Kidung Sendu Masa Lalu
Agustus 12, 2017
Kidung sendu masa lalu - Malam
semakin larut. Terasa sepi dan sunyi. Tiada terdengar suara anak manusia.
Begitu pun suara mesin motor atau kendaraan yang lewat di jalan raya di depan
sana.
Hanya suara jangkrik malam yang terdengar sahut menyahut. Itu pun tidak mampu memecah kesunyian malam. Bahkan sebaliknya, menambah dinginnya hati dan perasaanku.
Hm, sudah larut malam begini. Sungguh mati. Mata ini tak mau terpejam. Mana mungkin bisa memejamkan bola mata. Hati ini semakin gelisah dipermainkan rasa sepi yang mendalam.
Kembali
untuk kesekian kalinya aku bangkit dari pembaringan. Perlahan kutengadahkan
kepala, memandang jam dinding terpajang di dinding kamar tidur. Jarum jam
menunjukkan pukul dua lebih sepuluh menit.
Aku
menarik nafas dalam.
Entah
mengapa tiba-tiba aku jadi teringat Anisa. Sosok bayangan wanita itu semakin jelas
menari-nari dalam pikiranku.Namun hatiku semakin sedih. Kesedihan mengiringi
kesendirianku di penghujung malam nan sepi.
Anisa
pernah hadir sejenak dalam dunia nyataku tiga tahun lalu. Hanya sekali bertemu.
Ya, hanya sekali bertemu dan itu terjadi di Pantai Muaro Lasak Kota Padang. Ternyata
pertemuan pertama itu sekaligus untuk yang terakhir di dunia nyata.
Ketika
itu, baru kenalan langsung akrab. Mungkin karena aku dan Anisa sama-sama
jomblo. Tidak ada yang akan membatasi atau akan marah dengan keakraban aku dan
Anisa.
Meskipun
saling terbuka dan membuka hati, aku belum berani mengatakan sesuatu pada
Anita. Aku khawatir Anisa salah paham. Jangan-jangan Anisa menganggapku lelaki
yang mudah jatuh cinta.
Tidak.
Aku tak mau Anisa menganggapku seperti itu.
Karena
jarak memisahkan cukup jauh, aku dan Anisa berkomunikasi via HP. Sesekali kami
saling telepon. Namun lebih sering chatting
melalui facebook messenger.
Suatu
ketika, aku menyampaikan isi hatiku melalui aplikasi media sosial itu. Ternyata
Anisa membalasnya. Alangkah bahagianya hatiku. Rasanya aku ingin datang ke
kampung Anisa meskipun jauh jaraknya.
Hari
demi hari berlalu dengan indahnya meskipun kami hanya bertemu di dunia maya.
Hasrat untuk bertemu kembali dengan Anisa di dunia nyata tak terperihkan lagi.
Itu sebabnya aku beranikan diri untuk datang ke rumahnya meskipun belum pernah
kesana. Dimana pun kampungnya akan kucari, begitu tekadku.
Apa
hendak dinyana. Ternyata hasratku berbeda dengan Anisa. Agaknya memang Anisa
keberatan atas kunjunganku ke rumahnya. Setiap aku sampaikan perihal itu, Anisa
selalu mengalihkan pembicaraan di waktu chatting.
Herannya
lagi, pesanku seakan dicuekin saat itu. Kuhubungi lewat telpon tapi tidak digubris.
Begitu pula pesan singkat tak digubris. Akhirnya kuketahui nomor HP-nya pun
diganti sehingga tak pernah nyambung ketika kuhubungi nomor yang ada padaku.
Akun
facebook Anisa pun sudah tidak aktif lagi. Tak bisa lagi aku menghubungi Anisa
dengan cara apapun. Hatiku telah dibawanya pergi mengilang dan tak tahu lagi
rimbanya.
Seminggu
kemudian, aku menerima pesan singkat dari nomor handphone yang tak kuketahui
pengirimnya:
“Maafkan
aku, Uda. Pasti uda telah kecewa dengan apa yang telah kulakukan. Akhir-akhir
ini aku sengaja menonaktifkan semua akun media sosial dan mengganti nomor ponsel
agar tidak bisa Uda hubungi lagi.
Pahit
memang kenyataan ini. Tapi apa hendak dikata, aku hanyalah seorang wanita yang
lemah. Tidak berdaya menghadapi keinginan orangtuaku. Aku akan menikah dengan pria
pilihan orangtuaku.
Uda,
sekali lagi maafkanlah diriku. Kuharap Uda akan menemukan pengganti diri ini
seorang wanita yang lebih baik.” Anisa.
Aku
terhenyak membaca pesan dari Anisa.
Braaannnkkkkkk…!!!!
Suara
benda jatuh itu telah membuyarkan lamunanku. Ternyata suara itu berasal dari
ponselku yang terjatuh dari tempat tidur. Tadi aku meletakkan HP terlalu ke
pinggir sehingga tak sengaja tersenggol oleh tanganku.
Baca juga : Disini Cinta Bersemi Disini Cinta Berakhir
Angin
subuh bertiup menelusup lewat ventilasi membuat aku kedinginan. Namun sesungguhnya
hatiku jauh lebih dingin. Kidung sendu masa lalu bersama Anisa telah
meliuk-liukkan hati dan perasaanku di subuh yang dingin ini.***