Ketika Mimpi Itu Jadi Kenyataan
November 16, 2017
Ketika mimpi itu jadi kenyataan - Dibawah
terpaan sinar rembulan Meliza menatap lepas ke lautan, mengukir senyum
indah di wajahnya. Mengingat kehidupan yang dulu begitu sulit dan sekarang ia
bisa menikmati pendidikan di salah satu fakultas ternama di pulau jawa.
Meliza
menatap jam tanganya sambil terus menunggu kapal yang akan ia tumpangi untuk
sampai ke pulau kalimantan.
Terbayang
saat dua tahun lalu Meliza menerima surat beasiswa untuk kuliah. Satu hal yang
tak dapat di percaya sampai sekarang pun Meliza merasa bahwa ini semua masih
mimpi….
*****
Sadar diriku bukan siapa-siapa aku harus berusaha ekstra keras dari anak-anak
kebanyakan untuk menggapai semua mimpiku, terlahir di daerah perbatasan.
Membuat aku dapat menyaksikan perkembangan pendidikan di negara Malaysia,
membuat aku ingin sekolah disana tapi apa boleh buat, ini semua sudah takdir,
Andai dulu aku lahir beberapa kilometer saja dari gubuk bambu ini, pasti aku bisa
menikmati pendidikan yang lebih baik. Semuanya tak cukup dengan andai-andai.
Hari
ini guru baru akan datang ke sekolah kami, aku harap dia dapat bertahan lama,
soalnya guru yang kemaren-kemaren hanya bertahan beberapa minggu tidak
sampai satu bulan.
Aku
menumpukan semua harapanku padanya. Sudah hampir dua minggu kami libur tak ada
guru yang mengajar, jadi apa boleh buat. Kami anak-anak perbatasan, terurama
aku tidak mengharapkan gedung sekolah bertingkat seperti di ibukota. Tapi cukup dengan adanya guru yang mengajar
di sekolahku, sudah membuat aku bahagia.
Aku
meminta agar orangtuaku membangunkan ku jam lima pagi agar tidak terlambat.
Perkataan ibuku sontak membuat aku kaget, “Jangan terlalu berharap, kita bukan
siapa-siapa, jika kau gagal meraih semua mimpimmu, pasti kau akan kecewa
nantinya, lebih baik kau mulai membantu ibu bekerja di ladang. Sudahlah
berhenti untuk bermimpi, aku tidak bisa membiaya sekolahmu ke tingkat yang
lebih tinggi.”
Mendengar
semua perkataan beliau membuatku ingin menangis sekencang-kencangnya, tapi apa
beloh buat. Untuk beberapa hari kata-kata ibu membuatku putus asa, menyerah
dengan takdir.
Tapi
hari ini, tanpa sengaja aku bertemu dengan guru baru itu, di pasar. Aku belum
mengenal namanya dari daerah mana dia. Aku membantunya untuk belanja hingga aku
dan guru itu mulai akrab, namanya bu Tita, dia sangat cantik dan cerdas
terlihat dari cara bicaranya, sungguh aku ingin seperti dia.
"Meliza,
sejak ibu mengajar di sini ibu tak pernah melihatmu di sekolah" tanya bu
guru Tita padaku.
Sebenarnya
ini pertanyaan yang aku tunggu-tunggu, berharap dia dapat membantuku, untuk
sesaat aku diam aku bingung harus cerita dari mana.
"Sebenarnya
saya sangat ingin sekolah, saya ingin menjadi orang sukses di Jakarta tapi ibu
bilang tidak punya uang untuk melanjutkan pendidikan saya" ucapku menunduk.
"Meliza,
sekarang pemerintah sudah memprioritaskan, pendidikan itu nomor satu, Meliza
tau kenapa?”
Aku
hanya bisa menggeleng
"Karena
masa depan berada di tangan kalian, generasi penerus bangsa, dan untuk itu
semua, pemerintah sudah mempersiapkan beasisiwa bagi siswa miskin tapi
berpreatasi"
Mendengar
semua pernyataan bu guru Tita, aku tetsenyum. Sejak saat itu aku mulai giat
belajar dan… benar saja, aku mendapatkan itu semua.
Aku
sangat berterima kasih pada bu Tita walaupun semenjak aku tamat dari SD aku
belum pernah bertemu dengannya dan sudah ku coba untuk mencarinya di berbagai
media sosial tapi tetap saja aku tak menemukannya dan dia juga tak lagi
mengajar di SD tempat duluh aku pernah berekolah.
******
Dan
akhirnya, kapal yang ditunggu-tunggu Meliza pun datang. Ia akan memberikan
kejutan untuk ibu, ayah dan adik-adiknya. Optimis itu penting, namun semuanya
tergantung seberapa jauh kita percaya. Tapi juga harus di sertai usaha dan kerja
keras, tak cukup dengan modal do'a dan keyakinan. (*Kiriman : Sara Ayusti )
Simak juga : Ajari Aku Cara Belajar
*) Sara Ayusti, Siswi SMPN 2 Lintau Buo, Kab.Tanah Datar, Sumbar