Cinta Itu Juga Butuh Pengertian

Cinta itu juga butuh pengertian – Bercinta itu sakit. Sakit hati akan berujung pada pikiran. Jika hati sakit maka yang lainnya akan ikut sakit. Kalau mau bercinta maka bersiap-siaplah untuk menerima resikonya.

Begitu ucapan papa saat hari pertama aku menduduki bangku kelas IX SMP. Pesan papa itu masih membekas jelas dalam ingatanku. Kalau tidak siap menerima resiko itu maka hindarilah.

Itu makna pesan yang kutangkap dan kuterapkan sampai saat ini.

“Lebih baik kamu memusatkan perhatian pada pelajaran di sekolah. Memusatkan perhatian pada cita-citamu. Melanjutkan pendidikan ke SMU, kalau perlu ke SMU Unggul atau sekolah favorit di kota.” Begitu kata papa mengingatkan.

Aku takut membayangkan ucapan papa tempo hari. Beliau bilang kalau bercinta itu sakit. Sakit pada hati dan pikiran.

Kalau mau terjun ke dunia asmara bersiap-siaplah untuk menerima suka dan dukanya. Bahkan kadang-kadang lebih banyak duka dari pada sukanya.

Kenyataannnya tidak hanya papa yang mengingatkanku. Wali kelasku, ibuk Rina juga berpesan serupa kepada kami kelas IX E menjelang pelaksanaan ujian nasional.. “Kalian semua siswa bimbingan ibuk, harus memusatkan perhatian pada ujian nasional yang sudah di ambang pintu,”

Selaku wali kelas, tentu saja beliau pantas dan sudah seharusnya menasehati kami demikian. Sebagai wakil orangtua kami di sekolah, buk Rina pantas ikut merasa cemas kalau kami tidak lulus.

Ya, aku sebenarnya tak berniat untuk terlanjur terjun dalam dunia asmara. Aku ingin mengikuti nasehat papaku dan  buk Rina wali kelasku. Memusatkan perhatian pada ujian nasional yang sudah dekat waktunya.

Tapi apa dayaku, aku hanya siswa perempuan yang tidak dapat menghindari getar-getar kebahagiaan yang mulai menyerang sudut-sudut hatiku.

Penjaga gawang hebat sekali pun tak selalu dapat menghalau bola menjauh dari gawangnya.
Seminggu sebelum ujian nasional.

Bang Solihin, seorang pemuda sekampung denganku datang ke rumah. Aku sudah kenal dekat dengan pemuda jebolan sekolah menengah kejuruan dan telah memiliki bengkel motor sendiri itu.

Terus terang aku mengagumi kegigihan dan keuletan bang Solihin dalam berusaha mencari uang. Aku pun sering mampir ke bengkel motor miliknya.

Meskipun selalu bergelimang oli dan kotoran, namun bang Solihin nampak ganteng. Ketika aku mampir bang Solihin selalu menyambutku dengan ramah.

“Mur, abang sengaja datang untuk mengatakan sesuatu kepadamu.” Begitu kata bang Solihin memulai, seminggu sebelum ujian nasional.
Aku hanya diam menunggu kelanjutan ucapan bang Solihin.
“Mau nggak kamu jadi pacar abang?”
Darahku berdesir. Jantungku berdebar kencang mendengar ungkapan bang Solihin.
“Kamu mau, Mur?” desak bang Solihin.
“Mm, gimana ya? Bukan saya enggan bang, tapi saya akan menghadapi ujian nasional. Jadi saya fokus dulu pada ujian,” balasku agak ragu.

Aku ragu karena jawabanku itu sesungguhnya bertentangan dengan nuraniku yang paling dalam. Aku ingin mengangguk pertanda mau. Tapi seketika melintas pesan papa dan wali kelasku.

“Jujur sajalah pada abang, Mur. Jika kamu enggak mau tak perlu berkilah atau mencari alasan. Abang sudah mengenal kamu begitu pula sebaliknya, Rasanya kamu sudah mengenal abang yang sesungguhnya.”

“Bang, saya akan menjawabnya setelah selesai ujian nasional. Saya harap abang sabar menunggu waktunya,” ujarku.
“Baiklah. Kalau begitu abang akan menunggu jawabanmu sampai kapanpun,”
“Benarkah begitu, bang?”
Bang Solihin menggangguk seraya tersenyum yakin.

Kini, ujian nasional SMP telah berakhir dan aku pun dinyatakan lulus dengan nilai tertinggi di sekolah.

Kebimbangan pun melanda diriku. Kenapa tidak? Satu sisi, aku akan memberikan kepastian jawaban kepada bang Solihin. Di sisi lain, dengan nilai tertinggi di sekolah aku dianjurkan oleh papa dan wali kelas untuk melanjutkan ke SMA unggul di kota. Apakah bang Solihin akan menyetujui rencanaku untuk sekolah di kota?

Bang Solihin mengajakku ke kafe di kampungku. Aku tak menolak karena aku yakin bang Solihin akan menagih janjiku. Setelah duduk dan memesan minuman kesukaan kami, bang Solihin berkata:

“Bagaimana Mur? Apakah kamu sudah memutuskan jawaban pertanyaan abang sebelum ujian nasional dulu?”

Aku menyeruput jus lemon sehingga tenggorokanku segar dan pikiranku menjadi sejuk.

“Bang…Saya mau jadi pacar abang…”

“Benarkah?” potong bang Solihin. Kulihat bang Solihin nampak senang dan cahaya matanya berbinar-binar memandangku.

Aku mengangguk. “Tapi…”
“Tapi apa Mur?” Sambut bang Solihin nampak serius.
“Bolehkah saya melanjutkan sekolah dulu?”
“Boleh…,”
“Di kota.”
“Di kota?
“Iya. Saya mau melanjutkan sekolah di kota. Masuk ke SMA unggul di kota. Bukankah kota tempat sekolah unggul tidak terlalu jauh dari kampung kita? Sekali seminggu saya pulang ke kampung, bisa betrtemu dengan abang,”
Sesaat bang Solihin tertegun. Tapi kemudian ia berkata,
“Mur, abang setuju dengan rencanamu itu.”
“Terima kasih, pengertian abang.” Ujarku senang.
“Sama-sama…”
Bang Solihin memang baik, ganteng dan…penuh pengertian. Aku tak dapat menghindar dari semua apa yang dimiliki bang Solihin. Aku pun akan berpandai-pandai meyakinkan papa jika suatu saat hubungan kami diketahui papa.***


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel