Jelang Senja di Talago Anguih

 “Uda, kita refreshing yuk, suntuk di rumah aja dari pagi,”
Suara perempuan di seberang sana terdengar manja dan mengoda di telingaku. Aku segera melangkah ke luar rumah, seraya mempertahankan ponsel di telinga kiriku. Lalu menoleh ke angkasa. Sejenak mengamati angkasa sore.

Sore yang tak begitu cerah. Namun cukup bagus untuk bepergian dengan mengendarai sepeda motor. Memanfaatkan sisa liburan, sekadar refreshing atau penyegaran urat saraf yang tegang setelah bersitungkin seminggu dengan tugas rutin.
“Bagaimana, Uda? Mau nggak?’ desak Yola, pemilik suara manja itu.
“Iya, Uda mau. Tapi…”
“Tapi apa, Uda?” tukas Yola cepat.
“Motornya Uda, lagi di-servis di bengkel.”
“Oh, kalau begitu, pakai motorku saja. Uda tunggu di depan gang dekat rumahnya Uda. Oke?”
“Iya…ya, oke…”
“Daa…”
Pembicaraan melalui telepon selluler itu terhenti. Aku segera menyiapkan diri. Kemudian melangkah pelan melewati gang kecil.  Sekian puluh langkah saja aku sudah sampai di depan mulut gang.
Tak cukup sepuluh menit, gadis itu sudah datang. Ia membelok ke kanan menyeberang jalan raya.
“Lama menunggu, ya Uda?” tanya Yola kemudian
“Ah, nggak juga. Sepertinya, kamu ngebut banget mengendarai motor sehingga cepat sampai disini,” sahutku.
“Oh, begitu ya?. Perasaanku  biasa-biasa saja kecepatannya,”
“Kita mau kemana?” tanyaku.
“Ke Talago Anguih,” jawab Yola spontan.
“Talago Anguih? Dimana tuh?” tanyaku penasaran.
Rasanya aku belum pernah mendengar nama tempat itu. Lama aku melongo mendengar nama tempat yang disebutkan Yola.
“He, jangan bengong kayak gitu, Uda. Sebentar lagi Uda akan tau tempat itu.”
Aku tersentak.
“Uda yang bawa motor.” kata Yola seraya memindahtangankan setang motor dan bergeser duduk ke bagian belakang jok motor.
****
Nah, tempat inilah yang disebut Talago Anguih, Uda.” ujar Yola ketika sudah sampai di suatu tempat. Aku memberhentikan dan memarkir motor di pinggir jalan. Yola telah berjalan duluan ke pinggir telaga yang disebut Talago Anguih itu.
Aku melongo lagi, memandang sebuah telaga yang luas itu. Dalam hati aku berkata, telaga seluas ini pantasnya disebut danau mini. Airnya jernih. Tapi, sepertinya telaga ini belum terawat, belum dimanfaatkan sebagai tempat wisata yang berpotensi menambah pemasukan nagari.
Di sebelah kiri, tepatnya arah utara masih banyak ditumbuhi oleh tumbuhan liar atau duri. Begitu pula di sebelah selatannya.
“Hei…itu di seberang sana ada orang naik rakit!” seru Yola seraya menunjuk ke arah seberang telaga.
“Iya, tapi itu anak kecil,” tukasku.
“Uda pandai berakit dan berenang, bukan?”
“Ya, pandai dong. Rumah orangtua Uda saja di tepi sungai, heheh…”
“Ayo kita kesana, Uda?,”
“Yuk,” aku setuju.
Untuk sampai ke tempat di seberang sana, ada jalan kecil melingkar. Setelah melewati jalan melingkar, aku dan Yola sudah sampai di tempat yang dimaksud. Ternyata rakit yang ada hanya satu dan sudah ditambatkan oleh anak-anak yang tadi main rakit.
Yola turun dari boncengan. Kemudian segera menuju ke  sebuah pondok kecil. Setelah berbincang-bincang sesaat Yola sudah kembali.
Tentu saja, Yola sudah kenal dengan orang di sekitar sini. Begitu pula aturan penggunaan rakit yang ada di pinggir telaga.
“Ayo, Uda…Silahkan Uda yang mengendalikan rakit ini dan aku jadi penumpangnya,” ujar Yola.
Aku menurut saja.
Rakit seperti ini sudah tidak asing lagi bagiku. Untuk menjalankan rakit ini harus menggunakan pendayung dari bambu. Disini akan berlaku hukum-hukum fisika yang sering kuajarkan kepada murid-muridku.
“Ouhhh!....Udaaa!” Yola berseru tatkala rakit jadi oleng ketika ia naiki.
“Nggak apa-apa, tenang saja. Uda akan jaga keseimbangannya,” sahutku.
“Oh, Uda sudah biasa naik rakit ya?
“Iya, kenapa?”
“Pantasan, Uda tenag-tenang saja, heheh…”
“Ya, iyalah…tadi sudah Uda bilang, rumah orang tua Uda di pinggiran kali. Pasti bisa berakit dan berenang” kataku meyakinkan Yola.
“Oh…”
Perlahan-lahan bagian depan rakit berputar pelan, membelok ke kanan sehingga berputar 180 derajat, mengarah ke tengah telaga. Kulirik Yola sekilas. Sepertinya dia kagum dengan caraku mengendalikan rakit bambu ini.
Dengan sangat piawai, pangkal bambu pendayung aku tumpukan pada sisi tebing, dorong perlahan dengan gaya spin (memutar) membuat bagian depan rakit membelok ke kanan secara perlahan.  
“Bagaimana, nona manis? Sudah siap untuk berakit-rakit bersama Uda menuju seberang sana?” ujarku menggoda.
“Siap, Uda nahkoda…” sahut Yola seraya melempar senyum manisnya. Senyum yang membuat dadaku berguncang hebat.
Aku segera mendayung rakit perlahan-lahan. Namun kecepatan rakit makin lama makin cepat membentuk riak-riak kecil.  
Langit terasa semakin temaram. Aku baru sadar kalau senja sebentar lagi datang menjelang.
“Yola, sebaiknya kita kembali.” ujarku seraya menghentikan laju rakit.
“Oh, iya, Uda nahkoda…” sahut Yola menggoda.
Aku segera memutar haluan rakit. Kemudian mendorong lebih cepat menuju pinggiran telaga. Setelah menambatkan rakit pada pohon kayu di pinggir telaga, aku menyambut tangan Yola agar rakit tidak oleng ketika ia melangkah dan melompat ke sisi tebing.
“Uda…!!!” Yola terpekik.
Kakinya tergelincir ketika melangkah ke sisi tebing. Untung tanganku sigap menyambar tubuhnya sehingga tidak terjatuh. Yola berhasil naik ke atas tebing dengan berpegang pada tanganku.
“Uda…, sudah senja…Aku takut…”
“Takut sama siapa?” tanyaku serius.
“Sama mama, ntar beliau marah kerena aku pulang hampir malam,.”
“Oh, jangan khawatir, Uda akan ke rumahmu dulu. Ntar Uda yang bicara sama mamamu. Oke?
“Jangan, Uda!” tukas Yola.
Aku terdiam.
“Jangan Uda. Bagusnya, aku ngantar Uda dulu, kemudian biar aku yang pulang sendiri.”
“Siap dimarahi mamamu?”
“Ya, harus siap Uda. Sudah resikonya barangkali,”
Kalau begitu yuk, kita berangkat!
Senja semakin temaram. Bersamaan dengan itu, suara azan magrib berkumandang dari menara Surau dan Masjid.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel