Di Terminal Dobok Batusangkar
April 10, 2018
Sebuah angkutan pedesaan memasuki terminal Dobok. Menurunkan beberapa orang penumpangnya, kemudian berlalu keluar terminal kembali. Salah seorang di antaranya lelaki mengenakan kaos oblong dengan stelan jeans usang.
Sebuah ransel pakaian tersandang di bahu kanannya. Ia barusan dari rumah temannya di sebuah negeri di Kecamatan Padang Ganting. Sudah tiga hari ia berada di rumah temannya dalam rangka takziah. Teman kuliah dan satu tempat kost di kota Padang.
Alizar,
lekasi muda itu nampak nyengir kepanasan ditimpa terik matahari menjelang sore.
Ia nampak kebingungan. Baru kali ini ia singgah di terminal kota budaya ini.
Wajahnya
yang ditumbuhi jerawat mulai memerah diterpa sinar matahari. Alizar mencari-cari
tempat berlindung. Ia duduk di bangku kayu di depan loket pembelian tiket Bangku kayu memanjang yang sengaja disediakan
petugas loket sebuah perusahaan angkutan umum di terminal Dobok Batusangkar.
Area
terminal memang tidak terlalu luas. Namun demikian kendaraan dan orang-orang
yang bersiliweran di dalam terminal, tidak begitu ramai.
Sesekali
ia mengedarkan pandangan ke sekitar area terminal. Mencari-cari mobil angkutan untuk
melanjutkan perjalanan pulang ke negerinya di Sumani.
“Ha,
itu dia!” Alizar bergumam.
Spontan
Alizar bangkit dan menuju angkutan berwarna merah dan putih tersebut.
“Solok
Solok Solok…” teriak agen terminal mencari calon penumpang yang akan ke kota
Solok.
“Solok…”
seru Alizar.
‘Ya,
Solok naik….”
Alizar
naik dan masuk ke dalam mobil angkutan. Sejenak melirik tempat yang masih
tersedia untuknya. Lantas menempati bangku persis di sebelah seorang perempuan.
Tanpa melirik kesana kemari, Alizar meletakkan ransel pakaian di pangkuannya.
Sekadar
iseng, Alizar menoleh ke arah perempaun yang duduk di sebelah kanannya. Sekilas
ia menilik perempuan ini kira-kira seusia dengannya. Sepertinya wanita ini
sudah bekerja.
“Mau
ke Solok juga, buk?” Alizar bertanya dengan sapaan. Sekadar mengusir kesepian
hatinya.
“Iya,
Uda juga?” Wanita itu balik bertanya.
“Nggak
sampai kesana, Sumani.”
“Oh,
Sumani. Saya hanya sampai di Kacang,”
“Kerja
apa, buk?” tanya Alizar kemudian.
“Guru,”
“Oh..,”
“Uda?”
“Kuliah.
Calon guru juga, hehehe..Hm, kalau boleh saya panggil siapa ke ibuk?”
“Yunita…,
panggil saja Yuni,” ujar Yunita.
“Saya,
Alizar…biasa dipanggil Ali…”balas Alizar tanpa diminta.
Angkutan
umum yang berusia lanjut itu segera berangkat meninggalkan Terminal Dobok
Batusangkar.
Tak
begitu lama, bus ukuran tiga perempat itu sudah sampai di Ombilin. Kemudian
menikung ke kiri menuju Solok. Alizar menoleh ke luar jendela kaca bus.
Menyaksikan indahnya pemandangan danau Singkarak di sore hari.
Sesekali
Alizar mencuri pandang dengan berpura-pura menengok birunya air Danau
Singkarak. Sebaliknya, Yunita merasa risih. Gadis itu dapat merasakankalau
dirinya dipandang oleh lelaki yang baru dikenalnya itu.
Tanpa
terasa Yunita sudah sampai di tujuannya. Ia turun dan kendaraan yang membawa
Alizar terus berliku-liku menyusuri pinggiran danau Singkarak.
*****
Kebetulan
masa liburan semester sehingga Alizar dapat berkunjung ke rumah tempat kost
Yunita. Tak begitu rumit bagi Alizar untuk mencari tempat kost Yunita. Sore itu
ia telah sampai di tempat kostnya. Kebetulan Yunita sudah pulang bertugas.
Mereka
bercengkrama dengan leluasa di ruang tamu tempat Yunita kost. Begitu lancar, kata-kata
mengalir dengan pelan bagai air pegunungan. Sejuk dan nyaman. Saling bercerita
tentang diri masing-masing. Entah kenapa mereka begitu cepat akrab dan saling
membuka diri, membuka hati.
Di
hari terakhir libur semeteran di kampung, Alizar mampir kembali ke rumah kost
Yunita. Alizar ingin berterus terang tentang perasaannya kepada Yunita.
Ternyata Yunita membalas isi hatinya.
Ketika
sampai di kota Padang, Alizar menulis surat untuk Yunita. Surat pertama yang ia
tulis untuk gadis yang telah membetot sukmanya. Seminggu kemudian surat
balasannya datang.
