Semua Sudah Menjadi Guratan Takdir
Juni 29, 2018
Bagaimana
pun pandangan tetangga sekeliling, mas Yuda tetaplah suamiku. Pria yang telah
menikahiku 30 tahun silam dan memberikan tiga orang anak kepadaku. Sebagai kepala
keluarga, mas Yuda akhir-akhir ini sering mendapat gunjingan dari tetangga
sekitarnya.
Perbedaan
usia yang mencolok. Status pendidikan mas Yuda yang tidak tamat sekolah dasar.
Tidak membuat aku surut untuk menerima mas Yuda. Yang penting bagiku waktu itu
kedua orangtuaku menerima mas Yuda.
Lagi
pula mas Yuda sudah mapan dalam ekonomi. Mas Yuda berusaha sebagai pedagang
rempah-rempah yang sukses. Aku pikir cocok dengan profesiku sebagai pegawai
negeri dengan bekal ijazah SMP.
“Mas,
aku menerimamu apa adanya meskipun usia kita jauh beda,” Begitu kataku usai
menikah dengan mas Yuda.
“Apa
kamu tidak akan merasa malu karena aku tidak tamat SD, Yati?” tanya mas Yuda
ragu-ragu.
“Tidak
mas. Yang penting bagiku, mas mampu menjalankan tugas sebagai kepala keluarga.”
Sahutku meyakinkan mas Yuda.
*****
Kini,
setelah tiga puluh tahun berlalu. Aku
tak pernah membayangkan bakal mengalami kenyataan hidup seperti sekarang ini.
Mas Yuda nampak semakin tua. Sejak berhenti menjadi pedagang rempah-rempah, mas
Yuda tidak memiliki pekerjaan tetap. Apalagi kondisi tubuh mas Yuda semakin
menurun. Tidak mampu lagi bekerja keras.
Mas
Yuda bekerja apa saja untuk membantu kehidupan keluarga. Kadang-kadang menjadi
buruh tani. Di saat lain mas Yuda menyadap karet milik orang lain dan menerima
persenan.
Mas
Yuda lebih banyak di rumah. Apalagi pekerjaan sebagaimana tinggal di pedesaan
semakin sepi.
Kadang-kadang
aku kasihan juga dengan mas Yuda. Ketika hendak berangkat kerja, mas Yuda
pura-pura sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak perlu dikerjakan. Padahal, penghasilanku
sebagai pegawai negeri kantoran tidak mencukupi.
*****
Aku
tak menyalahkan gunjingan tetangga sekeliling. Hampir semua tetangga memiliki
anak berpendidikan tinggi, menjadi sarjana. Padahal tetangga di sekitar
lingkunganku kebanyak hanya seorang petani karet.
Ketika
berkumpul dengan ibu-ibu yang bekerja di dapur dalam persiapan perhelatan
tetangga, aku sering merasa risih. Mereka sering bercerita tentang sekolah dan
pendidikan anak. Tentang anak-anak
mereka yang sukses dan berumah tangga.
Sementara
anakku sendiri? Aku hanya mengurut dada. Menarik nafas berat mengingat nasib
anak-anaku. Dua orang anakku putus sekolah di sekolah kejuruan karena tidak
naik kelas. Seorang lagi memang telah menamatkan sekolah kejuruan namun kini
merantau ke kota lain dan jarang pulang.
Aku
tak menyesal kalau anak-anakku putus sekolah. Anak-anakku memang malas belajar
selama bersekolah. Padahal aku telah berusaha untuk membiayainya dengan baik
agar ia rajin belajar. Tetapi hal itu tak meresap ke dalam hati anak-anakku.
*****
Kini,
aku juga menyadari kalau pendidikan itu penting bagi anak. Dengan pendidikan
yang memadai akan membuat anak menjalani hidupnya lebih kreatif dan layak. Memiliki
semangat untuk mencari pekerjaan yang layak dan menjalani kehidupan yang lebih
baik. Dan itu sudah aku lihat sendiri
anak-anak tetangga yang sudah sukses.
Simak juga : Orang Paling Kaya di Dunia
Namun
demikian tak mungkin aku menyesali kenyataan hidup ini. Semua sudah guratan
takdir dari yang maha Kuasa. Jika anak-anaku gagal dalam pendidikan. Mungkin
cucu-cucuku akan mampu menebus kenyataan ini dengan meneruskan pendidikannya
setinggi mungkin. (*Kiriman : Purwadi, Jambi)