Suatu Malam Jelang Ulang Tahun Pernikahan Perak
Maret 26, 2017
Hening
dan sunyi. Malam semakin larut. Angin malam berhembus sepoi, menerobos ventilasi
jendela ruang kerja pribadiku. Membuat kakiku merasa dingin dihembus-hembus
angin malam. Suara jengkrik pun tak terdengar. Padahal rumah tempat tinggalku
berada di pinggiran hutan karet.
Mata
ini begitu enggan untuk dipejamkan. Kalau sudah begini, aku selalu mengisi
suasana sepi dengan duduk di depan komputer di ruang kerja pribadiku. Tak
begitu lama membuka-buka halaman blogku, rasa bosan pun menyerang dan aku kembali
ke kamar.
Istriku
nampak tidur pulas dengan mimpi-mimpinya.
Tak
mau membangunkan tidurnya, aku kembali lagi mempelototi layar komputer.
Begitulah, aku selalu bolak-balik dari kamar tidur ke ruang komputer dan
sebaliknya.
Akhirnya
kusadari, ternyata aku telah menunjukkan sikap dan ekspresi orang yang sedang
mengalami keresahan. Namun aku sendiri tidak mengetahui bentuk keresahan itu
serta penyebabnya.
Kini
aku sudah kembali di tempat tidur. Menoleh ke arah istriku yang tidur
memunggung ke arahku. Tanpa diduga, ternyata ia tersentak lalu memutar tubuh dalam
kondisi mata masih terpejam. Kini posisinya berhadapan denganku.
Aku
tetap tak mau mengganggu tidurnya. Kecuali memandangi wajah yang nampak
tertidur pulas. Ada gurat kelelahan di wajahnya yang masih nampak cantik. Lelah
karena mengajar setiap hari di tempat tugasnya.
Pergi
pagi pulangnya menjelang waktu shalat Ashar. Waktunya lebih banyak untuk
mengabdi pada bangsa dan negara, mencerdaskan anak bangsa. Tentu saja, di malam
akhir pekan ini ia ingin tidur
sepuas-puasnya.
Kembali
kupandangi wajah Arini, ibu dari 5 orang putra dan putriku. Kupandangi
dalam-dalam, persis saat dimana aku menatap wajah lembutnya ketika aku hendak
mengatakan perasaan cinta kepadanya.
“Kok
belum juga tidur, mas…?”
Tiba-tiba
Arini terbangun. Bertanya namun matanya masih tertutup. Lamunanku jadi buyar.
“Lagi
mikirain siapa, mas?” tanya Arini lagi. Namun matanya sudah membuka dan
memandangku.
Pertanyaannya
ini membuat aku kaget.
“Engak
mikirin siapa-siapa kok, Rin…”
“Ayo
tidur, ntar mas sakit karena selalu tidur sampai larut..”
‘Iya, iya Rin.” Sahutku menurut.
Memang,
jelang usianya memasuki 50 kurang dua tahun, Arini nampak terlihat lelah
meskipun masih tetap cantik.
Aku
memakluminya.
Sikapku
selama ini boleh jadi membuat Arini sering merasa kecewa. Meskipun itu tak
pernah diperlihatkannya padaku. Aku sering bersikap agak keras, bahkan menjurus
kasar padanya. Begitu pula kepada anak-anak kami.
Aku
tidak bermaksud berlaku keras apalagi kasar. Tapi hanya merasa bersikap dan
bertindak tegas dalam memimpin rumah tangga. Begitu pula dalam mendidik
anak-anak kami.
Ya,
Tuhan…Aku baru ingat sekarang. Tak lama lagi usia bahtera rumah tangga kami
genap 25 tahun. Tak terasa, sudah seperempat abad Arini menemani dalam suka dan
duka.
Dalam
rentang itu, sudah lima kali Arini melahirkan buah hati yang kini sudah berada
di bangku perkuliahan dan masa sekolah.
Aku
ingin membangunkan Arini. Tapi mulutku terkunci. Tanganku terasa kaku untuk
menyentuhnya. Aku hanya ingin bertanya, apakah Arini ingat kalau sebentar lagi
ulang tahun pernikahan kami yang ke 25?
Oh,
biarlah Arini terlelap dengan tidurnya sampai pagi. Ketika ia bangun esok pagi
akan kutanyakan padanya tentang ulang tahun perak pernikahan kami.***