Menyibak Gerimis Pagi

Menyibak gerimis pagi - Aku berdiri dekat jendela kamar yang terbuka. Kemudian menoleh ke luar jendela. Menengadahkan kepala, menatap langit pagi yang memutih oleh gerimis yang turun sejak subuh tadi.

Gerimis yang turun di pagi itu. Tidak membuat rencanaku mundur selangkahpun.. Apalagi membuat kendur semangatku. Janjiku untuk pergi bersama Melani tak mungkin kubatalkan.

“Hm…, ini baru gerimis,” gumamku membakar semangat sendiri..Hujan deras sekalipun, aku jarang berhenti kalau lagi diperjalanan mengendarai motor. Bahkan aku jarang pakai mantel hujan. Paling-paling mengenakan jaket kulit.

Alasannya aku nekad meneruskan perjalanan di tengah hujan adalah menghindari kemacetan oleh pengendara sepeda motor. Bagiku mengendarai motor saat hujan, waktu yang tepat untuk menghindari kemacetan. Pengendara motor pada umumnya akan berhenti kalau lagi hujan. Dengan begitu akan berkurang arus lalu lintas dari pengguna sepeda motor.

“Bang..., kak Melani sudah datang!” seru Aini yang muncul di balik pintu kamar yang memang tidak tertutup.

“Apa, Melani sudah datang?” tanyaku seraya membalikkan badan. Seakan tak percaya ucapan adikku semata wayang itu.

“Iya, kak Melani datang…” ulang Aini.

“Pakai apa dia sampai kesini, Aini? Bukankah saat ini lagi gerimis?”

Aini malah tersenyum.

“Abang, abang…Bukankah orangtua kak Melani itu punya mobil?” ujar Aini kemudian.
Aku tercenung sesaat. Aku tau kalau Melani belum bisa nyetir. Bersama siapa dia kesini? Tapi aku malu sama Aini bertanya soal ini.

“Hm, kalau begitu suruh tunggu Melani sebentar,”

“Iya, Bang…” sahut Aini berlalu dari pintu kamarku.

Tak begitu lama aku sudah sampai di ruang depan. Disana Melani sudah menunggu. Tapi…?
Mendadak kerongkonganku tersedak. Ternyata Melani datang kesini  tidak sendiri. Di sampingnya, ada seorang cowok yang belum kukenal. Siapa dia? Mendadak hatiku menjadi galau, tak menentu. Gerimis mulai menyelimuti hatiku.

“Ehem…” Aku mendehem mengusir kegalauan hati.

“Apa kabar bang Andri?” tanya cowok yang duduk di samping Melani, seraya menyodorkan tangannya hendak berkenalan denganku. Sementara Melani senyum-senyam menyaksikan keadaan ini.

“Oh, kabar baik,” sahutku seraya menyambut uluran tangannya. Bibirku tersenyum tapi terasa kecut. Hatiku sudah dibakar cemburu. Bagaimana mungkin akan tersebyum ramah kepada sang tamu yang datang bersama Melani ini?

“Hm, perkenalkan, saya Hamdi. Teman papanya Melani,” ujar Hamdi kemudian memperkenalkan diri.

Teman papanya, apa teman Melani? Aku merutuk dalam hati

Sekilas aku menoleh pada Melani. Melani membalasnya dengan wajah biasa-biasa saja.
Aku terdiam. Suasana seakan beku sesaat. Namun Aini adikku sudah datang dengan membawa tiga cangkir teh panas..

“Silahkan diminum,” ujar Aini setelah meletakkannya di meja tamu. Kemudian ia  berlalu. Ingin aku memanggil Aini kembali dan menemaniku duduk di hadapan dua tamu ini.

“Terima kasih, dek…” Sahut Hamdi Ramah.

Perasaan cemburu semakin membakar hatiku. Ada perasaan tidak enak menghadapi cowok di hadapanku ini. Sementara cowok itu seakan tidak merasa apa-apa. Merasa tidak bersalah. Ia masih nampak ceria dengan sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman ramah padaku.

“Hm, begini….” kata Hamdi memulai menyampaikan maksudnya. Kemudian menoleh pada Melani.

Aku semakin tak enak hati. Dalam pikiranku, sang cowok di hadapanku ini akan mengajak pergi Melani dan minta izin padaku. Itu artinya Melani membatalkan rencananya untuk pergi jalan-jalan denganku karena gerimis pagi masih turun.

Oh, malangnya diriku. Kalau pake motor, mana ada cewek yang mau ikut saat gerimis begini?

“Melani, tugas abang sudah selesai. Sekarang abang pamit dulu dan membawa mobil papamu untuk dipakai oleh keluarga pak Arman ke kota. Oke?”

“Iya, bang Hamdi. Terima kasih sudah ngantar Lani kesini.” Sahut Melani ramah

Hamdi bangkit dari duduknya dan menyodorkan tangannya padaku. Aku membalasnya. Namun setelah itu, aku diam terhenyak bagai patung tak bernyawa di kursi.

“Abang kenapa? Kok kebingungan begitu?” tanya Melani pindah kursi dan mendekat di sampingku.

“Astagfirullahal aziim…”

“Ada apa bang, Andri?”

Aku tersenyum seraya geleng-geleng kepala. Merasa heran dengan dirinya sendiri. Ia telah terlanjur salah paham. Dibakar api cemburu pada cowok yang mengantar Melani ke rumahku.

“Oh, Lani tau. Abang tadi cemburu kan? Ayo ngaku…” ujar Melani menggodak seraya mencubit lenganku.

“Iyaaaa…dong….hehehe “ sahutku sewot

"Makanya, abang jangan mudah cemburu..."

"Iya. Iya deh..." Aku jadi malu.

Kini aku merasa lega. Gerimis pagi di hatiku tersibak sudah. Sementara di luar sana gerimis masih setia membasahi bumi.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel