Ku Tak Sanggup Menerimanya

Jam Istirahat pertama, Sabtu 29 September 1984. Kalangan siswa dihebohkan oleh rencana sekolah untuk menonton bareng film tentang sejarah perjuangan bangsa. Demikian juga dengan para guru yang berkumpul di ruang majelis guru saat jam istirahat pertama itu.

Tidak demikian halnya bagi Andri, siswa kelas 3E. Justru kewajiban nonton bareng itu menjadi beban pikirannya. Sejak awal belajar tadi, ia seakan kehilangan semangat mengikuti pelajaran. Bahkan jam istirahat pun ia masih berada di ruang kelas 3E.
“Nanti sore kamu ikut nonton, Andri?” tanya Aida tiba-tiba.
Andri sedikit kaget. Ia tak menyadari kehadiran Aida yang sudah berdiri di depannya. Andri mengangkat wajah.
 “Nggak, Aida.” Jawabnya lemah.
“Kenapa?”
“Aku tak punya uang,” sahut Andri jujur.
“Oh...” Hanya itu yang keluar dari mulut Aida. Kemudian siswa cantik bertahi lalat kecil di bawah bibir itu berlalu ke luar ruangan kelas 3E.
Andri masih terpaku bertopang dagu di meja kelas ketika Supardi memasuki ruang kelas. Andri hanya melirik sekilas kehadiran Supardi yang telah duduk di kursi samping kirinya.
“Andri, tadi emakmu berkirim sesuatu padaku,” kata Supardi dengan wajah serius.
“Berkirim apa?” tanya Andri penasaran.
“Uang. Kata beliau untuk membeli karcis buat kamu nonton film G30S/PKI di bioskop nanti sore,”
“Benar begitu?” tanya Andri seakan tidak percaya.
“Iya. Ini uangnya….” Kata Supardi merongoh saku celana dan menyodorkan uang seribu rupiah kepada Andri.
Andri menyambut uang tersebut dan menyimpan di saku bajunya. Namun sesaat kemudian hatinya menjadi ragu. Ia merasa tidak percaya, kalau uang tadi betul-betul berasal dari emaknya. Soanya, Andri merasa tidak pernah bicara sama emaknya perihal siswa harus nonton ke bioskop. Ia tahu, emaknya lagi kesulitan uang.
Bahkan, tadi pagi emak hanya sempat memberi uang untuk ongkos pergi dan pulang sekolah saja. Tidak ada uang jajan. Tiba-tiba emaknya berkirim uang kepada Supardi. Ini tidak mungkin, kata Andri dalam hati.
Lonceng tanda masuk berbunyi. Semua siswa kelas 3E segera masuk kelas. Sementara itu, Aida juga sudah menempati kursinya, persis di belakang Andri.
 “Benarkah uang tadi dari emakku?” tanya Andri kembali pada Supardi. Tapi Supardi tak menjawab. Ia malah menoleh ke arah Aida.
 “Benarkah?” Andri kembali bertanya.
Supardi menggeleng
“Lalu, uang itu siapa yang memberi?” desak Andri.
“Aida…”
Andri tersentak. Ada perasaan tak enak di hatinya. Andri segera memutar tubuh ke belakang, lalu menyambar sebuah buku catatan di meja Aida. Tentu saja Aida jadi kaget.
Segera Andri mengeluarkan uang pemberian Aida dan memasukkannya ke dalam sampul belakang buku. Sebelum memberikan buku itu kembali, Andri menulis sesuatu di atas secarik kertas.
“Maafkan aku, Aida…Terima kasih atas kepedulianmu pada diriku. Aku tahu, itu kamu lakukan dengan tulus. Tapi aku tidak bisa menerima pemberianmu sebanyak itu. Terlalu besar bagiku uang seribu itu sehinga terpaksa kukembalikan padamu.
Aida, aku harap kamu tidak tersinggung akibat aku mengembalikan uangmu. Aku tetap sayang padamu, koq... I Love you.”
Secarik kertas berisi tulisan itu juga dimasukkan ke dalam sampul bagian belakang bersama uang kertas seribu rupiah. Kemudian Andri mengembalikan buku Aida ke mejanya.
Aida penasaran. Secara diam-diam membuka sampul belakang buku catatannya. Aida melihat sesuatu di dalam sampul plastik bagian belakang buku catatannya. Kemudian ia minta izin meninggalkan kelas semabil membawa buku catatannya itu.
Tak lama kemudian, Aida telah kembali ke kelas. Wajahnya di tekuk ke lantai. Ada rasa sedih terbias dari wajahnya. Apakah ia benar-benar tersinggung oleh caraku tadi? Andri bertanya dalam hati. Maafkan sekali lagi Aida. Bukan aku menolak, namun aku tak sanggup menerima pemberianmu yang terlalu besar bagiku.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel