Hidup dalam Penantian

Hidup dalam penantian - Tubuh bungkuknya seakan-akan ingin mencium tanah, itu semua untuk menghidupi anak semata wayangnya.  Dulu tangan itu sanggup untuk menggendong putranya ke Puskesmas terdekat, dulu mata itu kuat untuk bergadang semalaman menemani putranya yang sakit, dulu kulit itu sanggup menahan hawa dingin dari angin malam.

Sekarang semua itu tak lagi sama kaki yang dulu begitu kuat sekarang untuk menopang tubuh tua itu saja tidak sanggup.

Sekarang hidupnya adalah sebuah penantian. Menunggu ajal yang akan menjemputnya. Entah kenapa setiap kali mendengar tentang kamatian itu membuatnya selalu merinding dan menangis.

Di dalam sholatnya wanita tua itu, selalu meminta untuk ketika ajal menjemput ada seseorang di sisinya dan itu adalah anaknya, yang sudah meninggal waktu kecil. Tapj anak itu selalu ada dalam hati wanita tua itu.

Hari-harinya tetap sama, menjejakan setiap  langkahnya di jalan kecil desa ini, meraup setiap pundi-pundi rupiah yang bisa diraupnya. Menjajakan setiap dagangannya.Bagi wanita tua itu tak ada kata menyerah, "pantang pulang sebelum habis, satu detik adalah duit" kata-kata yang selalu menemani hidup tua wanita itu, dalam perjalan menjual barang dagangannya.

Sebenarnya dia hanya membantu menjualkannya saja. Setiap potong dari kue yang di jualnya adalah penyambung hidupnya. Baginya hidup itu hari ini, besok adalah masa depan dan yang lalu adalah masa lalu.

Air mata wanita tua bungkuk itu, selalu membasahi bantalnya jika mengingat masa bersama putranya walaupun hidup serba berkekurangan mereka selalu merasa bahagia. Hidup dalam penantian itu yang selalu dilakukannya. 

Lantunan ayat-ayat pada Surat Yasin selalu menemani malam wanita itu. Wanita yang kerap di panggil, mak Ridah. Lantunan ayat-ayat al Qur’an itu selalu menggema di hatinya

Lantunan ayat surat Yasin itu datang dari lubuk hati yang terdalam, mewakili tuhan yang bicara. Lantunan ayat itu untuk mendiang suaminya, seorang laki-laki yang sangat dicintainya.

Wanginya masih melekat erat di hidung wanita tua itu. Lipatan demi lipatan dibukanya dengan rapi, itu adalah sarung satu-satunya peninggalan suaminya. Sarung itu selalu berada di bawah bantalnya.

Entah kenapa, wanita tua itu tak bisa menerima keadaan bahwa anaknya sudah meninggal dan selalu  menungguh kehadirannya. Wanita tua itu punya dunianya sendiri, dunia yang hanya ada dia dan anaknya.

Berbagai cara telah di lakukan tetangga wanita tua itu untuk membantunya mengingat bahwa anak yang selalu ditunggunya. Setiap sore wanita tua itu selalu duduk di depan rumahnya berbincang-bincang dengan tetangga.

"Kenapa selalu menunggu kedatangan putra mak Ridah?" tanya salah seorang tetangga yang duduk bersama nek Ridah di depan rumah.

 "Hhhhh,… saya takut, kalau saya meninggal saya sendiri, tak ada yang mengenang saya," jelas wanita tua itu, dengan suara pelan, "ah, emak saya akan selalu mengingat emak" wanita tua itu hanya tersenyum dan masuk kedalam rumahnya.

"Kasian mak Ridah, bagaimana kalau kita beri tau anaknya sudah meninggal?" ucap salah seorang tetangganya

"Dia tidak akan percaya,".

Seseorang berlari tergesa-gesa sambil terus memanggil nama Mak Ridah. Itu tetangga yang kemaren duduk bersama Mak Ridah

"Mak, ada kabar buruk, putra Mak Ridah meninggal, dia terseret kereta api, mayatnya sudah dikubur dua hari yang lalu" ucapnya pura-pura panik. Padahal itu hanya sekedar cerita yang dikarang-karang sendiri.

Wanita tua itu hanya diam, tak ada kata-kata yang terucap dari bibirnya, air matapun tak membasahi wajahnya.

"Tuhan, kini penantianku telah berakhir, putraku yang kutunggu telah menghadap Engkau, jadikan malam ini malam terakhir aku hidup di dunia. Aku iklhas jika harus menghadap Engkau, aku iklhas jika tak ada yang mengenangku nanti" ucap wanita tua itu sambil mengangkat kedua tangannya selayaknya seseorang yang berdoa. 
 Simak juga : Ku Sendiri kepanikan Saat hembusan Nafas Terakhirnya

Lantunan ayat-ayat Surat Yasin terucap dari bibirnya Lantun surat yasin untuk mendiang suami, anaknya dan dia. Ketika ayat terakhir selesai dibacanya dan seketika penantiannya berakhir.

Kini wanita itu telah menyatu dengan tanah. (Cerpen: Sara Ayusti)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel