Karenamu Ayah, Aku Jadi Sarjana
November 19, 2017
Karenamu ayah, aku jadi
sarjana
- Untuk hari ini matahari telah menyelesaikan tugasnya, terang telah berubah
gelap. Tapi seorang bapak baru saja keluar dari sawah, sedikit mencuci kakinya di saluran
irigasi. Sebelum magrib benar-benar usai ia sudah sampai di rumahnya, bukan
rumah yang mewah dan besar bak istana tapi hanya sekedar rumah panggung yang
beratapkan ijuk.
Satu hal yang jelas dalam hidupnya, semua anak-anaknya harus
mendapatkan pendidikan yang layak, mungkin kalau bisa pendidikan yang terbaik, kuliah di perguruan tinggi.
Pak Dahlan adalah ayah yang terbaik sekaligus menjadi ibu di saat yang di
butuhkan.
Pak Dahlan selalu menasehati 3 anaknya agar tidak menyesal terlahir
miskin, Terlahir miskin tidak apa-apa, tapi mati masih miskin itu sudah
kelewatan bukan hanya sekedar miskin harta tapi juga miskin ilmu.
Bukan hanya memberikan pendidikan formal, pak Dahlan juga
memberikan pendidikan agama, mewajibkan setiap anaknya mengaji seusai
sholat magrib.
Malam semakin larut semua mata sudah terpejam, begitu juga
dengan pak Dahlan berharap semua sakit yang mendera akan hilang bersama dengan
datangnya fajar dan dapat memulai semua aktivitas kembali.
Sadar keluarganya bukan siapa-siapa, Ranil tak berharap lebih
dari ayahnya itu. Sudah sangat bersyukur rasanya, ayahnya dapat menyekolahkan
sampai ke SMA, itu semua sudah lebih dari cukup bagi Ranil. Namun sekarang pendidikan adik-adiknya lebih
penting dipikirkannya.
"Lanjutkan terus sekolahmu, nak" kata pak Dahlan suatu
malam. Ucapan ayahnya itu sontak membuat Ranil kaget
"Kuliah itu perlu biaya yang besar, ayah tidak akan
sanggup" bantah Ranil.
"Insya Allah ayah sanggup" ujar Pak Dahlan seraya
menepuk-nepuk pundak anaknya dan berusaha untuk meyakinkan putra sulungnya itu.
Tak mau anaknya kecewa, pak Dahlan berusaha untuk mencari
pinjaman kesana-sini. Tapi perekonomian semua orang di desa ini sama susahnya.
Tak ada jalan lain, pak Dahlan terpaksa menjual padi yang ada di dalam rumah.
"Kenapa Bapak jual semua padi itu? Besok bapak mau makan
apa? Bapak bisa kelaparan, sementara Bapak harus kerja,” Pertanyaan
bertubi-tubi di lontarkan Ranil pada ayahnya.
"Untuk besok, besok pula pikirkan. Belum tentu juga kita akan
hidup sampai besok" ucap pak Dahlan berkilah santai.
Alamdulillah, ternyata uang hasil penjualaan padi itu cukup
untuk membiayai keberangkatan ke kota dan uang masuk kuliah anaknya. Pak Dahlan
merasa lega kendatipun entah apa yang bakal dialaminya setelah menjalani
hari-hari berikutnya untuk membiayai perkuliahan Ranil.
Tak terasa waktu berjalan begitu cepat. Setelah empat tahun
mengikuti pendidikan di perguruan tinggi, Ranil akhirnya berhasil meraih gelar
sarjana. Hari itu Ranil di wisuda dan berhak menyandang gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd) di belakang
namanya. Ranil , S.Pd.
Karenamu Ayah, aku jadi sarjana. Ranil tak henti-hentinya
bersyukur kepada Allah. Berterima kasih pada ayahnya dan juga kepada dua orang
adiknya yang masih di bangku sekolah.
Ranil pun akhirnya diterima menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN), menjadi seorang guru di sekolah tempat
kelahirannya. Alangkah bahagianya Ranil, S.Pd yang kini dipanggil pak guru oleh
murid-muridnya di sekolah.
Simak juga : Ketika Mimpi Itu Jadi Kenyataan
Bagi Ranil, kini waktunya untuk meringankan beban
orangtuanya. Membahagiakan ayah dan adik-adiknya. Dan seketika, kehidupan memberikan
kebahagiaan kepada Ranil, Ayah dan adik-adiknya. (*Kiriman : Sara Ayusti)
*) Sara Ayusti, Pelajar
SMPN 2 Lintau Buo, Kab. Tanah Datar, Sumbar.