Ku Tak Sanggup Menerimanya
September 30, 2017
Jam
Istirahat pertama, Sabtu 29 September 1984. Kalangan siswa dihebohkan oleh
rencana sekolah untuk menonton bareng film tentang sejarah perjuangan bangsa. Demikian
juga dengan para guru yang berkumpul di ruang majelis guru saat jam istirahat
pertama itu.
Tidak
demikian halnya bagi Andri, siswa kelas 3E. Justru kewajiban nonton bareng itu
menjadi beban pikirannya. Sejak awal belajar tadi, ia seakan kehilangan
semangat mengikuti pelajaran. Bahkan jam istirahat pun ia masih berada di ruang
kelas 3E.
“Nanti
sore kamu ikut nonton, Andri?” tanya Aida tiba-tiba.
Andri
sedikit kaget. Ia tak menyadari kehadiran Aida yang sudah berdiri di depannya.
Andri mengangkat wajah.
“Nggak, Aida.” Jawabnya lemah.
“Kenapa?”
“Aku
tak punya uang,” sahut Andri jujur.
“Oh...”
Hanya itu yang keluar dari mulut Aida. Kemudian siswa cantik bertahi lalat
kecil di bawah bibir itu berlalu ke luar ruangan kelas 3E.
Andri
masih terpaku bertopang dagu di meja kelas ketika Supardi memasuki ruang kelas.
Andri hanya melirik sekilas kehadiran Supardi yang telah duduk di kursi samping
kirinya.
“Andri,
tadi emakmu berkirim sesuatu padaku,” kata Supardi dengan wajah serius.
“Berkirim
apa?” tanya Andri penasaran.
“Uang.
Kata beliau untuk membeli karcis buat kamu nonton film G30S/PKI di bioskop
nanti sore,”
“Benar
begitu?” tanya Andri seakan tidak percaya.
“Iya.
Ini uangnya….” Kata Supardi merongoh saku celana dan menyodorkan uang seribu
rupiah kepada Andri.
Andri
menyambut uang tersebut dan menyimpan di saku bajunya. Namun sesaat kemudian
hatinya menjadi ragu. Ia merasa tidak percaya, kalau uang tadi betul-betul berasal
dari emaknya. Soanya, Andri merasa tidak pernah bicara sama emaknya perihal
siswa harus nonton ke bioskop. Ia tahu, emaknya lagi kesulitan uang.
Bahkan,
tadi pagi emak hanya sempat memberi uang untuk ongkos pergi dan pulang sekolah
saja. Tidak ada uang jajan. Tiba-tiba emaknya berkirim uang kepada Supardi. Ini
tidak mungkin, kata Andri dalam hati.
Lonceng
tanda masuk berbunyi. Semua siswa kelas 3E segera masuk kelas. Sementara itu,
Aida juga sudah menempati kursinya, persis di belakang Andri.
“Benarkah uang tadi dari emakku?” tanya Andri
kembali pada Supardi. Tapi Supardi tak menjawab. Ia malah menoleh ke arah Aida.
“Benarkah?” Andri kembali bertanya.
Supardi
menggeleng
“Lalu,
uang itu siapa yang memberi?” desak Andri.
“Aida…”
Andri
tersentak. Ada perasaan tak enak di hatinya. Andri segera memutar tubuh ke
belakang, lalu menyambar sebuah buku catatan di meja Aida. Tentu saja Aida jadi
kaget.
Segera
Andri mengeluarkan uang pemberian Aida dan memasukkannya ke dalam sampul
belakang buku. Sebelum memberikan buku itu kembali, Andri menulis sesuatu di
atas secarik kertas.
“Maafkan
aku, Aida…Terima kasih atas kepedulianmu pada diriku. Aku tahu, itu kamu
lakukan dengan tulus. Tapi aku tidak bisa menerima pemberianmu sebanyak itu.
Terlalu besar bagiku uang seribu itu sehinga terpaksa kukembalikan padamu.
Aida,
aku harap kamu tidak tersinggung akibat aku mengembalikan uangmu. Aku tetap
sayang padamu, koq... I Love you.”
Secarik
kertas berisi tulisan itu juga dimasukkan ke dalam sampul bagian belakang
bersama uang kertas seribu rupiah. Kemudian Andri mengembalikan buku Aida ke
mejanya.
Aida
penasaran. Secara diam-diam membuka sampul belakang buku catatannya. Aida
melihat sesuatu di dalam sampul plastik bagian belakang buku catatannya.
Kemudian ia minta izin meninggalkan kelas semabil membawa buku catatannya itu.
Tak
lama kemudian, Aida telah kembali ke kelas. Wajahnya di tekuk ke lantai. Ada
rasa sedih terbias dari wajahnya. Apakah ia benar-benar tersinggung oleh caraku
tadi? Andri bertanya dalam hati. Maafkan sekali lagi Aida. Bukan aku menolak,
namun aku tak sanggup menerima pemberianmu yang terlalu besar bagiku.***