Caramu Aku Suka, Aprisal
September 09, 2017
Mungkin aku terlalu gede rasa (ge-er).sebagai
seorang cewek. Dari cara memandangku, setiap kali bertemu muka. Aku merasa,
kamu menyukaiku. Tapi kalau perasaanku itu benar, mengapa kamu tak kunjung
beterus terang? Mengatakan apa yang kamu rasakan terhadapku?
Padahal, aku telah berusaha memberi kesempatan dan waktu padamu. Aku sengaja menyendiri, menjauhkan diri dari teman, manakala melihatmu bersama temanmu. Pura-pura pergi ke sudut gedung sekolah atau ke mana saja yang tidak ada temanku maupun temanmu disana.
Itu caraku memberi kesempatan kepadamu untuk berbicara. Mengatakan sesuatu yang
kamu rasa. Berterus terang padaku agar
perasaanku tidak diombang-ambing rasa ge-er berkepanjangan.
Sesungguhnya,
aku juga menyukai kamu, Yogi. Dan itu telah aku tunjukan ketika kita saling
bertemu muka. Cara kamu yang begitu mempesona tatkala memandangku. Aku tak mau
kalah, dan balik meladeni cara kamu itu dengan cara mempesona pula.
Kini
perasaanaku telah letih, Yogi. Begitu manis dan sempurna caramu mempermainkan
hatiku. Apa kamu belum puas dengan caramu itu mempermainkan hatiku?
Atau,
kamu mau aku yang memulainya dulu, untuk berterus terang padamu? Pantaskah aku
sebagai cewek untuk menyatakan rasa suka lebih dulu? Apakah tidak lebih elegan
jika kamu sebagai cowok untuk memulainya?
Di
saat hatiku letih menunggu kesempatan, menunggu waktu kamu mengungkapkan
perasaanmu. Aku berpikir lebih baik berusaha menarik diri. Menarik kembali rasa
sukaku padamu. Agar aku tidak lagi terhanyut oleh pesona dirimu, Yogi.
Saat
ini aku menyadari, masih ada seorang cowok yang benar-benar berharap kepadaku.
Kuakui, dia tidak setampan wajah yang kamu miliki. Tidak sepandai kamu merayu
cewek.
Nuraniku
berkata, mungkin lebih baik memikirkan harapan seorang cowok yang sering
kucuekin selama ini, Aprisal. Jangankan wajah dan tampangnya, namanya pun sangat bersahaja…
“Mar…Maryam…heh…ngapain
kamu disini sendiri?”
Suara
itu mengagetkanku. Membuyarkan lamunanku. Aku berusaha menyembunyikan
kekagetanku.
“Hm…eh,
kamu Aprisal. Ngapain juga kamu kesini?”
balasku sedikit gugup balik bertanya.
Aprisal
tak menjawab. Ia mengambil tempat di bangku taman persis berhadapan denganku.
“Tumben
ya, kita bisa jumpa disini. Kamu bersama siapa kesini/” tanya Aprisal kemudian.
“Kamu
sendiri?” Kembali aku balik bertanya.
“Seperti
yang kamu lihat…” sahut Aprisal mengangkat bahunya.
“Aku
juga…”
“Berarti,
kita sama-sama sendiri, sama-sama tidak
punya tujuan yang jelas sampai ke tempat wisata Puncak Pato ini,” ujar Aprisal seraya memandang wajahku.
“Iya,
kali…”
“Bukan
iya kali, tapi benar kenyataannya seperti itu…,” tukas Aprisal.
“Ih,
kamu, bisa aja, Sal…”
“Iya,
bisa. Apalagi saat ini, aku punya waktu dan kesempatan untuk mengatakan sesuatu
padamu,” ujar Aprisal mengalihkan pembicaraan.
Aku
tercenung.
“Maksudmu?”
tanyaku tak mengerti.
“Hm,
begini…”
Tapi
aprisal tidak melanjutkan kalimatnya. Nampak ia ragu-ragu.
“Katakan
saja, sal. Pasti aku dengar dengan baik,” desakku penasaran.
“Aku
sudah lama suka padamu, Maryam….”
Aku
hanya diam. Menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Tapi
aku ragu, apakah masih ada tempat bagiku untuk menyukai dirimu dan membalas
rasa sukaku itu…”
Aku
tersenyum. Senang akan kepolosan Aprisal. Aku jadi suka caranya menyampaikan
sesuatu. Kalau selama ini aku cuek, kali ini tidak mungkin lagi aku untuk tidak
menghargainya.
“Hm..,
kalau ada, gmana..?”
“Benar
begitu?” Aprisal melongo. Masih kurang percaya nampaknya.
“Benar…”
jawabku seraya senyum dan mengangguk.
Aprisal
bangkit. Kemudian meraih dan menggenggam kedua tanganku.
“Terima
kasih…terima kasih…Maryam…” ujar Aprisal penuh rasa gembira.
Entah
kenapa, kini baru aku sadar kalau cewek itu lebih baik disukai lebih dulu dari
pada menyukai. Aku berusaha untuk menyukaimu Aprisal meskipun selama ini kamu sering aku cuekin. Caramu yang berani, tanpa takut akan gagal, itu aku suka. (*Penulis : Nadya Silvia)