Filosofi Bambu dalam Pendidikan Anak
September 07, 2017
Filosofi bambu dalam pendidikan anak – Anda
pasti tidak asing lagi dengan tumbuhan bambu. Pohon bambu tumbuh dan berkembang
secara berkelompok. Hal ini dapat dicerna karena tumbuhan bambu memang berkembang
biak dengan akar.
Akar
bambu akan membentuk tunas muda yang disebut rebung. Tunas muda yang masih
lunak dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan. Misalnya, campuran atau
pelengkap berbagai masakan dan penganan.
Gulai
cancang, masakan khas Minangkabau,
semakin enak dicampur dengan rebung ini. Begitu pula gulai ketupat, juga
penganan khas bumi Rananh Minang, enak dicampur dengan nangka muda .
Rebung
tumbuh dan berkembang menjadi bambu muda. Batang bambu yang masih muda akan
mudah untuk ditebang, dibentuk atau diolah karena masih lunak. Namun tidak
demikian jika batang bambu ini sudah besar dan berumur tua.
Jangankan
untuk dibentuk, saat bambu masih berdiri kokoh di kelompok pohon bambu. Untuk menebangnya
saja, perlu keahlian tersendiri menebang pohon bambu agar tidak membahayakan si
penebangnya.
Sekelompok
pohon bambu, perlu dipilih satu persatu untuk ditebang. Menebang satu batang
bambu dalam kelompoknya perlu perhitungan. Mulai dari perhitungan ruang gerak
si penebang untuk mengayun alat tebang sampai arah tumbangnya batang bambu.
Nah,
begitulah menyikapi batang bambu yang sudah tua. Batang bambu kalau sudah besar
dan tua susah untuk ditebang, dibentuk apalagi untuk diolah menjadi sesuatu
yang bermanfaat. Kecuali oleh orang yang sudah biasa dan terampil melakukannya.
Keluhan terhadap karakter anak
Sering
ditemukan bagaimana orangtua mengeluh dan merasa kewalahan menghadapi anaknya
sendiri. Sikap dan tingkah laku anak-anak telah membuat hati orangtua mengkal.
Anak
tidak mau dinasehati karena apa yang dikerjakannya tidak pada tempatnya. Atau
akan merugikan diri anak sendiri. Jangankan
menuruti nasehat, malahan balik membangkang pada orangtua.
Begitu
pula dengan anak-anak sekolah. Guru kerap dibuat kesal oleh sikap dan tingkah
laku siswa. Sering tidak mau peduli dengan nasehat, suruhan dan larangan yang
ditujukan kepada siswa.
Dinasehati
tidak mempan. Dilarang justru semakin menjadi-jadi untuk mengerjakan larangan
guru. Disuruh malah enggan mengerjakan walaupun untuk kebaikan siswa sendiri.
Filosofi bambu mendidik anak
Pada
dasarnya pendidikan anak di lingkungan keluarga menganut
filosofi batang bambu. Bahwa sikap dan tingkah laku anak sangat ditentukan oleh
bagaimana kedua orangtua mendidiknya di lingkungan keluarga. Anak dilahirkan
dan dibesarkan oleh lingkungan keluarga sebelum memasuki dunia lain, dunia
sekolah dan lingkungan masyarakat..
Pendidikan anak di rumah tangga telah dimulai sejak anak masih berada dalam kandungan.
Usia kandungan 9 bulan 10 hari adalah rentang waktu untuk meletakkan pondasi
pendidikan karakter bagi anak.
Kedua
orangtua perlu memenuhi kebutuhan calon bayi dengan konsumsi makanan dan
minuman yang sehat. Sehat dalam
pengertian ini, mengandung nutrisi yang cukup, halal dan baik.
Pola pendidikan anak
Pembentukan
dan pengolahan pendidikan karakter berlanjut ketika anak lahir. Pada masa
Balita (bawah lima tahun), pola dan corak pendidikan yang diterapkan akan ikut
mempengaruhi kepribadian anak. Selain itu, yang tak kalah penting adalah
karakter dan kebiasaan kedua orangtua.
Pola
pendidikan yang diterapkan orangtua terhadap anak bersifat serba permisif dan
memanjakan anak, serta perlindungan yang berlebihan. Hal ini akan menyebabkan
anak menikmati kondisi demikian dengan bebas. Sampai anak memasuki usia
pendidikan dini, sikap itu akan terbawa-bawa oleh anak.
Ketika
memasuki pendidikan dasar dan menengah, sikap dan perilaku manja, serba ingin
dibolehkan, tak mau ikut aturan berlaku akan terbawa-terbawa-bawa dan sulit
untuk diubah oleh sang anak.
Sebaliknya,
perlakuan yang wajar orangtua terhadap anak sejak usia dini justru menjadi
kondisi bagus untuk membentuk sikap dan keperibadian yang baik bagi anak. Pada
masa inilah pondasi pendidikan karakter bisa dibentuk dan diolah dengan baik.
Orangtua
perlu menerapkan pola pendidikan yang demokratis namun bertanggungjawab. Nuansa demokratis dalam pendidikan anak di lingkungan
keluarga pada usia dini akan memudahkan orangtua untuk menanamkan karakter yang
baik.
Ada
kebebasan bagi anak untuk berkreasi, mengeluarkan pendapat, keinginan dan
gagasan tanpa rasa takut kepada orangtua. Namun semua itu ada aturan dan
resikonya untuk anak.
Anak
mulai diperkenalkan dengan tindakan dan resiko pada usia dini. Setiap tindakan
yang dilakukan siswa ada resikonya. Ketika melakukan kesalahan, anak juga mulai
diperkenalka apa akibat dari kesalahan tersebut.
Hukuman
perlu diterapkan ketika anak melakukan suatu kesalahan. Mulai dari hukuman
peringatan sampai hukuman fisik (jika perlu). Hukuman fisik ini bukan bermakna orangtua
melakukan tindakan kekerasan. Namun hukuman yang dijatuhkan pada anak bersifat
mendidik dan menimbulkan efek jera.
Jika
hukuman diterapkan terhadap anak yang telah melakukan tindakan salah atau
keliru. Penghargaan pun harus diberikan kepada anak jika melakukan tindakan
positif. Penghargaan ini boleh jadi dalam bentuk pujian verbal, hadiah dan bentuk
penghargaan lainnya yang akan mendorong anak untuk berbuat yang lebih baik.
Mungkin
sikap orangtua ingin memanjakan anak adalah suatu sikap yang alamiah. Namun
demikian terlalu berlebihan dalam memanjakan anak pada usia dini akan menjadi
bumerang bagi orangtua.
Kesimpulan
Bambu
akan mudah dibentuk dan diolah ketika bambu tersebut masih muda. Dalam bentuk
rebung sampai bambu muda. Ketika bambu mulai besar dan berumur, sangatlah sulit
untuk membentuknya.
Filosofi
ini mengingatkan orangtua tentang penduidikan anak yang dimulai dari lingkungan
keluarga, sejak dalam kandungan sampai anak berusia balita.
Karakter
yang baik dapat ditumbuhkembangkan pada anak pada saat anak berusia dini dan masih
berada di lingkungan keluarga. Pembentukan
pondasi karakter yang kokoh di lingkungan keluarga akan mempermudah proses
pendidikan karakter selanjutnya di luar lingkungan keluarga.***