Takdir Mengggerus Rindu
Desember 20, 2017
Takdir
menggerus rindu - Setiap langkahnya terjelas, berlari
menelusuri jalan setapak ke arah rumahnya. Rasa bahagia terus menyelimutinya,
tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Tak sabar rasanya dia menunjukan apa
yang di bawanya kepada sang ayah. Itu secarik kertas yang di bungkus amplop bewarna putih.
"Pak, lihat ini" ucapnya dengan semangat. Kemudian
mengeluarlan secarik kertas dari dalam amplop putih itu dan memberikan pada
bapaknya.
"Apa itu?" tangan sang bapak masih sibuk mengaduk-aduk
nasi goreng yang tak jelas rasanya. Yang penting nasi digoreng pakai cabe,
pakai kecap dan pakai garam. Komposisinya tidak penting, yang penting ada nasi
goreng.
"M-a-a-f.....”
Yoga, belum sempat meneruskan membaca surat itu, bahkan hanya
satu kata yang dibacanya, sang ayah, yang kerap di panggil pak Yusuf itu
langsung mengambil surat itu dan memulai membacanya.
"Baca yang keras, pak" kata Yoga pengin tahu isi surat
itu. Pak Yusuf hanya mengangguk pelan sambil berkata, "Ini surat dari
ibuk"
"Tadi pak pos juga bilang begitu, pak" kata Yoga.
maaf,
untuk bulan ini ibuk tak bisa pulang
mungkin bulan depan ibuk baru bisa
yoga, ibuk janji bakalan bawain oleh-oleh yang banyak. Jangan
marah ya sayang.
Yoga langsung menekuk wajahnya.
"Kemaren ibuk janji, pulang bulan ini, dan sekarang ibuk
janji bulan depan, ibuk sudah nggak sayang sama aku, aku benci sama ibuk"
teriak Yoga keras, dan langsung pergi dari hadapan ayahnya.
Langkah kakinya terdengar menapakkan setiap langkah demi langkah
dengan raut wajah kesal. Menendang
apapun yang di depannya.
****
Suara Azan magrib menggema di seluruh penjuru desa. Yoga
menyeret langkahnya pelan,.Sebenarnya hatinya belum ikhlas untuk menampakkan
wajahnya pada ayahnya. Dia ingin melakukan semacam pemberontakan. Siapa tau
dengan cara itu ibu bisa pulang.
"Kenapa jam segini baru pulang?" tanya pak Yusuf.
"Lapangan" jawab Yoga singkat. Dan langsung masuk
tanpa mengucapkan salam.
Cahaya bulan menerpa wajahnya, rasa rindunya benar-benar tak
bisa di sembunyikannya bahkan pada bulan yang di jauh di atas sana.
"Jika ibuk tidak bisa kesini, aku yang akan kesani"
kata-katanya diakhiri dengan senyuman.
****
Cahaya merah menghiasi langit pagi. Sekarang dirinya sudah
berdiri di daratan yang berbeda. Dengan gedung-gedung tinggi yang menjulang ke
langit, seakan-akan membelah langit Jakarta.
"Ibuk, aku datang" teriaknya semangat dalam hati sambil
terus berlari, merentangkan kedua tangannya, membiarkan udara pagi Jakarta
memasuki pori-porinya.
Sekarang bukan waktunya untuk bersenang-senang. Yoga
mengeluarkan secarik kertas yang berisi alamat ibunya.
Sudah banyak orang yang ditanyai Yoga, tapi tak satu pun yang
mengetahuinya. Disini pandangannya terbuka lebar-lebar ketika anak-anak
seusianya harus bekerja, menggunakan baju compang-camping, penuh dengan
tambalan.
Sekarang hatinya tersadar bahwa dia bukanlah satu-satunya orang
didunia ini yang memiliki kehidupan sulit, masih ada yang lebih sulit dari pada
dirinya. Ingin rasanya Yoga menyapanya, tapi ingat dengan tujuan pertamanya
datang ke Jakarta.
****
Sinar merah itu mulai menghilang, kini hanya panas dan terik
matahari yang tersisa. Tapi hal itu tak menghalangi niatnya untuk mencari sang
ibu.
Waktu tak akan terus begini, bumi akan terus mengelilingi
matahari, matahari tak akan pernah mengelilingi bumi. Begitu pun dengan waktu
akan terus berlalu, tak akan pernah berhenti dan menungguh.
Untuk hari ini matahari telah menyelesaikan tugasnya, namun Yoga
belum juga menyelesaikan tugasnya. Sekarang dirinya adalah orang asing di negeri
orang. Angin malam menusuk-nusuk kulit, hawa dingin tak bisa untuk di
sembunyikan.
Sebuah kesalahan besar telah dilakukannya. Harusnya dia belajar
untuk menjadi orang sabar, dan melihat ke bawah, saatnya membuka mata
lebar-lebar, bukan hanya terus meratapi.
