Merenda Hari-hari Sulit
Desember 04, 2017
Merenda hari-hari sulit –
Sudah genap 25 tahun Lina menjadi guru. Seorang guru tanpa embel-embel gelar
dan prediket guru profesional. Namun waktu terasa begitu cepat berlalu. Lina
merasakan seakan-akan baru beberapa tahun belakangan menekuni profesi pahlawan
pembentuk insan cendikia.
Dalam
rentang waktu 25 tahun menjadi guru, ia merasakan lebih banyak sukanya
ketimbang dukanya. Mulai menjadi guru honorer sampai menjadi guru pegawai
negeri sipil.
Bagi
Lina, jadi guru itu menyenangkan. Apakah karena program sertifikasi guru sehingga
gaji guru menjadi naik? Tidak! Sekali lagi tidak. Lina tak pernah mengenyam
gurihnya tunjangan sertifikasi guru. Ia hanya memperoleh gaji reguler sebagai
pegawai negeri guru. Itu pun yang ia terima tidak mencukupi lagi.
Kenapa
tidak menjadi guru sertifikasi? Dari dulu Lina memang berniat tidak akan
menjadi guru sertifikasi. Ia memahami kalau program sertifikasi guru itu bagus
untuk meningkatkan kesejahteraan dan profesionalitas guru. Namun beban tanggung
jawab guru sertifikasi itu luar biasa.
Beban
tanggung jawab luar biasa kepada murid dan pemerintah. Sementara beban tanggung
jawab kepada anak-anaknya yang berjumlah 5 orang justru lebih berat lagi.
Tanggung jawab memerlukan tuntutan. Program
sertifikasi memiliki konsekuensi dan
tantangan yang semakin berat. Tidak hanya dari murid melainkan juga tuntutan
dari atasan dari pengawas yang mewakili pemerintah.
Lina
hanya ingin jadi guru yang baik bagi murid dan anak-anaknya sendiri. Apa yang
dikatakannya kepada murid adalah kata-kata contoh dan tauladan yang sudah
diterapkannya lebih dulu kepada keluarganya.
Murid-murid
Jaman Now memang semakin pintar. Murid akan percaya pada kata guru bila ia melihat
apa yang dikatakan guru itu telah diterapkannya lebih dulu kepada anak-anaknya
di lingkungan keluarga. Murid melihat contoh nyata dari keluarga guru.
Guru
akan digugu dan ditiru oleh murid. Guru digugu karena banyak ilmunya. Guru
banyak membaca dan menulis. Guru ditiru karena apa yang disampaikan guru sesuai
kenyataan dan memang ada buktinya.
Lina
menjadi tentram sebagai guru karena sebagian besar tantangan dari muridnya
sendiri dapat diatasi dengan baik. Ia menjadi guru merdeka dan bebas berkreasi.
Bebas menemukan pendekatan dan metode pembelajaran yang sesuai tuntutan Anak
Jaman Now. Ia banyak waktu untuk belajar dan bereksperimen untuk menghadapi
muridnya tanpa paksaan.
Sebagai
ibu dari 5 anaknya, Lina memiliki waktu cukup untuk memperhatikan anak-anaknya
yang sedang menuntut ilmu di sekolah dan perguruan tinggi. Lina banyak
kesempatan untuk memantau dan memperhatikan perkembangan anak-anaknya sendiri
di rumah.
Namun
di balik semua itu, Lina bagai merenda hari-hari sulit. Resiko dari sikap dan
pendiriannnya sebagai seorang guru dalam mencerdaskan anak bangsa harus
berhadapan dengan kesulitan. Kenapa tidak?
Pendidikan
sekarang butuh uang yang tidak sedikit untuk kelima anaknya bersekolah dan
kuliah di perguruan tinggi. Oleh sebab itu ia harus berpandai-pandai dalam merenda
hari sulitnya untuk membiayai pendidikan anak-anaknya.
Lina
bersyukur, anak-anaknya tau diuntung. Anak-anaknya mengetahui persis kalau mama
dan papanya selalu diredam kesulitan keuangan. Oleh sebab itu anak-anaknya
berperilaku baik dan rajin belajar.
Boleh
dikatakan Lina hanya pusing memikirkan uang sekolah anak-anaknya. Tidak pusing
menghadapi murid apalagi atasan dan pengawas sekolah. Ia juga tidak perlu repot
oleh sikap dan tingkah anak-anaknya sendiri.
Meskipun
berlumur kesulitan secara finansial setiap hari, minggu, bulan dan semester.
Lina tetap optimis. Ia bersama suaminya mampu merenda hari sulit itu mengantarkan
anak-anaknya menjadi sarjana kelak. (Kiriman: Sarah Savitri)