Menyibak Gerimis Pagi
September 26, 2017
Menyibak gerimis pagi - Aku
berdiri dekat jendela kamar yang terbuka. Kemudian menoleh ke luar jendela.
Menengadahkan kepala, menatap langit pagi yang memutih oleh gerimis yang turun
sejak subuh tadi.
Gerimis
yang turun di pagi itu. Tidak membuat rencanaku mundur selangkahpun.. Apalagi membuat
kendur semangatku. Janjiku untuk pergi bersama Melani tak mungkin kubatalkan.
“Hm…,
ini baru gerimis,” gumamku membakar semangat sendiri..Hujan deras sekalipun, aku
jarang berhenti kalau lagi diperjalanan mengendarai motor. Bahkan aku jarang
pakai mantel hujan. Paling-paling mengenakan jaket kulit.
Alasannya
aku nekad meneruskan perjalanan di tengah hujan adalah menghindari kemacetan
oleh pengendara sepeda motor. Bagiku mengendarai motor saat hujan, waktu yang
tepat untuk menghindari kemacetan. Pengendara motor pada umumnya akan berhenti
kalau lagi hujan. Dengan begitu akan berkurang arus lalu lintas dari pengguna
sepeda motor.
“Bang...,
kak Melani sudah datang!” seru Aini yang muncul di balik pintu kamar yang
memang tidak tertutup.
“Apa,
Melani sudah datang?” tanyaku seraya membalikkan badan. Seakan tak percaya
ucapan adikku semata wayang itu.
“Iya,
kak Melani datang…” ulang Aini.
“Pakai
apa dia sampai kesini, Aini? Bukankah saat ini lagi gerimis?”
Aini malah tersenyum.
“Abang,
abang…Bukankah orangtua kak Melani itu punya mobil?” ujar Aini kemudian.
Aku
tercenung sesaat. Aku tau kalau Melani belum bisa nyetir. Bersama siapa dia
kesini? Tapi aku malu sama Aini bertanya soal ini.
“Hm,
kalau begitu suruh tunggu Melani sebentar,”
“Iya,
Bang…” sahut Aini berlalu dari pintu kamarku.
Tak
begitu lama aku sudah sampai di ruang depan. Disana Melani sudah menunggu.
Tapi…?
Mendadak
kerongkonganku tersedak. Ternyata Melani datang kesini tidak sendiri. Di sampingnya, ada seorang
cowok yang belum kukenal. Siapa dia? Mendadak hatiku menjadi galau, tak menentu. Gerimis mulai menyelimuti hatiku.
“Ehem…”
Aku mendehem mengusir kegalauan hati.
“Apa
kabar bang Andri?” tanya cowok yang duduk di samping Melani, seraya menyodorkan
tangannya hendak berkenalan denganku. Sementara
Melani senyum-senyam menyaksikan keadaan ini.
“Oh,
kabar baik,” sahutku seraya menyambut uluran tangannya. Bibirku tersenyum tapi
terasa kecut. Hatiku sudah dibakar cemburu. Bagaimana mungkin akan tersebyum
ramah kepada sang tamu yang datang bersama Melani ini?
“Hm,
perkenalkan, saya Hamdi. Teman papanya Melani,” ujar Hamdi kemudian
memperkenalkan diri.
Teman
papanya, apa teman Melani? Aku merutuk dalam hati
Sekilas
aku menoleh pada Melani. Melani membalasnya dengan wajah biasa-biasa saja.
Aku
terdiam. Suasana seakan beku sesaat. Namun Aini adikku sudah datang dengan
membawa tiga cangkir teh panas..
“Silahkan
diminum,” ujar Aini setelah meletakkannya di meja tamu. Kemudian ia berlalu. Ingin aku memanggil Aini kembali dan
menemaniku duduk di hadapan dua tamu ini.
“Terima
kasih, dek…” Sahut Hamdi Ramah.
Perasaan
cemburu semakin membakar hatiku. Ada perasaan tidak enak menghadapi cowok di
hadapanku ini. Sementara cowok itu seakan tidak merasa apa-apa. Merasa tidak
bersalah. Ia masih nampak ceria dengan sesekali bibirnya menyunggingkan senyuman
ramah padaku.
“Hm,
begini….” kata Hamdi memulai menyampaikan maksudnya. Kemudian menoleh pada Melani.
Aku
semakin tak enak hati. Dalam pikiranku, sang cowok di hadapanku ini akan
mengajak pergi Melani dan minta izin padaku. Itu artinya Melani membatalkan rencananya
untuk pergi jalan-jalan denganku karena gerimis pagi masih turun.
Oh,
malangnya diriku. Kalau pake motor, mana ada cewek yang mau ikut saat gerimis
begini?
“Melani,
tugas abang sudah selesai. Sekarang abang pamit dulu dan membawa mobil papamu
untuk dipakai oleh keluarga pak Arman ke kota. Oke?”
“Iya,
bang Hamdi. Terima kasih sudah ngantar Lani kesini.” Sahut Melani ramah
Hamdi bangkit dari duduknya dan menyodorkan tangannya padaku. Aku membalasnya. Namun setelah itu, aku diam terhenyak bagai patung tak bernyawa di kursi.
“Abang
kenapa? Kok kebingungan begitu?” tanya Melani pindah kursi dan mendekat di
sampingku.
“Astagfirullahal
aziim…”
“Ada
apa bang, Andri?”
Aku
tersenyum seraya geleng-geleng kepala. Merasa heran dengan dirinya sendiri. Ia
telah terlanjur salah paham. Dibakar api cemburu pada cowok yang mengantar Melani ke rumahku.
“Oh,
Lani tau. Abang tadi cemburu kan? Ayo ngaku…” ujar Melani menggodak seraya mencubit lenganku.
“Iyaaaa…dong….hehehe
“ sahutku sewot
"Makanya, abang jangan mudah cemburu..."
"Iya. Iya deh..." Aku jadi malu.
Kini
aku merasa lega. Gerimis pagi di hatiku tersibak sudah. Sementara di luar sana gerimis masih setia membasahi bumi.***