Caramu Aku Suka, Aprisal

Mungkin aku terlalu gede rasa (ge-er).sebagai seorang cewek. Dari cara memandangku, setiap kali bertemu muka. Aku merasa, kamu menyukaiku. Tapi kalau perasaanku itu benar, mengapa kamu tak kunjung beterus terang? Mengatakan apa yang kamu rasakan terhadapku?
Padahal, aku telah berusaha memberi kesempatan dan waktu padamu. Aku sengaja menyendiri, menjauhkan diri dari teman, manakala melihatmu bersama temanmu. Pura-pura pergi ke sudut gedung sekolah atau ke mana saja yang tidak ada temanku maupun temanmu disana. 
Itu caraku memberi kesempatan kepadamu untuk berbicara. Mengatakan sesuatu yang kamu rasa.  Berterus terang padaku agar perasaanku tidak diombang-ambing rasa ge-er berkepanjangan.
Sesungguhnya, aku juga menyukai kamu, Yogi. Dan itu telah aku tunjukan ketika kita saling bertemu muka. Cara kamu yang begitu mempesona tatkala memandangku. Aku tak mau kalah, dan balik meladeni cara kamu itu dengan cara mempesona pula.
Kini perasaanaku telah letih, Yogi. Begitu manis dan sempurna caramu mempermainkan hatiku. Apa kamu belum puas dengan caramu itu mempermainkan hatiku?
Atau, kamu mau aku yang memulainya dulu, untuk berterus terang padamu? Pantaskah aku sebagai cewek untuk menyatakan rasa suka lebih dulu? Apakah tidak lebih elegan jika kamu sebagai cowok untuk memulainya?
Di saat hatiku letih menunggu kesempatan, menunggu waktu kamu mengungkapkan perasaanmu. Aku berpikir lebih baik berusaha menarik diri. Menarik kembali rasa sukaku padamu. Agar aku tidak lagi terhanyut oleh pesona dirimu, Yogi.
Saat ini aku menyadari, masih ada seorang cowok yang benar-benar berharap kepadaku. Kuakui, dia tidak setampan wajah yang kamu miliki. Tidak sepandai kamu merayu cewek.
Nuraniku berkata, mungkin lebih baik memikirkan harapan seorang cowok yang sering kucuekin selama ini, Aprisal. Jangankan wajah dan  tampangnya, namanya pun sangat bersahaja…
“Mar…Maryam…heh…ngapain kamu disini sendiri?”
Suara itu mengagetkanku. Membuyarkan lamunanku. Aku berusaha menyembunyikan kekagetanku.
“Hm…eh, kamu Aprisal.  Ngapain juga kamu kesini?” balasku sedikit gugup balik bertanya.
Aprisal tak menjawab. Ia mengambil tempat di bangku taman persis berhadapan denganku.  
“Tumben ya, kita bisa jumpa disini. Kamu bersama siapa kesini/” tanya Aprisal kemudian.
“Kamu sendiri?” Kembali aku balik bertanya.
“Seperti yang kamu lihat…” sahut Aprisal mengangkat bahunya.
“Aku juga…”
“Berarti, kita sama-sama sendiri,  sama-sama tidak punya tujuan yang jelas sampai ke tempat wisata Puncak Pato ini,”  ujar Aprisal seraya memandang wajahku.
“Iya, kali…”
“Bukan iya kali, tapi benar kenyataannya seperti itu…,” tukas Aprisal.
“Ih, kamu, bisa aja, Sal…”
“Iya, bisa. Apalagi saat ini, aku punya waktu dan kesempatan untuk mengatakan sesuatu padamu,” ujar Aprisal mengalihkan pembicaraan.
Aku tercenung.
“Maksudmu?” tanyaku tak mengerti.
“Hm, begini…”
Tapi aprisal tidak melanjutkan kalimatnya. Nampak ia ragu-ragu.
“Katakan saja, sal. Pasti aku dengar dengan baik,” desakku penasaran.
“Aku sudah lama suka padamu, Maryam….”
Aku hanya diam. Menunggu kelanjutan kalimatnya.
“Tapi aku ragu, apakah masih ada tempat bagiku untuk menyukai dirimu dan membalas rasa sukaku itu…”
Aku tersenyum. Senang akan kepolosan Aprisal. Aku jadi suka caranya menyampaikan sesuatu. Kalau selama ini aku cuek, kali ini tidak mungkin lagi aku untuk tidak menghargainya.
“Hm.., kalau ada,  gmana..?”
“Benar begitu?” Aprisal melongo. Masih kurang percaya nampaknya.
“Benar…” jawabku seraya senyum dan mengangguk.
Aprisal bangkit. Kemudian meraih dan menggenggam kedua tanganku.
“Terima kasih…terima kasih…Maryam…” ujar Aprisal penuh rasa gembira.
Entah kenapa, kini baru aku sadar kalau cewek itu lebih baik disukai lebih dulu dari pada menyukai. Aku berusaha untuk menyukaimu Aprisal meskipun selama ini kamu sering aku cuekin. Caramu yang berani, tanpa takut akan gagal, itu aku suka. (*Penulis : Nadya Silvia)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel