Pengabdian Sang Guru Baru
November 25, 2017
Pengabdian sang guru
baru - Tawa terdengar
jelas dari ruangan yang sudah lebih dari 15 menit yang lalu aku duduki. Aku hanya
bisa diam di tempat dudukku sambil terus menatapi murid yang sama sekali tak
menghiraukanku. Semua yang aku bicarakan sia-sia tak ada yang mendengarkanku di
sini.
Hatiku terasa sangat terkoyak. Ini pengalaman pertamaku
menjadi seorang guru. Harusnya ini menjadi hal yang sangat menyenangkan.
Tapi pada kenyataannya tidak, sama sekali.
Hingga seorang siswi berpenampilan kumuh tanpa sepatu berdiri
dan berteriak untuk menyuruh teman-temannya untuk diam.
"Sekarang ibuk bisa mulai pelajaran" ujar anak itu, tanpa
nada sopan sedikit pun. Inilah resiko yang harus ditanggung seorang guru
pedalaman. Dan itu juga yang harus aku tanggung. Aku seorang guru muda yang
mengabdi untuk pelosok di tanah air.
"Trimakasih, perkenalkan nama saya, Sintia. Kalian bisa
memanggil saya bu guru, dan besok kalian harus memakai sepatu dan berpenampilan
rapi" ujarku dengan nada tegas.
Anak-anak disini benar-benar menguji kesabaranku menjadi seorang guru
baru di daerah mereka.
Hari kedua, aku mengajar di tempat ini tetap sama. Meraka
benar-benar menguji semua kesabaranku sebagai seorang pengabdi di daerah
meraka. Tapi seketika aku ingat akan pesan orangtuaku.
"Ingat yang kamu hadapi itu anak manusia, mereka punya hati
dan perasaan tidak bisa seperti apa yang kamu mau. Sesekali dengarkanlah
mereka, mereka pasti bosan mendengarkan tapi mereka juga ingin didengarkan"
Kata-kata orangtuaku membuat aku mengurungkan niat untuk
berhenti menjadi seorang pengabdi, di tanah air. Cara terbaik untuk mendengar
isi hati anak-anak itu adalah melalui syair, rangkaian kata-kata indah yang
menjadi puisi.
Perhatianku langsung terpusat pada seorang siswi yang menyuruh
teman-temannya untuk diam kemaren, namanya Afirah.
Kata-katanya memang
sederhana tapi ada setiap makna dalam kata-kata yang ia rangkai menjadi puisi
dan curuhan hatinya, membuatku menjadi kuat untuk terus menjadi pengabdi di daerah
pelosok tanah air.
Meski kayu tak sekuat besi
Meski burung tak bisa berenang
Meski ikan tak bisa terbang
Tapi mereka tetap ada untuk hidupnya.
Aku berharap untuk menjadi seperti mereka.
tumbuh di bawah mentari, di dalam lembah berpasir
tapi hidup untuk semua.
Semua harapanku
Ada padamu guru
Cita-cita ku ada padamu,
Aku bagaikan anak panah
Dan engkau guru adalah penentu nasibku dimasa yang akan datang
Teruslah menjadi pengabdi.
Semuanya memang benar. Mereka butuh didengarkan. Terkadang
menjadi guru itu juga perlu mendengarkan tak selamanya harus didengarkan.
Aku
akan terus menjadi pengabdi, Kartini sudah susah payah untuk memperjuangkan
emansipasi wanita dan sekarang aku harus diam dan menyerah, tidak, aku harus
mengabdi untuk negeri Ini sebagai wujud cintaku untuk INDONESIA.
Simak juga: Karenamu Ayah, Aku Jadi sarjana
Dirgahayu Hari Guru Nasional 2017. (*Kiriman : Sara Ayusti)