Cinta Itu Juga Butuh Pengertian
Juni 03, 2017
Cinta itu juga butuh pengertian – Bercinta
itu sakit. Sakit hati akan berujung pada pikiran. Jika hati sakit maka yang
lainnya akan ikut sakit. Kalau mau bercinta maka bersiap-siaplah untuk menerima
resikonya.
Begitu
ucapan papa saat hari pertama aku menduduki bangku kelas IX SMP. Pesan papa itu
masih membekas jelas dalam ingatanku. Kalau tidak siap menerima resiko itu maka
hindarilah.
Itu makna pesan yang kutangkap dan kuterapkan sampai saat ini.
“Lebih
baik kamu memusatkan perhatian pada pelajaran di sekolah. Memusatkan perhatian
pada cita-citamu. Melanjutkan pendidikan ke SMU, kalau perlu ke SMU Unggul atau
sekolah favorit di kota.” Begitu kata papa mengingatkan.
Aku
takut membayangkan ucapan papa tempo hari. Beliau bilang kalau bercinta itu
sakit. Sakit pada hati dan pikiran.
Kalau mau terjun ke dunia asmara
bersiap-siaplah untuk menerima suka dan dukanya. Bahkan kadang-kadang lebih
banyak duka dari pada sukanya.
Kenyataannnya
tidak hanya papa yang mengingatkanku. Wali kelasku, ibuk Rina juga berpesan
serupa kepada kami kelas IX E menjelang pelaksanaan ujian nasional.. “Kalian semua
siswa bimbingan ibuk, harus memusatkan perhatian pada ujian nasional yang sudah
di ambang pintu,”
Selaku
wali kelas, tentu saja beliau pantas dan sudah seharusnya menasehati kami
demikian. Sebagai wakil orangtua kami di sekolah, buk Rina pantas ikut merasa
cemas kalau kami tidak lulus.
Ya,
aku sebenarnya tak berniat untuk terlanjur terjun dalam dunia asmara. Aku ingin
mengikuti nasehat papaku dan buk Rina
wali kelasku. Memusatkan perhatian pada ujian nasional yang sudah dekat
waktunya.
Tapi
apa dayaku, aku hanya siswa perempuan yang tidak dapat menghindari getar-getar
kebahagiaan yang mulai menyerang sudut-sudut hatiku.
Penjaga gawang hebat
sekali pun tak selalu dapat menghalau bola menjauh dari gawangnya.
Seminggu
sebelum ujian nasional.
Bang Solihin, seorang pemuda sekampung denganku datang
ke rumah. Aku sudah kenal dekat dengan pemuda jebolan sekolah menengah kejuruan
dan telah memiliki bengkel motor sendiri itu.
Terus
terang aku mengagumi kegigihan dan keuletan bang Solihin dalam berusaha mencari
uang. Aku pun sering mampir ke bengkel motor miliknya.
Meskipun selalu
bergelimang oli dan kotoran, namun bang Solihin nampak ganteng. Ketika aku
mampir bang Solihin selalu menyambutku dengan ramah.
“Mur,
abang sengaja datang untuk mengatakan sesuatu kepadamu.” Begitu kata bang
Solihin memulai, seminggu sebelum ujian nasional.
Aku
hanya diam menunggu kelanjutan ucapan bang Solihin.
“Mau
nggak kamu jadi pacar abang?”
Darahku
berdesir. Jantungku berdebar kencang mendengar ungkapan bang Solihin.
“Kamu
mau, Mur?” desak bang Solihin.
“Mm,
gimana ya? Bukan saya enggan bang, tapi saya akan menghadapi ujian nasional.
Jadi saya fokus dulu pada ujian,” balasku agak ragu.
Aku
ragu karena jawabanku itu sesungguhnya bertentangan dengan nuraniku yang paling
dalam. Aku ingin mengangguk pertanda mau. Tapi seketika melintas pesan papa dan
wali kelasku.
“Jujur
sajalah pada abang, Mur. Jika kamu enggak mau tak perlu berkilah atau mencari
alasan. Abang sudah mengenal kamu begitu pula sebaliknya, Rasanya kamu sudah
mengenal abang yang sesungguhnya.”
“Bang,
saya akan menjawabnya setelah selesai ujian nasional. Saya harap abang sabar
menunggu waktunya,” ujarku.
“Baiklah.
Kalau begitu abang akan menunggu jawabanmu sampai kapanpun,”
“Benarkah
begitu, bang?”
Bang
Solihin menggangguk seraya tersenyum yakin.
Kini,
ujian nasional SMP telah berakhir dan aku pun dinyatakan lulus dengan nilai
tertinggi di sekolah.
Kebimbangan
pun melanda diriku. Kenapa tidak? Satu sisi, aku akan memberikan kepastian
jawaban kepada bang Solihin. Di sisi lain, dengan nilai tertinggi di sekolah
aku dianjurkan oleh papa dan wali kelas untuk melanjutkan ke SMA unggul di
kota. Apakah bang Solihin akan menyetujui rencanaku untuk sekolah di kota?
Bang
Solihin mengajakku ke kafe di kampungku. Aku tak menolak karena aku yakin bang
Solihin akan menagih janjiku. Setelah duduk dan memesan minuman kesukaan kami,
bang Solihin berkata:
“Bagaimana
Mur? Apakah kamu sudah memutuskan jawaban pertanyaan abang sebelum ujian
nasional dulu?”
Aku
menyeruput jus lemon sehingga tenggorokanku segar dan pikiranku menjadi sejuk.
“Bang…Saya
mau jadi pacar abang…”
“Benarkah?”
potong bang Solihin. Kulihat bang Solihin nampak senang dan cahaya matanya
berbinar-binar memandangku.
Aku
mengangguk. “Tapi…”
“Tapi
apa Mur?” Sambut bang Solihin nampak serius.
“Bolehkah
saya melanjutkan sekolah dulu?”
“Boleh…,”
“Di
kota.”
“Di
kota?
“Iya.
Saya mau melanjutkan sekolah di kota. Masuk ke SMA unggul di kota. Bukankah kota
tempat sekolah unggul tidak terlalu jauh dari kampung kita? Sekali seminggu
saya pulang ke kampung, bisa betrtemu dengan abang,”
Sesaat
bang Solihin tertegun. Tapi kemudian ia berkata,
“Mur,
abang setuju dengan rencanamu itu.”
“Terima
kasih, pengertian abang.” Ujarku senang.
“Sama-sama…”
Baca juga : Ketika Semua Berubah Karena Cinta
Bang
Solihin memang baik, ganteng dan…penuh pengertian. Aku tak dapat menghindar
dari semua apa yang dimiliki bang Solihin. Aku pun akan berpandai-pandai
meyakinkan papa jika suatu saat hubungan kami diketahui papa.***