Takdir Mengggerus Rindu

Takdir menggerus rindu - Setiap langkahnya terjelas, berlari menelusuri jalan setapak ke arah rumahnya. Rasa bahagia terus menyelimutinya, tak bisa di ungkapkan dengan kata-kata. Tak sabar rasanya dia menunjukan apa yang di bawanya kepada sang ayah. Itu secarik kertas yang di bungkus amplop bewarna putih.

"Pak, lihat ini" ucapnya dengan semangat. Kemudian mengeluarlan secarik kertas dari dalam amplop putih itu dan memberikan pada bapaknya.

"Apa itu?" tangan sang bapak masih sibuk mengaduk-aduk nasi goreng yang tak jelas rasanya. Yang penting nasi digoreng pakai cabe, pakai kecap dan pakai garam. Komposisinya tidak penting, yang penting ada nasi goreng.

"M-a-a-f.....”

Yoga, belum sempat meneruskan membaca surat itu, bahkan hanya satu kata yang dibacanya, sang ayah, yang kerap di panggil pak Yusuf itu langsung mengambil surat itu dan memulai membacanya.

"Baca yang keras, pak" kata Yoga pengin tahu isi surat itu. Pak Yusuf hanya mengangguk pelan sambil berkata, "Ini surat dari ibuk"

"Tadi pak pos juga bilang begitu, pak" kata Yoga.

maaf,
untuk bulan ini ibuk tak bisa pulang 
mungkin bulan depan ibuk baru bisa 
yoga, ibuk janji bakalan bawain oleh-oleh yang banyak. Jangan marah ya sayang.

Yoga langsung menekuk wajahnya. 
"Kemaren ibuk janji, pulang bulan ini, dan sekarang ibuk janji bulan depan, ibuk sudah nggak sayang sama aku, aku benci sama ibuk" teriak Yoga keras, dan langsung pergi dari hadapan ayahnya.

Langkah kakinya terdengar menapakkan setiap langkah demi langkah dengan raut wajah kesal.  Menendang apapun yang di depannya. 

****

Suara Azan magrib menggema di seluruh penjuru desa. Yoga menyeret langkahnya pelan,.Sebenarnya hatinya belum ikhlas untuk menampakkan wajahnya pada ayahnya. Dia ingin melakukan semacam pemberontakan. Siapa tau dengan cara itu ibu bisa pulang.

"Kenapa jam segini baru pulang?" tanya pak Yusuf.

"Lapangan" jawab Yoga singkat. Dan langsung masuk  tanpa mengucapkan salam.

Cahaya bulan menerpa wajahnya, rasa rindunya benar-benar tak bisa di sembunyikannya bahkan pada bulan yang di jauh di atas sana.

"Jika ibuk tidak bisa kesini, aku yang akan kesani" kata-katanya diakhiri dengan senyuman.

****

Cahaya merah menghiasi langit pagi. Sekarang dirinya sudah berdiri di daratan yang berbeda. Dengan gedung-gedung tinggi yang menjulang ke langit, seakan-akan membelah langit Jakarta.

"Ibuk, aku datang" teriaknya semangat dalam hati sambil terus berlari, merentangkan kedua tangannya, membiarkan udara pagi Jakarta memasuki pori-porinya. 

Sekarang bukan waktunya untuk bersenang-senang. Yoga mengeluarkan secarik kertas yang berisi alamat ibunya.

Sudah banyak orang yang ditanyai Yoga, tapi tak satu pun yang mengetahuinya. Disini pandangannya terbuka lebar-lebar ketika anak-anak seusianya harus bekerja, menggunakan baju compang-camping, penuh dengan tambalan.

Sekarang hatinya tersadar bahwa dia bukanlah satu-satunya orang didunia ini yang memiliki kehidupan sulit, masih ada yang lebih sulit dari pada dirinya. Ingin rasanya Yoga menyapanya, tapi ingat dengan tujuan pertamanya datang ke Jakarta.

****

Sinar merah itu mulai menghilang, kini hanya panas dan terik matahari yang tersisa. Tapi hal itu tak menghalangi niatnya untuk mencari sang ibu. 

Waktu tak akan terus begini, bumi akan terus mengelilingi matahari, matahari tak akan pernah mengelilingi bumi. Begitu pun dengan waktu akan terus berlalu, tak akan pernah berhenti dan menungguh.

Untuk hari ini matahari telah menyelesaikan tugasnya, namun Yoga belum juga menyelesaikan tugasnya. Sekarang dirinya adalah orang asing di negeri orang. Angin malam menusuk-nusuk kulit, hawa dingin tak bisa untuk di sembunyikan.

Sebuah kesalahan besar telah dilakukannya. Harusnya dia belajar untuk menjadi orang sabar, dan melihat ke bawah, saatnya membuka mata lebar-lebar, bukan hanya terus meratapi.

