Suatu Malam Jelang Ulang Tahun Pernikahan Perak

Hening dan sunyi. Malam semakin larut. Angin malam berhembus sepoi, menerobos ventilasi jendela ruang kerja pribadiku. Membuat kakiku merasa dingin dihembus-hembus angin malam. Suara jengkrik pun tak terdengar. Padahal rumah tempat tinggalku berada di pinggiran hutan karet.

Mata ini begitu enggan untuk dipejamkan. Kalau sudah begini, aku selalu mengisi suasana sepi dengan duduk di depan komputer di ruang kerja pribadiku. Tak begitu lama membuka-buka halaman blogku, rasa bosan pun menyerang dan aku kembali ke kamar.

Istriku nampak tidur pulas dengan mimpi-mimpinya.

Tak mau membangunkan tidurnya, aku kembali lagi mempelototi layar komputer. Begitulah, aku selalu bolak-balik dari kamar tidur ke ruang komputer dan sebaliknya.

Akhirnya kusadari, ternyata aku telah menunjukkan sikap dan ekspresi orang yang sedang mengalami keresahan. Namun aku sendiri tidak mengetahui bentuk keresahan itu serta penyebabnya.

Kini aku sudah kembali di tempat tidur. Menoleh ke arah istriku yang tidur memunggung ke arahku. Tanpa diduga, ternyata ia tersentak lalu memutar tubuh dalam kondisi mata masih terpejam. Kini posisinya berhadapan denganku.

Aku tetap tak mau mengganggu tidurnya. Kecuali memandangi wajah yang nampak tertidur pulas. Ada gurat kelelahan di wajahnya yang masih nampak cantik. Lelah karena mengajar setiap hari di tempat tugasnya.

Pergi pagi pulangnya menjelang waktu shalat Ashar. Waktunya lebih banyak untuk mengabdi pada bangsa dan negara, mencerdaskan anak bangsa. Tentu saja, di malam akhir pekan ini ia ingin  tidur sepuas-puasnya.

Kembali kupandangi wajah Arini, ibu dari 5 orang putra dan putriku. Kupandangi dalam-dalam, persis saat dimana aku menatap wajah lembutnya ketika aku hendak mengatakan perasaan cinta kepadanya.

“Kok belum juga tidur, mas…?”

Tiba-tiba Arini terbangun. Bertanya namun matanya masih tertutup. Lamunanku jadi buyar.

“Lagi mikirain siapa, mas?” tanya Arini lagi. Namun matanya sudah membuka dan memandangku.

Pertanyaannya ini membuat aku kaget.

“Engak mikirin siapa-siapa kok, Rin…”

“Ayo tidur, ntar mas sakit karena selalu tidur sampai larut..”

 ‘Iya, iya Rin.” Sahutku menurut.

Memang, jelang usianya memasuki 50 kurang dua tahun, Arini nampak terlihat lelah meskipun masih tetap cantik.

Aku memakluminya.

Sikapku selama ini boleh jadi membuat Arini sering merasa kecewa. Meskipun itu tak pernah diperlihatkannya padaku. Aku sering bersikap agak keras, bahkan menjurus kasar padanya. Begitu pula kepada anak-anak kami.

Aku tidak bermaksud berlaku keras apalagi kasar. Tapi hanya merasa bersikap dan bertindak tegas dalam memimpin rumah tangga. Begitu pula dalam mendidik anak-anak kami.

Ya, Tuhan…Aku baru ingat sekarang. Tak lama lagi usia bahtera rumah tangga kami genap 25 tahun. Tak terasa, sudah seperempat abad Arini menemani dalam suka dan duka.

Dalam rentang itu, sudah lima kali Arini melahirkan buah hati yang kini sudah berada di bangku perkuliahan dan masa sekolah.

Aku ingin membangunkan Arini. Tapi mulutku terkunci. Tanganku terasa kaku untuk menyentuhnya. Aku hanya ingin bertanya, apakah Arini ingat kalau sebentar lagi ulang tahun pernikahan kami yang ke 25?

Oh, biarlah Arini terlelap dengan tidurnya sampai pagi. Ketika ia bangun esok pagi akan kutanyakan padanya tentang ulang tahun perak pernikahan kami.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel