Antara Kenangan Saya dan Kereta Api

Antara kenangan saya dan kereta api – Sampai sekarang, kereta api menjadi kenangan yang selalu melekat di hati saya. Apalagi ketika melihat foto transportasi darat yang populer tempoe doeloe ini. 

Setiap melihat kendaraan beroda dan berjalan di besi rel ini,  pikiran saya melayang ke masa silam. Ada kenangan saya berkaitan dengan kereta api. Tahun 1974 semestinya saya sudah masuk sekolah dasar (SD). 

Tapi saya gagal masuk SD tahun itu, gara-gara pertanyaan guru tentang kereta api. Guru saya bertanya, mana yang panjang “kereta” dari pada “oto”. Spontan saya menjawab; panjang “oto”, pak.

Ternyata jawaban saya itu salah. “Kereta” yang dimaksud guru adalah “kereta api” dan “oto” adalah mobil.  Sedangkan saya menafsirkan kata “kereta” yang dimaksud dalam pertanyaan guru adalah “kereta angin” (sepeda).

Seandainya pertanyaan guru saya, mana yang panjang “kereta api” daripada “oto”, saya akan menjawab, “panjang kereta api” karena memang kereta api memiliki rangkaian gerbong yang memanjang ke belakang.

Akibat kesalahpahaman ini, saya tidak diterima di SD meskipun umur saya sudah layak untuk bersekolah. Dua tahun berikutnya saya baru bisa masuk SD pada usia 9 tahun.

Setelah jadi guru, saya menyadari bahwa tidak mudah mengajukan pertanyaan kepada murid. Perlu memilih dan memilah kata atau kalimat pertanyaan yang akan diberikan pada siswa.

Jangan sampai mengajukan pertanyaan yang jawabannya mengandung dua makna sehingga dapat meragukan siswa dalam menjawab pertanyaan tersebut.

Masih cerita soal kereta api. Selama sekolah dasar, pekerjaan wajib saya sore hari adalah menggembalakan sapi. Saya memilih areal jalur kereta api untuk menggembalakan sapi.

Rumput di sekitar areal jalan kereta api tumbuh subur. Selain itu, kereta api akan lewat pada jadwal tertentu sehingga saya merasa aman untuk gembala sapi sambil bermain.

Atau membuat gambar pada besi bantalan kereta api dengan batu kecil yang ada pada jalur kereta api.

Kereta api waktu itu adalah kereta api uap. Loko kereta api berwarna hitam. Dari cerobong asap menyembul asap pembakaran batu bara yang membentuk bulatan memanjang ke belakang deretan gerbong batu bara.

Suara peluit kereta api uap cukup menakutkan saya. Biasanya, sebelum peluit meraung maka asap putih mengepul dari kepala loko kereta api. Saya menutup telinga kalau kereta api yang melintas mengeluarkan asap putih. Itu pertanda peluit kereta api uap akan berbunyi.

Makanya, kalau sudah saya lihat tanda-tanda kereta api bakal lewat. Biasanya saya menempelkan telinga pada besi rel kereta api. Kalau ada suara gemuruh, saya menyingkirkan sapi gembalaan menjauh areal jalur kereta api.

Kemudian sapi gembalaan saya tambatkan erat-erat agar tidak takut dan gelisah mendengar suara hiruk-pikuk kereta api maupun bunyi peluitnya.

Awal 80-an, loko kereta api uap digantikan oleh loko bermesin diesel. Suasana ketika kereta api melintas, jauh beda dengan sebelumnya. Lebih nyaman dan tidak menakutkan saya maupun sapi gembalaan.

Loko buatan Jerman itu di mata saya layaknya sebuah mobil dengan sekian rangkaian gerbong batu bara. Bunyi klakson kereta api diesel tidak menakutkan.

Loko kereta api dengan mesin diesel bahkan menjadi favorit bagi saya. Memang, kereta api Jalur Sawah Lunto – Solok – Batu Tebal, lebih sering mengangkut batu bara. Namun pada hari besar tertentu, misalnya lebaran, kereta api dioperasikan untuk penumpang umum sebagai kereta api wisata.

Sekian deretan gerbong kereta api hanyalah gerbong penumpang, bukan gerbong batu bara. Ketika lebaran, saya pernah menumpang di bagian loko dan berdiri dekat masinis. Mendebarkan sekaligus mengasyikkan berada di loko sambil melihat ke arah depan. Terasa sekali, bodi loko menari ke kiri dan ke kanan menelusuri inci demi inci relnya.
Itulah sedikit kenangan bersama kereta api yang rentang waktunya antara tahun 1974 sampai awal 80-an. Dari kereta api uap sampai kereta bermesin diesel.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel