Antara Nasibku dan Nasibmu Kini

Lalu lintas padat merayap tatkala memasuki area pasar tradisional. Kendaraan roda dua maupun roda empat terjebak dalam rangkaian kemacetan dari dua arah yang berlawanan. Masing-masing pengemudi dan pengendara hendak berusaha untuk membebaskan diri dari kemacetan.

Namun usaha itu seakan sia-sia karena jalan raya menjadi sempit oleh kendaraan yang parkir seenaknya di kiri dan kanan jalan.

Anak sekolah dan pegawai yang bertugas sudah tidak sabaran berada dalam kemacetan. Khawatir akan terlambat sampai di sekoalh. Kalau terlambat sampai di sekoalh akan mendapat sanksi.

Rikasari, seorang ibu muda nampak duduk tenang di belakang stir sebuah mobil mewah. Ia sudah terbiasa berada dalam perangkap kemacetan setiap melewati pasar tradisional itu.

Sayup-sayup terdengar suara pedagang kaki lima meneriakan barang dagangannya.

“Dipilih dipilih, sayang anak sayang anak,
kemarilah buk, kemarilah pak
yang punya anak kecil.”

“Mama.., ntar Chika dibelikan mainan ya, ma?” ujar seorang bocah kecil yang duduk di sebelah kiri Rikasari. Chika setengah merengek tatkala mendengar suara pedagang mainan.
“Iya, sayang…” sahut Rikasari tenang.

Sebagai single parent, Rikasari sangat menyayangi putri semata wayang buah hati perkawinannya dengan almarhum suaminya, Suradi. Itu sebabnya mengapa ia belum berkeinginan mencari pengganti dan memutuskan untuk membesarkan Chika.

Setelah berhasil lolos dari kemacetan jalan yang membelah pasar, ibu muda itu memarkir mobilnya di halaman sebuah rumah penduduk di pinggiran pasar.

“Hm, Chika mau mainan apa, sayang?” tanya Rikasari seraya membimbing anaknya memasuki pasar.

“Helikopter, ma…”

Rikasari menyeruak keramaian pasar menuju arah suara pedagang penjual mainan anak. Makin lama teriakan pedagang mainan terdengar makin keras. Rikasari dan anaknya sampai pada pedagang penjual mainan anak.

Sejenak Rikasari memperhatikan pedagang mainan anak itu. Ia mengenakan rayben hitam. Topi lebar yang menutupi kepala membuat sosok pedagang mainan itu menjadi tidak jelas.

Sementara itu Budiman, sang pedagang mainan anak itu cukup kaget ketika di balik rayben hitamnya melihat ibu muda dan anaknya sudah berdiri mendekati dagangannya. Hatinya berdegup kencang. Kenapa tidak? Budiman sangat mengenal sosok ibu muda itu meskipun sudah hampir sepuluh tahun tidak bertemu.

Dari tadi Budiman berusaha untuk tenang dan terus meneriakan mainan anak barang dagangannya. Ia berusaha berpura-pura tidak mengenal sosok di hadapannya. Berusaha agar Rikasari, wanita yang pernah dekat dengannya semasa kuliah dulu, tidak mengenalnya.

“Bang, ada mainan helikopter nggak?” tanya Rikasari tanpa menoleh, melainkan mencari-cari mainan helikopter di tengah tebaran mainan anak yang ada di lapak sederhana itu.

“Oh, ada, buk…” sahut Budiman agak gugup, Setelah mengambil sebuah mainan helikopter, Budiman menyerahkannya pada Rikasari.

“Berapa harganya, bang?”

“Tiga puluh ribu saja,  buk..”

“Kemahalan…”

“Oh, Itu sudah harga biasa, buk.”

“Boleh dikurang tidak, bang?”

“Khusus buat anak ibuk yang manis itu, bayar duapuluh lima ribu saja, buk……”

Kalimat Budiman tergantung di udara. Tak sengaja rayben hitam yang dikenakannya terjatuh saat mengepak mainan helikopter.

Dengan cepat Budiman memungut kembali raybennya. Namun apa hendak dinyana, Rikasari sempat melirik raut wajah pedagang mainan anak itu.

Rikasari kaget ketika melihat sosok penjual mainan anak itu. Rasanya ia pernah mengenal pedagang mainan anak ini. Ia, tak salah lagi. Lelaki itu adalah Budiman, lelaki yang dikenalnya semasa kuliah dulu.

“Maaf, ini Bang Budiman…?” tanya Rika coba menebak.

Budiman tersedak. Terpaksa mengangguk, mengakui tebakan Rikasari benar.

Kini Budiman merasa kedoknya sudah terbuka. Oleh sebab itu ia tak mungkin mengelak lagi. Kemudian membuka rayben dan topi lebarnya.

“Masyaallah, bang….Allah telah mempertemukan kita kembali di pasar ini,” ujar Rikasari sendu.

******

Budiman segera menutup dagangannya setelah Rikasari meminta waktu untuk ngobrol. Kemudian mereka mampir di lapak es cendol tak jauh dari lapaknya.

“Nasib abang kurang beruntung, Rika…” ujar Budiman.

“Maksud abang?”

“Setelah tamat kuliah, abang tidak berhasil mendapatkan pekerjaan layak. Akhirnya terpaksa jadi pedagang mainan anak…,”

“Tapi abang masih beruntung dari saya,” potong Rikasari.

“Kenapa?”

“Saya hanya jadi ibu rumah tangga tamat kuliah dan kini….” Suara Rikasari memarau.

“Kini bagaimana, Rika?”

“Saya sekarang single parent, papanya Chika meninggal dunia setahun lalu.”

“Maaf Rika, abang tidak bermaksud membuka kesedihanmu…”

“Tidak apa-apa, bang…Bagaimana keadaan abang sekarang?” Rikasari mengalihkan persoalan.

Budiman menghela nafas.

“Seperti yang kamu lihat sekarang..”

“Keluarga abang?”

Budiman tersedak dan batuk saat meneguk es cendol di gelasnya.

“Abang belum berkeluarga, Rika.” sahut Budiman kemudian.

 “Oh ya, kapan-kapan abang mampir ke rumah saya ya, bang…”

“Bila ada waktu abang akan mampir. Mudah-mudahan pekan depan abang berdagang lagi di pasar ini dan mampir ke rumahmu, “ kata Budiman.

Kemudian Rikasari pamit. Menghilang di tengah keramaian pasar. Sementara Budiman nampak terduduk di bangku panjang lapak es cendol. Ada rasa hiba di hati Budiman mengenang cerita Rikasari.***