Antara Nasibku dan Nasibmu Kini
November 01, 2018
Lalu
lintas padat merayap tatkala memasuki area pasar tradisional. Kendaraan roda
dua maupun roda empat terjebak dalam rangkaian kemacetan dari dua arah yang
berlawanan. Masing-masing pengemudi dan pengendara hendak berusaha untuk membebaskan
diri dari kemacetan.
Namun
usaha itu seakan sia-sia karena jalan raya menjadi sempit oleh kendaraan yang
parkir seenaknya di kiri dan kanan jalan.
Anak
sekolah dan pegawai yang bertugas sudah tidak sabaran berada dalam kemacetan.
Khawatir akan terlambat sampai di sekoalh. Kalau terlambat sampai di sekoalh
akan mendapat sanksi.
Rikasari,
seorang ibu muda nampak duduk tenang di belakang stir sebuah mobil mewah. Ia
sudah terbiasa berada dalam perangkap kemacetan setiap melewati pasar
tradisional itu.
Sayup-sayup
terdengar suara pedagang kaki lima meneriakan barang dagangannya.
“Dipilih dipilih, sayang anak sayang
anak,
kemarilah buk, kemarilah pak
yang punya anak kecil.”
“Mama..,
ntar Chika dibelikan mainan ya, ma?” ujar seorang bocah kecil yang duduk di
sebelah kiri Rikasari. Chika setengah merengek tatkala mendengar suara pedagang
mainan.
“Iya,
sayang…” sahut Rikasari tenang.
Sebagai
single parent, Rikasari sangat menyayangi
putri semata wayang buah hati perkawinannya dengan almarhum suaminya, Suradi.
Itu sebabnya mengapa ia belum berkeinginan mencari pengganti dan memutuskan
untuk membesarkan Chika.
Setelah
berhasil lolos dari kemacetan jalan yang membelah pasar, ibu muda itu memarkir
mobilnya di halaman sebuah rumah penduduk di pinggiran pasar.
“Hm,
Chika mau mainan apa, sayang?” tanya Rikasari seraya membimbing anaknya
memasuki pasar.
“Helikopter,
ma…”
Rikasari
menyeruak keramaian pasar menuju arah suara pedagang penjual mainan anak. Makin
lama teriakan pedagang mainan terdengar makin keras. Rikasari dan anaknya
sampai pada pedagang penjual mainan anak.
Sejenak
Rikasari memperhatikan pedagang mainan anak itu. Ia mengenakan rayben hitam. Topi lebar yang menutupi
kepala membuat sosok pedagang mainan itu menjadi tidak jelas.
Sementara
itu Budiman, sang pedagang mainan anak itu cukup kaget ketika di balik rayben
hitamnya melihat ibu muda dan anaknya sudah berdiri mendekati dagangannya. Hatinya
berdegup kencang. Kenapa tidak? Budiman sangat mengenal sosok ibu muda itu
meskipun sudah hampir sepuluh tahun tidak bertemu.
Dari
tadi Budiman berusaha untuk tenang dan terus meneriakan mainan anak barang
dagangannya. Ia berusaha berpura-pura tidak mengenal sosok di hadapannya. Berusaha
agar Rikasari, wanita yang pernah dekat dengannya semasa kuliah dulu, tidak
mengenalnya.
“Bang,
ada mainan helikopter nggak?” tanya Rikasari tanpa menoleh, melainkan
mencari-cari mainan helikopter di tengah tebaran mainan anak yang ada di lapak
sederhana itu.
“Oh,
ada, buk…” sahut Budiman agak gugup, Setelah mengambil sebuah mainan
helikopter, Budiman menyerahkannya pada Rikasari.
“Berapa
harganya, bang?”
“Tiga
puluh ribu saja, buk..”
“Kemahalan…”
“Oh,
Itu sudah harga biasa, buk.”
“Boleh
dikurang tidak, bang?”
“Khusus
buat anak ibuk yang manis itu, bayar duapuluh lima ribu saja, buk……”
Kalimat
Budiman tergantung di udara. Tak sengaja rayben hitam yang dikenakannya
terjatuh saat mengepak mainan helikopter.
Dengan
cepat Budiman memungut kembali raybennya. Namun apa hendak dinyana, Rikasari
sempat melirik raut wajah pedagang mainan anak itu.
Rikasari
kaget ketika melihat sosok penjual mainan anak itu. Rasanya ia pernah mengenal pedagang
mainan anak ini. Ia, tak salah lagi. Lelaki itu adalah Budiman, lelaki yang
dikenalnya semasa kuliah dulu.
“Maaf,
ini Bang Budiman…?” tanya Rika coba menebak.
Budiman
tersedak. Terpaksa mengangguk, mengakui tebakan Rikasari benar.
Kini
Budiman merasa kedoknya sudah terbuka. Oleh sebab itu ia tak mungkin mengelak
lagi. Kemudian membuka rayben dan topi lebarnya.
“Masyaallah,
bang….Allah telah mempertemukan kita kembali di pasar ini,” ujar Rikasari
sendu.
******
Budiman
segera menutup dagangannya setelah Rikasari meminta waktu untuk ngobrol.
Kemudian mereka mampir di lapak es cendol tak jauh dari lapaknya.
“Nasib
abang kurang beruntung, Rika…” ujar Budiman.
“Maksud
abang?”
“Setelah
tamat kuliah, abang tidak berhasil mendapatkan pekerjaan layak. Akhirnya
terpaksa jadi pedagang mainan anak…,”
“Tapi
abang masih beruntung dari saya,” potong Rikasari.
“Kenapa?”
“Saya
hanya jadi ibu rumah tangga tamat kuliah dan kini….” Suara Rikasari memarau.
“Kini
bagaimana, Rika?”
“Saya
sekarang single parent, papanya Chika meninggal dunia setahun lalu.”
“Maaf
Rika, abang tidak bermaksud membuka kesedihanmu…”
“Tidak
apa-apa, bang…Bagaimana keadaan abang sekarang?” Rikasari mengalihkan persoalan.
Budiman
menghela nafas.
“Seperti
yang kamu lihat sekarang..”
“Keluarga
abang?”
Budiman
tersedak dan batuk saat meneguk es cendol di gelasnya.
“Abang
belum berkeluarga, Rika.” sahut Budiman kemudian.
“Oh ya, kapan-kapan abang mampir ke rumah saya
ya, bang…”
“Bila
ada waktu abang akan mampir. Mudah-mudahan pekan depan abang berdagang lagi di
pasar ini dan mampir ke rumahmu, “ kata Budiman.
Kemudian
Rikasari pamit. Menghilang di tengah keramaian pasar. Sementara Budiman nampak
terduduk di bangku panjang lapak es cendol. Ada rasa hiba di hati Budiman
mengenang cerita Rikasari.***