****
Di bawah sebuah pohon besar pak Yusuf bersandar, sekarang semua
perasaannya campur aduk, mengingat semua kesalahan yang dilakukannya. Membiarkan
sang istri mengadu nasib ke Jakarta.
Hal itu tentu membuat Yoga anak semata wayangnya merasa sedih,
dia butuh sosok seorang ibu. Berita hilangnya Yoga, sudah sampai pada ibunya,
melalui surat yang dikirim oleh pak Yusuf.
***
Sekarang diri Yoga adalah seorang pemulung di sini, sudah tak
ada harapan untuk bisa berkumpul dengan orangtuanya. Sekarang wanita yang
selama ini dirindukan Yoga sudah berhenti bekerja di Jakarta dan memilih untuk
menjadi seorang petani seperti kebanyakan orang di desa..
Sekarang kehidupan Yoga sudah benar-benar berubah, ia hidup
sendiri, tapi masih dengan rasa rindu yang mengikat.
Dibesarkan oleh jalanan membuat Yoga tumbuh menjadi pribadi yang
keras. Terkadang rasa rindu juga kerap menghampirinya. Itulah yang mendesaknya
untuk kembali ke kampung halaman. Berjumpa dengan bapak dan ibnya.
Dengn menaiki kuda besi, Yoga sampai di rumahnya. rumah yang
masih terlihat sama tak ada yang berubah dari rumah itu.
Dilihatnya sepasang anak laki dan perempuan sedang asik berlari
mengelilingi rumah. Hati Yoga bertanya-tanya, apa itu adiknya? Seseorang
tiba-tiba keluar dari rumah itu. Menatap
Yoga dengan tatapan mengingat. Sementara hati Yoga bertanya-tanya, apa itu
ibunya?
Orang itu datang menghampirinya.
“Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita itu, sepertinya dia
tak mengingat Yoga.
"Tidak, hanya numpang lewat, buk" sahut Yoga Wanita
tua itu mengangguk pelan.
Entah kenapa, hatinya terasa sakit ketika wanita tadi bertanya.
Yoga merasa dirinya sudah tak ada lagi di hati wanita itu. Yoga membalikkan
tubuh dan berlalu. Sama seperti dulu Yoga menendang apapun yang ada di hadapannya.
“Yoga!” Seseorang memanggil namanya. Suara yang tak asing lagi
bagi Yoga. Oleh sebab itu ia menoleh ke arah suara itu dan bergegas menghampirinya.
"Bapak!!!" seru Yoga sambil memeluk ayahnya.
"Kamu sehat, nak? Kamu masih ingat bapak?"
"Aku masih ingat bapak, aku sehat, pak" sahut
Yoga.
"Ayo kita pulang, temui ibu dan kedua adikmu, namanya Yura
dan Yudi.“
Yoga hanya tersenyum pelan, sambil berkata,
"Tadi aku sudah menemui mereka, bapak. Mereka sedang asyik bermain, dan aku juga
sudah menemui ibuk. Sekarang aku mau balik ke Jakarta. Di sana aku sudah kerja,
aku ada sesuatu untuk bapak" kata Yoga
mengeluarkan amplop putih, persis seperti yang dulu di terimanya dari tukang
pos. Kemudian Yoga berlalu.
Laki-laki tua itu hanya diam, sebenarnya hatinya belum ikhlas
untuk melihat putranya, pergi untuk yang kedua kalinya ke Jakarta.
"Buk, tadi bapak bertemu Yoga, dia memberikan
ini" kata pak Yusuf sampai di rumah.
"Apa ini, pak" tanya istrinya penesaran.
"Bapak, tidak tau" jawab pak Yusuf. Dan, setelah
dibuka ternyata amplop itu berisi uang, uang yang cukup banyak.
"Tadi ada orang berdiri lama, di depan rumah kita, dia
bilang cuma mau numpang lewat" jelas wanita itu
"Itu pasti Yoga, buk. Bapak rasa dia sedih karna ibuk tidak
mengingatnya lagi sehingga ia berbalik arah. Tadi bapak lihat sepanjang jalan
dia menendang apapun yang ada di depannya" jelas pak Yusuf sedih.
Terlihat raut wajah sedih dari kedua orang tua itu. Mungkin
memang ini sudah menjadi takdir putranya, sudah suratan takdir dari yang maha
esa. Hidup sendiri di negeri orang telah membuat putra mereka tumbuh mandiri.
Baca juga : Hidup dalam Penantian
Penyesalan jelas tak berguna. Mereka akan terus digerus oleh
rindu. Hubungan darah antara orangtua
dan anak, tak akan putus oleh gunting walaupun gunting itu dapat membelah
samudra sekalipun. (Kiriman Cerpen : Sara
Ayusti)