****
Di bawah sebuah pohon besar pak Yusuf bersandar, sekarang semua perasaannya campur aduk, mengingat semua kesalahan yang dilakukannya. Membiarkan sang istri mengadu nasib ke Jakarta.

Hal itu tentu membuat Yoga anak semata wayangnya merasa sedih, dia butuh sosok seorang ibu. Berita hilangnya Yoga, sudah sampai pada ibunya, melalui surat yang dikirim oleh pak Yusuf.

***

Sekarang diri Yoga adalah seorang pemulung di sini, sudah tak ada harapan untuk bisa berkumpul dengan orangtuanya. Sekarang wanita yang selama ini dirindukan Yoga sudah berhenti bekerja di Jakarta dan memilih untuk menjadi seorang petani seperti kebanyakan orang di desa..

Sekarang kehidupan Yoga sudah benar-benar berubah, ia hidup sendiri, tapi masih dengan rasa rindu yang mengikat.

Dibesarkan oleh jalanan membuat Yoga tumbuh menjadi pribadi yang keras. Terkadang rasa rindu juga kerap menghampirinya. Itulah yang mendesaknya untuk kembali ke kampung halaman. Berjumpa dengan bapak dan ibnya.

Dengn menaiki kuda besi, Yoga sampai di rumahnya. rumah yang masih terlihat sama tak ada yang berubah dari rumah itu.

Dilihatnya sepasang anak laki dan perempuan sedang asik berlari mengelilingi rumah. Hati Yoga bertanya-tanya, apa itu adiknya? Seseorang tiba-tiba  keluar dari rumah itu. Menatap Yoga dengan tatapan mengingat. Sementara hati Yoga bertanya-tanya, apa itu ibunya?

Orang itu datang menghampirinya.

“Maaf, cari siapa, ya?" tanya wanita itu, sepertinya dia tak mengingat Yoga.

"Tidak, hanya numpang lewat, buk" sahut Yoga Wanita tua itu mengangguk pelan.

Entah kenapa, hatinya terasa sakit ketika wanita tadi bertanya. Yoga merasa dirinya sudah tak ada lagi di hati wanita itu. Yoga membalikkan tubuh dan berlalu. Sama seperti dulu Yoga menendang apapun yang ada di hadapannya.

“Yoga!” Seseorang memanggil namanya. Suara yang tak asing lagi bagi Yoga. Oleh sebab itu ia menoleh ke arah suara itu dan bergegas menghampirinya.

"Bapak!!!" seru Yoga sambil memeluk ayahnya.

"Kamu sehat, nak? Kamu masih ingat bapak?"

"Aku masih ingat bapak, aku sehat, pak" sahut Yoga.

"Ayo kita pulang, temui ibu dan kedua adikmu, namanya Yura dan Yudi.“

Yoga hanya tersenyum pelan, sambil berkata,  

"Tadi aku sudah menemui mereka, bapak.  Mereka sedang asyik bermain, dan aku juga sudah menemui ibuk. Sekarang aku mau balik ke Jakarta. Di sana aku sudah kerja, aku ada sesuatu untuk bapak"  kata Yoga mengeluarkan amplop putih, persis seperti yang dulu di terimanya dari tukang pos. Kemudian Yoga berlalu.

Laki-laki tua itu hanya diam, sebenarnya hatinya belum ikhlas untuk melihat putranya, pergi untuk yang kedua kalinya ke Jakarta.

"Buk, tadi bapak bertemu Yoga, dia memberikan ini" kata pak Yusuf sampai di rumah.

"Apa ini, pak" tanya istrinya penesaran.

"Bapak, tidak tau" jawab pak Yusuf. Dan, setelah dibuka ternyata amplop itu berisi uang, uang yang cukup banyak.

"Tadi ada orang berdiri lama, di depan rumah kita, dia bilang cuma mau numpang lewat" jelas wanita itu

"Itu pasti Yoga, buk. Bapak rasa dia sedih karna ibuk tidak mengingatnya lagi sehingga ia berbalik arah. Tadi bapak lihat sepanjang jalan dia menendang apapun yang ada di depannya" jelas pak Yusuf sedih.

Terlihat  raut wajah sedih dari kedua orang tua itu. Mungkin memang ini sudah menjadi takdir putranya, sudah suratan takdir dari yang maha esa. Hidup sendiri di negeri orang telah membuat putra mereka tumbuh mandiri.
 Baca juga : Hidup dalam Penantian

Penyesalan jelas tak berguna. Mereka akan terus digerus oleh rindu.  Hubungan darah antara orangtua dan anak, tak akan putus oleh gunting walaupun gunting itu dapat membelah samudra sekalipun. (Kiriman Cerpen : Sara Ayusti)

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel