
pertandingan.
Aku
telah kecolongan sebelum memulai melakukan tindakan. Ternyata teman sekelasku,
Jordan lebih cepat memulainya. Ia menggaet Mirna tanpa mendapat saingan,
terutama dariku yang terlalu takut untuk berterus terang pada Mirna.
Aku
tak mungkin bisa dekat dengan Mirna lagi. Antara aku dan dia telah dibatasi
ruang penyekat. Ia kini milik Jordan, cowok pintar dan menjadi juara di
kelasku. Jordan bukan hanya bintang kelas tetapi juga sahabatku sendiri.
Aku
menarik nafas. Terasa berat sehingga membuat sesak terasa di dada.
“Coba
kamu, Dorman…” Suara pak Budiman itu menyelinap di antara lamunanku. Antara
sadar dan tidak, aku hanya diam.
“Dorman…!”
Suara pak Budiman semakin keras sehingga membuat aku kaget. Kini lamunanku benar-benar
jadi buyar.
“Iii…ya,
pak…” sahutku gugup.
Seisi
kelas mendadak riuh. Sekian pasang mata tertuju ke arahku. Aku jadi bingung.
Namun berusaha untuk tetap tenang.
“Siapa
nama presiden Amerika Serikat saat ini!” tanya pak Budiman kemudian.
“Barak
Obama, pak…” jawabku seadanya.
“Huuuu….”
Kelas kembali riuh.
“Berarti
kamu tidak mengikuti perkembangan dunia terkini.” cela pak Budiman.
“Dia
lebih suka melamunin cewek, pak…” celetuk Amir dari belakang.
“Betul,
pak. Sekarang dia jadi sering melamun” timpal Wati.
“Sudah,
sudah…Tidak perlu kalian teruskan. Ada yang tahu? Tunjuk tangan…” kata pak
Budiman mengendalikan suasana kelas.
“Donald
Trump, pak…” Jawab Jordan yakin.
“Kamu
dengar itu, Dorman?” tanya pak Budiman menoleh ke arahku.
“Dengar,
pak…” Sahutku pelan.
Pak Budiman
melanjutkan menerangkan pelajaran. Perasaanku jadi lega. Tanpa kusadari,
ternyata aku sering melamun saat pelajaran berlangsung.
***
“Kak…! Tunggu kak Dorman!”
Sebuah
suara memanggil menahan langkahku. Aku hapal betul suara itu milik Mirna.
Spontan aku menoleh ke arah sumber suara. Sementara Mirna memperbesar
langkahnya menuju ke arahku.
“Bantuin
aku ya, kak?”
“Apa
yang perlu kakak bantu, Mir?”
“Buat
PR IPA. Kakak mau, bukan?”
Aku
terdiam sejenak. Membantu membuat PR IPA? Kenapa tidak sama Jordan?
“Mau
tidak…?” desak Mirna. Suaranya semakin manja terdengar di telingaku.
“Hm…,
bukannya tidak mau. Kalau ada PR, kan lebih bagus ditanya sama kak Jordan.”
“Kak
Jordan itu sombong…Ia seperti tidak mau terganggu kalau ada adik kelas yang
bertanya soal PR.” tutur Mirna agak sewot.
“Lho?”
Aku tersentak. Mengerinyitkan dahi sekian lipatan. Sungguh tidak mengerti apa
yang barusan diucapkan oleh Mirna. Bukankah Mirna cewknya Jordan?
“Iya,
kak. Benar. Tadi aku ketemu dengan kak Jordan namun dia pura-pura sibuk,” sungut
Mirna, menambah manis lesung pipinya.
“Mirna…”
“Ya,
kak…”
“Bukankah
kamu itu ceweknya kak Jordan?”
“Apa?
Cewek kak Jordan?” Mirna balik bertanya. “Siapa bilang, kak?”
Aku
terdiam lagi. Namun langkah kakiku terus menapaki jalan bercadas menuju rumah.
Mirna berjalan di sebelahku seraya memain-mainkan tas bukunya. Sepatunya
sekali-sekali menendang kerikil kecil di depannya.
“Kamu
tidak pacaran dengan, Jordan?” tanyaku serius.
“Enggak…Emanngnya
kenapa, kak?”
“Hm,
enggak kenapa-kenapa kok,”
Aku
menggaruk-garuk kepala meskipun tidak ada yang gatal di kulit kepalaku.
Ternyata akau telah salah paham selama ini.
“Kak,
mau bukan bantuin buat PR aku nanti malam di rumah?” desak Mirna penuh harap.
“Iya,
deh…”
“Kak…”
Mirna menghentikan langkahku. Lantas memegang tanganku.
“Ada
apa, Mirna?”
“Aku
suka pada kakak. Tapi apakah kakak juga demikian? Aku tidak tahu... Tapi maaf
kalau cewek yang nembak duluan.” Ujar Mirna berterus terang.
Aku
segera meraih kedua tangannya.
“Mirna,
kakak malah sejak dulu menyukai kamu. Hanya saja kakak tidak punya keberanian untuk
berterus terang. Ternyata kakak tidak bertepuk sebelah tangan.” Ujarku balas berterus terang.
“Sekarang kakak sudah berani dan bertepuk dua tangan, bukan?” potong Mirna seraya tersenyum, memiringkan wajah
memandangiku.
Angin
siang berhembus kencang. Mengipas debu cadas jalan desa yang berliku.
Sekelompok burung pemakan padi terbang berombongan menuju arah utara terbawa
tiupan angin.***