Semangat
Alizar kembali bangkit karena Yunita juga merasakan apa yang ia rasakan.
Begitulah, mereka saling kirim surat bila rasa kangen itu datang. Alizar ingin
cepat menyelesaikan kuliahnya. Kalau bisa waktu ini bisa disetel seperti
menyetel jam dinding.
Cepat
selesai kuliah berarti cepat pula untuk bersanding di pelaminan dengan sang
pujaan hati. Angan-angan Alizar semakin melambung tinggi di awan biru.
*****
Hari
demi hari berlalu begitu cepat terasa. Jarak yang memisahkan antara Alizar dan
Yunita bukan menjadi hambatan dalam jalinan kasih mereka. Surat menjadi
penyambung rasa antara mereka berdua.
Akan
tetapi, surat terakhir yang ditulis Alizar tidak kunjung dibalas oleh Yunita.
Ini membuat hati Alizar semakin was was. Apa gerangan yang terjadi dengan
Yunita? Hal ini telah mendorong Alizar untuk datang menjumpai Yunita ke rumah
orangtuanya di hari Minggu itu.
Kini,
Alizar sudah sampai di Terminal Dobok dengan menaiki bus Antar Kota Salam
Provinsi. Sejenak ia beristirahat di ruang tunggu terminal sambil menunggu
angkutan kota yang hendak menuju desanya Yunita.
“Uda temannya kak Yunita, bukan?”
Seorang
gadis kecil penjaja minuman bertanya menyapa. Alizar menoleh ke arah penjual
minuman itu. Rasanya Alizar mengenal gadis kecil itu. Ia ingat, gadis itu
adalah tetangga Yunita.
“Betul,
Dik. Kamu tetangganya kak Yunita, bukan?” Sahut Alizar balik bertanya.
“Iya,
kak…Kakak pasti mau ke rumah kak Yunita” tebak gadis itu.
“Iya.
Rencana Uda memang mau ke rumah kak Yunita,”
“Hm,
sebaiknya Uda jangan ke rumah kak Yunita sekarang!”
Alizar
terperangah. Penasaran mendengar ucapan gadis penjaja minuman itu.
“Kenapa
begitu, dik?” tanya Alizar kemudian.
“Kak
Yunita berpesan, kalau bertemu dengan Uda di terminal ini, bilang jangan datang
ke rumahnya,” kata gadis kecil itu semakin membuat hati Alizar diliputi rasa
penasaran dan galau.
“Dik,
tolong katakan, ada apa dengan kak Yunita?” desak Alizar.
“Jadi,
Uda belum tau, ya?”
Alizar
menggeleng.
“Kak
Yunita akan menikah…”
Alizar
tersedak. Kepalanya terasa berat dan tertekur ke lantai. Lidahnya terasa kelu. Jantungnya
seakan berhenti berdenyut. Sulit mempercayai ucapan gadis kecil di depannya
ini.
Alizar
berusaha mengangkat kepalanya yang terasa semakin berat.
“Benarkah
begitu, Dik?”
Gadis
kecil itu mengangguk. “Permisi Uda, saya mau jualan dulu,” ujar gadis itu
meninggalkan Alizar.
Alizar
melangkah lesu. Melangkah ke bangku panjang di depan loket penumpang yang
pernah ditempatinya saat pertama kali ke terminal ini enam bulan lalu.
Kini
Alizar jadi tahu jawabannya. Pantasan surat terakhirnya dua minggu lalu, tak
pernah dibalas Yunita.
“Uda,
maafkan Yunita ya…,” Sebuah suara terdengar lamat-lamat di telinga Alizar.
Alizar hafal betul si pemilik suara itu.
Alizar
mengangkat wajah. Yunita telah berdiri di depan Alizar.
“Yuni…”
suara Alizar terdengar berdesis seraya berdiri. Menatap wajah Yunita dengan
mata kuyu..
“Uda,
maafkan Yuni, ya?. Uda janganlah marah, karena semua ini sudah nasib kita
berpisah. Mungkin kita tak berjodoh, Uda...” Suara Yunita terdengar serak
menahan rasa yang sulit diungkapkan pada lelaki di hadapannya. Lelaki yang
diyakini hatinya terluka menghadapi kenyataan ini.
“Yuni,
selamat ya?” kata Alizar seraya menyodorkan tangan menyalami Yunita. Meskipun
berat, Yunita mencoba menyambut uluran tangan Alizar. Yunita tak dapat menahan
air matanya.
Ingin
Alizar menyapunya biar tak lagi membasahi pipinya. Namun Alizar merasa tak
berhak lagi melakukan itu. Semuanya sudah berakhir.
Setelah
itu Alizar berbalik dan meninggalkan Yunita yang masih terpaku di tempatnya.
Membawa hati dan pikiran yang galau. Ia melangkah ke luar arena terminal Dobok.
Di
terminal Dobok ini pertama kali Alizar berjumpa dengan Yunita. Ternyata di terminal
ini pula semuanya harus berakhir.***