Jelang Senja di Talago Anguih
September 02, 2017
“Uda,
kita refreshing yuk, suntuk di rumah
aja dari pagi,”
Suara
perempuan di seberang sana terdengar manja dan mengoda di telingaku. Aku segera
melangkah ke luar rumah, seraya mempertahankan ponsel di telinga kiriku. Lalu menoleh
ke angkasa. Sejenak mengamati angkasa sore.
Sore
yang tak begitu cerah. Namun cukup bagus untuk bepergian dengan mengendarai
sepeda motor. Memanfaatkan sisa liburan, sekadar refreshing atau penyegaran urat
saraf yang tegang setelah bersitungkin seminggu dengan tugas rutin.
“Bagaimana,
Uda? Mau nggak?’ desak Yola, pemilik suara manja itu.
“Iya,
Uda mau. Tapi…”
“Tapi
apa, Uda?” tukas Yola cepat.
“Motornya
Uda, lagi di-servis di bengkel.”
“Oh,
kalau begitu, pakai motorku saja. Uda tunggu di depan gang dekat rumahnya Uda.
Oke?”
“Iya…ya,
oke…”
“Daa…”
Pembicaraan
melalui telepon selluler itu terhenti. Aku segera menyiapkan diri. Kemudian melangkah
pelan melewati gang kecil. Sekian puluh langkah
saja aku sudah sampai di depan mulut gang.
Tak
cukup sepuluh menit, gadis itu sudah datang. Ia membelok ke kanan menyeberang
jalan raya.
“Lama
menunggu, ya Uda?” tanya Yola kemudian
“Ah,
nggak juga. Sepertinya, kamu ngebut banget mengendarai motor sehingga cepat
sampai disini,” sahutku.
“Oh,
begitu ya?. Perasaanku biasa-biasa saja
kecepatannya,”
“Kita
mau kemana?” tanyaku.
“Ke
Talago Anguih,” jawab Yola spontan.
“Talago
Anguih? Dimana tuh?” tanyaku penasaran.
Rasanya
aku belum pernah mendengar nama tempat itu. Lama aku melongo mendengar nama
tempat yang disebutkan Yola.
“He,
jangan bengong kayak gitu, Uda. Sebentar lagi Uda akan tau tempat itu.”
Aku
tersentak.
“Uda
yang bawa motor.” kata Yola seraya memindahtangankan setang motor dan bergeser
duduk ke bagian belakang jok motor.
****
“Nah, tempat inilah yang
disebut Talago Anguih, Uda.” ujar Yola ketika sudah sampai di suatu tempat. Aku
memberhentikan dan memarkir motor di pinggir jalan. Yola telah berjalan duluan
ke pinggir telaga yang disebut Talago
Anguih itu.
Aku
melongo lagi, memandang sebuah telaga yang luas itu. Dalam hati aku berkata,
telaga seluas ini pantasnya disebut danau mini. Airnya jernih. Tapi, sepertinya
telaga ini belum terawat, belum dimanfaatkan sebagai tempat wisata yang
berpotensi menambah pemasukan nagari.
Di
sebelah kiri, tepatnya arah utara masih banyak ditumbuhi oleh tumbuhan liar
atau duri. Begitu pula di sebelah selatannya.
“Hei…itu
di seberang sana ada orang naik rakit!” seru Yola seraya menunjuk ke arah seberang
telaga.
“Iya,
tapi itu anak kecil,” tukasku.
“Uda
pandai berakit dan berenang, bukan?”
“Ya,
pandai dong. Rumah orangtua Uda saja di tepi sungai, heheh…”
“Ayo
kita kesana, Uda?,”
“Yuk,”
aku setuju.
Untuk
sampai ke tempat di seberang sana, ada jalan kecil melingkar. Setelah melewati
jalan melingkar, aku dan Yola sudah sampai di tempat yang dimaksud. Ternyata
rakit yang ada hanya satu dan sudah ditambatkan oleh anak-anak yang tadi main
rakit.
Yola
turun dari boncengan. Kemudian segera menuju ke sebuah pondok kecil. Setelah berbincang-bincang
sesaat Yola sudah kembali.
Tentu
saja, Yola sudah kenal dengan orang di sekitar sini. Begitu pula aturan
penggunaan rakit yang ada di pinggir telaga.
“Ayo,
Uda…Silahkan Uda yang mengendalikan rakit ini dan aku jadi penumpangnya,” ujar
Yola.
Aku
menurut saja.
Rakit
seperti ini sudah tidak asing lagi bagiku. Untuk menjalankan rakit ini harus
menggunakan pendayung dari bambu. Disini akan berlaku hukum-hukum fisika yang
sering kuajarkan kepada murid-muridku.
“Ouhhh!....Udaaa!”
Yola berseru tatkala rakit jadi oleng ketika ia naiki.
“Nggak
apa-apa, tenang saja. Uda akan jaga keseimbangannya,” sahutku.
“Oh,
Uda sudah biasa naik rakit ya?
“Iya,
kenapa?”
“Pantasan,
Uda tenag-tenang saja, heheh…”
“Ya,
iyalah…tadi sudah Uda bilang, rumah orang tua Uda di pinggiran kali. Pasti bisa
berakit dan berenang” kataku meyakinkan Yola.
“Oh…”
Perlahan-lahan
bagian depan rakit berputar pelan, membelok ke kanan sehingga berputar 180
derajat, mengarah ke tengah telaga. Kulirik Yola sekilas. Sepertinya dia kagum
dengan caraku mengendalikan rakit bambu ini.
Dengan
sangat piawai, pangkal bambu pendayung aku tumpukan pada sisi tebing, dorong
perlahan dengan gaya spin (memutar) membuat
bagian depan rakit membelok ke kanan secara perlahan.
“Bagaimana,
nona manis? Sudah siap untuk berakit-rakit bersama Uda menuju seberang sana?”
ujarku menggoda.
“Siap,
Uda nahkoda…” sahut Yola seraya melempar senyum manisnya. Senyum yang membuat
dadaku berguncang hebat.
Aku
segera mendayung rakit perlahan-lahan. Namun kecepatan rakit makin lama makin
cepat membentuk riak-riak kecil.
Langit
terasa semakin temaram. Aku baru sadar kalau senja sebentar lagi datang menjelang.
“Yola,
sebaiknya kita kembali.” ujarku seraya menghentikan laju rakit.
“Oh,
iya, Uda nahkoda…” sahut Yola menggoda.
Aku
segera memutar haluan rakit. Kemudian mendorong lebih cepat menuju pinggiran
telaga. Setelah menambatkan rakit pada pohon kayu di pinggir telaga, aku
menyambut tangan Yola agar rakit tidak oleng ketika ia melangkah dan melompat
ke sisi tebing.
“Uda…!!!”
Yola terpekik.
Kakinya
tergelincir ketika melangkah ke sisi tebing. Untung tanganku sigap menyambar
tubuhnya sehingga tidak terjatuh. Yola berhasil naik ke atas tebing dengan
berpegang pada tanganku.
“Uda…,
sudah senja…Aku takut…”
“Takut
sama siapa?” tanyaku serius.
“Sama
mama, ntar beliau marah kerena aku pulang hampir malam,.”
“Oh,
jangan khawatir, Uda akan ke rumahmu dulu. Ntar Uda yang bicara sama mamamu.
Oke?
“Jangan,
Uda!” tukas Yola.
Aku
terdiam.
“Jangan
Uda. Bagusnya, aku ngantar Uda dulu, kemudian biar aku yang pulang sendiri.”
“Siap
dimarahi mamamu?”
“Ya,
harus siap Uda. Sudah resikonya barangkali,”
Kalau
begitu yuk, kita berangkat!
Senja
semakin temaram. Bersamaan dengan itu, suara azan magrib berkumandang dari
menara Surau dan Masjid.***