Semua Sudah Menjadi Guratan Takdir

Bagaimana pun pandangan tetangga sekeliling, mas Yuda tetaplah suamiku. Pria yang telah menikahiku 30 tahun silam dan memberikan tiga orang anak kepadaku. Sebagai kepala keluarga, mas Yuda akhir-akhir ini sering mendapat gunjingan dari tetangga sekitarnya.

Perbedaan usia yang mencolok. Status pendidikan mas Yuda yang tidak tamat sekolah dasar. Tidak membuat aku surut untuk menerima mas Yuda. Yang penting bagiku waktu itu kedua orangtuaku menerima mas Yuda.  

Lagi pula mas Yuda sudah mapan dalam ekonomi. Mas Yuda berusaha sebagai pedagang rempah-rempah yang sukses. Aku pikir cocok dengan profesiku sebagai pegawai negeri dengan bekal ijazah SMP.

“Mas, aku menerimamu apa adanya meskipun usia kita jauh beda,” Begitu kataku usai menikah dengan mas Yuda.

“Apa kamu tidak akan merasa malu karena aku tidak tamat SD, Yati?” tanya mas Yuda ragu-ragu.

“Tidak mas. Yang penting bagiku, mas mampu menjalankan tugas sebagai kepala keluarga.” Sahutku meyakinkan mas Yuda.

*****

Kini, setelah tiga puluh tahun berlalu.  Aku tak pernah membayangkan bakal mengalami kenyataan hidup seperti sekarang ini. Mas Yuda nampak semakin tua. Sejak berhenti menjadi pedagang rempah-rempah, mas Yuda tidak memiliki pekerjaan tetap. Apalagi kondisi tubuh mas Yuda semakin menurun. Tidak mampu lagi bekerja keras.

Mas Yuda bekerja apa saja untuk membantu kehidupan keluarga. Kadang-kadang menjadi buruh tani. Di saat lain mas Yuda menyadap karet milik orang lain dan menerima persenan.

Mas Yuda lebih banyak di rumah. Apalagi pekerjaan sebagaimana tinggal di pedesaan semakin sepi.

Kadang-kadang aku kasihan juga dengan mas Yuda. Ketika hendak berangkat kerja, mas Yuda pura-pura sibuk mengerjakan sesuatu yang tidak perlu dikerjakan. Padahal, penghasilanku sebagai pegawai negeri kantoran tidak mencukupi.

*****

Aku tak menyalahkan gunjingan tetangga sekeliling. Hampir semua tetangga memiliki anak berpendidikan tinggi, menjadi sarjana. Padahal tetangga di sekitar lingkunganku kebanyak hanya seorang petani karet.

Ketika berkumpul dengan ibu-ibu yang bekerja di dapur dalam persiapan perhelatan tetangga, aku sering merasa risih. Mereka sering bercerita tentang sekolah dan pendidikan anak.  Tentang anak-anak mereka yang sukses dan  berumah tangga.

Sementara anakku sendiri? Aku hanya mengurut dada. Menarik nafas berat mengingat nasib anak-anaku. Dua orang anakku putus sekolah di sekolah kejuruan karena tidak naik kelas. Seorang lagi memang telah menamatkan sekolah kejuruan namun kini merantau ke kota lain dan jarang pulang.

Aku tak menyesal kalau anak-anakku putus sekolah. Anak-anakku memang malas belajar selama bersekolah. Padahal aku telah berusaha untuk membiayainya dengan baik agar ia rajin belajar. Tetapi hal itu tak meresap ke dalam hati anak-anakku.

*****

Kini, aku juga menyadari kalau pendidikan itu penting bagi anak. Dengan pendidikan yang memadai akan membuat anak menjalani hidupnya lebih kreatif dan layak. Memiliki semangat untuk mencari pekerjaan yang layak dan menjalani kehidupan yang lebih baik.  Dan itu sudah aku lihat sendiri anak-anak tetangga yang sudah sukses.
Simak juga : Orang Paling Kaya di Dunia
Namun demikian tak mungkin aku menyesali kenyataan hidup ini. Semua sudah guratan takdir dari yang maha Kuasa. Jika anak-anaku gagal dalam pendidikan. Mungkin cucu-cucuku akan mampu menebus kenyataan ini dengan meneruskan pendidikannya setinggi mungkin. (*Kiriman : Purwadi, Jambi)