Surat Kaleng Indah yang Tercecer
November 22, 2018
Pak Syukri tersenyum kecil setelah berhenti
berbicara. Dalam keadaan kelas seperti ini ia memilih diam ketimbang
melanjutkan menerangkan pelajaran. Dua
atau tiga siswa yang duduk barisan belakang ruangan kelas, terlihat kusuk
kasak. Mereka seakan-akan mencuri kesempatan untuk berbicara.
Dan itu jelas teramati melalui sudut
mata pak Syukri. Posisinya berdiri, menulis di papan tulis saat menerangkan
pelajaran agak menyamping. Dengan ekor mata akan dapat mengawasi semua siswa di
kelas itu meskipun sedang menulis di papan tulis.
“Sepertinya, ada sesuatu yang kurang
beres pada anak-anak bapak yang duduk di bagian belakang,” cetus pak Sukri setelah
melempar senyum kecilnya.
Spontan semua mata menoleh ke arah
belakang ruangan kelas. Ingin tahu apa yang terjadi dengan teman-temannya yang
duduk di deretan bagian belakang. Yang merasa terganggu oleh tingkah temannya
dibelakang melayangkan ucapan protes.
Ada juga yang merespon dengan meneriakkan
temannya yang telah menghentikan proses pembelajaran. Suasana kelas agak gaduh.
“Sudah, sudah…” ujar pak Syukri memberikan
isyarat dengan tangan untuk meredakan suara siswa yang duduk di bagian depan.
Ketika suasana kelas sudah aman dan
terkendali, pak Syukri menggaruk-garuk kepalanya yang memang tidak gatal.
“Hm, yang lain diam, ya? Jangan
berkomentar dulu karena bapak mau bertanya pada teman kalian yang duduk di
bagian belakang,” kata pak Syukri dengan suara berat dan berwibawa. “Ada apa
gerangan yang terjadi dengan kalian yang duduk di bagian belakang itu?”
Siswa-siswa yang dimaksud pak Syukri tidak
memberi respon. Namun tiba-tiba salah seorang di antaranya, maju ke depan kelas
membawa sesuatu. Kemudian menyerahkan pada pak Syukri.
“Apa ini?” tanya pak Syukri mengerinyitkan
dahi.
“Surat kaleng, pak,” sahut Jumadi menyerahkan
secarik kertas seraya berbalik dan kembali ke tempat duduknya di belakang.
Pak Syukri membacanya sekilas.
Namun kemudian menyimpan dalam saku celananya. Setelah itu kembali pak Syukri melanjutkan
menerangkan pelajaran.
Di kantor majelis guru, pak Syukri membaca isi
secarik kertas yang diserahkan siswanya tadi.
Nita, kamu somse (sombong sekali) deh. Aku sudah lama suka padamu tetapi kamu cuek aja. Tidak kah kamu merasa salah seorang di antara temanmu menaruh simpati kepadamu? Salah seorang temanmu itu adalah aku… (dariku yang mengagumimu, ES).
Pak Syukri geleng-geleng kepala seraya
tersenyum kecil. Bukan main anak sekolah zaman sekarang. Masih SMP sudah pintar
membuat surat dengan kalimat indah
“Hm..,
maaf pak. Bapak memanggil saya?”
Pak Syukri terkesima. Salah seorang
murid perempuan sudah berdiri di hadapannya.
“Oh, ya…Benar. “ sahut pak Syukri
sedikit gugup.
“Kamu sudah mengetahui, kenapa
dipanggil ke ruangan ini?
Anita Swara, siswa perempuan itu
menggeleng.
“Hm, apakah selama ini kamu merasa ada
teman kamu (laki-laki) yang begitu bersikap aneh kepadamu?”
Anita terdiam.
“Ya, coba kamu renung-renungkan
sebentar. Mungkin ada di antara teman-teman kamu yang bersimpatik padamu,”
timpal pak Syukri.
“Hmmm, ada pak. Dia sering mengganggu
Nita,…” akhirnya Anita teringat seorang temannya yang bersikap aneh kepadanya.
“Namanya?” pintas pak Syukri cepat.
“Edward Samsir, pak.”
“Oh, Edward.” Pak Syukri
manggut-manggut.
Ia mulai menduga kalau pengirim
surat kaleng yang dikantonginya, dengan inisial ES adalah nama yang disebutkan Anita barusan.
“Kamu yakin yang menulis surat kaleng
ini, Edward Samsir?” tanya pak Syukri seraya memperlihatkan secarik surat yang
ditulis tangan..
Anita terkejut bukan main. Perlahan
diamatinya surat yang diperlihatkan oleh pak Syukri. Darahnya berdesir manakala
membaca isi surat kaleng itu. Malu, takut, berbaur jadi satu. Ia yakin benar
kalau itu adalah tulisan Edwar Samsir.
“I…Iya…pak,” jawab Anita gugup.
“Apa dasarnya keyakinanmu?”
“Saya tahu bentuk tulisan tangan
Edward, pak.”
“Ya, sudah... Terima kasih. Tapi surat
ini bapak simpan, dan kamu kembali ke kelas. Oke?”
“Iya, pak.” Anita menyalami pak Syukri
dan meninggalkan ruangan majelis guru.
Keesokan harinya, pak Syukri memanggil
Edward dan menasehatinya agar tidak mengulangi lagi perbuatan ceroboh tersebut.
Pak Syukri memilih untuk tidak menyebarkan kasus penemuan surat kaleng di kelas
itu. Tentunya agar kedua siswa tersebut tidak merasa malu.***