Hidup dalam Penantian
Desember 19, 2017
Hidup
dalam penantian - Tubuh bungkuknya seakan-akan ingin mencium
tanah, itu semua untuk menghidupi anak semata wayangnya. Dulu tangan itu sanggup untuk menggendong
putranya ke Puskesmas terdekat, dulu mata itu kuat untuk bergadang semalaman
menemani putranya yang sakit, dulu kulit itu sanggup menahan hawa dingin dari
angin malam.
Sekarang semua itu tak lagi sama kaki yang dulu
begitu kuat sekarang untuk menopang tubuh tua itu saja tidak sanggup.
Sekarang hidupnya adalah sebuah penantian. Menunggu ajal yang
akan menjemputnya. Entah kenapa setiap kali mendengar tentang kamatian itu
membuatnya selalu merinding dan menangis.
Di dalam sholatnya wanita tua itu, selalu meminta untuk ketika
ajal menjemput ada seseorang di sisinya dan itu adalah anaknya, yang sudah
meninggal waktu kecil. Tapj anak itu selalu ada dalam hati wanita tua itu.
Hari-harinya tetap sama, menjejakan setiap langkahnya di
jalan kecil desa ini, meraup setiap pundi-pundi rupiah yang bisa diraupnya.
Menjajakan setiap dagangannya.Bagi wanita tua itu tak ada kata menyerah,
"pantang pulang sebelum habis, satu detik adalah duit" kata-kata yang
selalu menemani hidup tua wanita itu, dalam perjalan menjual barang dagangannya.
Sebenarnya dia hanya membantu menjualkannya saja. Setiap potong
dari kue yang di jualnya adalah penyambung hidupnya. Baginya hidup itu hari
ini, besok adalah masa depan dan yang lalu adalah masa lalu.
Air mata wanita tua bungkuk itu, selalu membasahi bantalnya jika
mengingat masa bersama putranya walaupun hidup serba berkekurangan mereka
selalu merasa bahagia. Hidup dalam penantian itu yang selalu
dilakukannya.
Lantunan ayat-ayat pada Surat Yasin selalu menemani malam wanita
itu. Wanita yang kerap di panggil, mak Ridah. Lantunan ayat-ayat al Qur’an itu
selalu menggema di hatinya
Lantunan ayat surat Yasin itu datang dari lubuk hati yang
terdalam, mewakili tuhan yang bicara. Lantunan ayat itu untuk mendiang
suaminya, seorang laki-laki yang sangat dicintainya.
Wanginya masih melekat erat di hidung wanita tua itu. Lipatan
demi lipatan dibukanya dengan rapi, itu adalah sarung satu-satunya peninggalan
suaminya. Sarung itu selalu berada di bawah bantalnya.
Entah kenapa, wanita tua itu tak bisa menerima keadaan bahwa
anaknya sudah meninggal dan selalu menungguh kehadirannya. Wanita tua itu
punya dunianya sendiri, dunia yang hanya ada dia dan anaknya.
Berbagai cara telah di lakukan tetangga wanita tua itu untuk
membantunya mengingat bahwa anak yang selalu ditunggunya. Setiap sore wanita
tua itu selalu duduk di depan rumahnya berbincang-bincang dengan tetangga.
"Kenapa selalu menunggu kedatangan putra mak Ridah?"
tanya salah seorang tetangga yang duduk bersama nek Ridah di depan rumah.
"Hhhhh,… saya takut,
kalau saya meninggal saya sendiri, tak ada yang mengenang saya," jelas
wanita tua itu, dengan suara pelan, "ah, emak saya akan selalu mengingat
emak" wanita tua itu hanya tersenyum dan masuk kedalam rumahnya.
"Kasian mak Ridah, bagaimana kalau kita beri tau anaknya
sudah meninggal?" ucap salah seorang tetangganya
"Dia tidak akan percaya,".
Seseorang berlari tergesa-gesa sambil terus memanggil nama Mak
Ridah. Itu tetangga yang kemaren duduk bersama Mak Ridah
"Mak, ada kabar buruk, putra Mak Ridah meninggal, dia
terseret kereta api, mayatnya sudah dikubur dua hari yang lalu" ucapnya
pura-pura panik. Padahal itu hanya sekedar cerita yang dikarang-karang sendiri.
Wanita tua itu hanya diam, tak ada kata-kata yang terucap dari
bibirnya, air matapun tak membasahi wajahnya.
"Tuhan, kini penantianku telah berakhir, putraku yang kutunggu
telah menghadap Engkau, jadikan malam ini malam terakhir aku hidup di dunia.
Aku iklhas jika harus menghadap Engkau, aku iklhas jika tak ada yang
mengenangku nanti" ucap wanita tua itu sambil mengangkat kedua tangannya
selayaknya seseorang yang berdoa.
Simak juga : Ku Sendiri kepanikan Saat hembusan Nafas Terakhirnya
Lantunan ayat-ayat Surat Yasin terucap dari bibirnya Lantun
surat yasin untuk mendiang suami, anaknya dan dia. Ketika ayat terakhir selesai
dibacanya dan seketika penantiannya berakhir.
Kini wanita itu telah menyatu dengan tanah. (Cerpen: Sara Ayusti)