Di Ujung Penyesalan
November 11, 2017
Di ujung penyesalan - Bulan
memancarkan sinarnya yang begitu terang. Menerpa wajah oval seorang pria 16
tahun yang sedang berada di darmaga. Bajunya begitu kotor dan basah karna oleh
keringat. Sudah dari tadi subuh ia berada di darmaga sampai sekarang jam
sembilan malam.
Sudah satu
minggu belakangan ini ia jarang masuk sekolah. Dan lebih memilih untuk bekerja
di dermaga pelabuhan, memindahkan barang-barang dari atas kapal ke kepal
lainnya. Atau memindahkan ikan-ikan di dalam kotak yang berisikan batu es ke
dalam truk yang akan mengangkutnya. Hal itu sangatlah melelahkan tapi apa boleh
buat, memang itu yang harus dilakukannya jika ingin makan.
Kehidupan
ekonomi yang begitu sulit membuat Roy remaja laki-laki berkulit sawo matang dan
berambut ikal itu harus bekerja demi membantu perekonomian keluarganya. Jam
sepuluh lewat 15 menit Roy pulang ke rumahnya, rumah kecil yang berjarak cukup
dekat dari pantai.
Tak ada
hiburan disini. Jangankan bermain internet seperti remaja kebanyakan, pesawat
radio pun Roy tak punya. Dulu sempat punya tapi sudah rusak, entah dimana sekarang bangkainya.
Semua badan
Roy terasa pegal dan sakit. Ia membaringkan tubuhnya di atas kasur, bukan kasur
empuk tapi di atas kasur yang ada duluan di banding Roy dan beralaskan kain
panjang yang sudah t punya, tapi sudah rusak entah dimana sekarang bangkainya.
lusuh.
Mata Roy
susah sekali untuk terpejam. Ia teringat dengan apa yang ia temukan tadi pagi
di dermaga. Itu sebuah cat dan kuas lukis, untung saja Roy punya buku gambar.
Pikiran Roy
mulai menghayal kemana-mana untuk berimajinasi, mulai dari sebuah goresan cat
bewarna biru dan akhirnya menjadi lukisan dermaga yang cukup indah bagi seorang
pemula.
Lama
kelamaan Roy mulai menggemari hal itu. Pergi pukul empat ke dermaga dan pulang
pukul 10, melukis sampai jam 12 dan mulai meninggalkan pendidikan formalnya.
"Roy,......"
ibu Roy memegang pelan pundak anak pertamanya yang menjelma sebagai tulang
punggung keluarga.
"Apakah
kau benar-benar sudah tidak mau sekolah lagi" ibu mempertanyakan kepastian
anaknya itu.
"Sekarang
aku sudah mantap untuk benar-benar berhenti sekolah" Roy berusaha untuk
meyakinkan ibunya. Ibunya hanya membalas dengan senyum kekecawaan Roy hanya
punya ijazah SD.
*****
Waktu
berjalan begitu cepat. Sekarang usinya sudah menginjak 23 tahun. Roy bertemu
dengan seseorang yang mengubah hidupnya, seorang pelukis yang ternama yang
membantu Roy untuk myenjadi seorang seniman.
Hidup di
sebuah gubuk yang sangat panas di siang hari dan sangat dingin di malam hari. Hanya
sekedar masa lalu. Sekarang Roy adalah seorang maestro yang sangat terkenal. Kehidupannya mulai mapan.
Dua minggu
lagi akan diadakan pameran lukisan. Namun sayangnya Roy di tipu dan mengalami
kerugian yang sangat besar. Roy merasa menyesal karena tidak menyelesaikan
pendidikannya.
Jika
seandainya dulu Roy menyelesaikan pendidikan, ia tak akan semudah itu untuk di
tipu. Sekarang Roy baru benar-benar menyadari. Ilmu itu harta yang paling
penting dan bakat itu ada karena usaha tapi juga butuh ilmu.
Di ujung
penyesalannya, Roy mulai mengejar paket untuk melanjutkan sekolahnya. Tidak ada
istilah terlambat untuk meraih sebuah impian. Roy yakin benar kalau bakat baru
berfungsi jika ada ilmu. (*Penulis: Muhammad
Ridho)