Jembatan Hati

Motor matic keluaran terbaru itu berhenti. Persis di depan pintu pagar sebuah rumah sangat sederhana. Rumah semi permanen itu nampak sunyi. Pintu depan rumah tertutup namun jendelanya terbuka. Pertanda masih ada penghuninya di dalam.

Pengendara motor matic berpakaian dinas harian itu men-standar motornya. Membuka helm pelindung dan menggantungnya pada cantolan di bagian setang kendaraannya. Kini sudah nampak sosok pengendara motor berwarna biru itu. Seorang lelaki muda tampan dengan tubuh tinggi dan kekar.

Pekarangan rumah yang tidak begitu luas dipagar dengan bambu. Agak ragu, lelaki berusia muda dan berpakaian dinas pegawai negeri itu.membuka pintu pagar. Lalu perlahan melangkah menuju pintu rumah.

Pemilik rumah muncul di balik pintu setelah lelaki muda mengetuk dan mengucapkan salam.

“Waalaikumsalam…” sahut pak Imran, lelaki tua pensiunan guru itu dengan ramah.

“Maaf, pak. Saya sudah mengganggu bapak,” ujar pemuda itu seraya menyalami sang empunya rumah dengan tubuh agak membungkuk pertanda hormat.

“Oh, tidak. Tidak mengganggu, koq…Silahkan masuk, nak…”

“Terima kasih, disini saja, pak.” sahut anak muda seraya meraih sebuah kursi rotan. Kursi yang cukup untuk tempat duduk dua orang.

“Oh, ya? Anak muda ini siapa ya?” tanya pak Imran kemudian.

“Saya Gunadi…. Guru SMP di Nagari ini, pak..” ujar Gunadi memperkenalkan diri.

Pak Imran manggut-manggut.

“Dulu bapak juga mengajar di SMP itu tapi sekarang sudah pensiun, hehehe… “timpal pak Imran tertawa kecil.

“Nah, itulah sebabnya saya ingin berkunjung ke rumah bapak, ingin bercerita dan meminta saran pada bapak tentang kiat menghadapi anak murid zaman sekarang. Itu pun kalau bapak tidak keberatan..”  kata Gunadi menyatakan keinginannya.

Gunadi tercenung sejenak. Seperti informasi yang diperolehnya dari rekan guru lain, pensiunan guru yang bernama pak Imran tinggal di rumah sederhana. Betul juga kata rekan-rekannya di sekolah. Pak Imran itu guru yang baik semasa berdinas. Sederhana tapi suka berbagi ilmu dan pengalaman dengan guru-guru muda.

“Lho? Guru muda kok jadi melamun?” tegur pak Imran dengan nada bergurau.

Gunadi tersentak. Merasa jengah dan tersenyum kecil karena malu.

“Katanya tadi datang kesini mau bercerita dan bertanya pada bapak…Cerita apa nak Gunadi?”

“Iya, betul, pak….Kenapa ya, pak, anak sekolah sekarang susah diatur? Bagaimana pendapat dan masukan dari bapak terhadap saya”

“Oh, ya? Benarkah begitu…?” tukas pak Imran.

“Kayaknya seperti itu, pak… “

“Hehehe…” kembali pak Imran tertawa kecil, ciri khas pak Imran ketika bercerita

“Ada yang terputus antara guru dengan murid. Begitu pula antara orangtua dan anak di rumah,” kata pak Imran memulai.

“Apa itu, pak?” pintas Gunadi penasaran.

“Jembatan hati.”

“Jembatan hati? Maksudnya, pak?” desak Gunadi semakin ingin tahu.

Pak Imran meneruskan ceritanya di hadapan guru muda yang ganteng itu. Jembatan adalah penguhung antara satu tempat dengan tempat lain sehingga memperlancar tercapainya tujuan.

Antara guru dengan murid di ruang kelas harus terbangun jembatan hati. Begitu pula antara orangtua dengan anak.

Gunadi semakin tertarik dan serius mendengarkan pencerahan dari pensiunan guru itu.

Kalau sudah ada jembatan hati antara guru dengan murid, antara orangtua dan anak maka akan tercipta jalan komunikasi. Komunikasi yang baik akan mempermudah guru menyampaikan materi pelajaran maupun nasehat kepada murid.

Apa yang disampaikan guru akan lancar dan nyambung dengan pikiran dan hati murid-muirid. Begitu pula antara orangtua dengan anak di rumah.

“Begitu kira-kira, nak Gunadi…” kata pak Imran.mengakhiri petuahnya.

Gunadi mengangguk paham.

“Oh, pantas saja, anak sekolah terutama semasa saya sekolah dulu tidak separah sekarang sikap dan kelakuannya, pak.” ujar Gunadi kemudian.

“Benar nak Gunadi.” sambung pak Imran.”Semasa bapak masih mengajar dulu, cukup banyak waktu bagi guru untuk membangun jembatan hati dengan murid sehingga ada jalan komunikasi yang baik, apa yang dinasehatkan atau materi pelajaran yang disampaikan mudah nyambung di pikiran dan hati anak.

Nah, sekarang ini konon banyak hambatan dalam membangun jembatan hati maupun komunikasi dengan murid. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seyogyanya menjadi sarana ampuh untuk membangun jembatan hati itu dengan murid dan anak.

Namun anak  sekarang kelihatannya justru merasa terkekang karena aturan dan nasehat. Bahkan lebih berani menantang sanksi dan hukuman yang diberikan guru. Ini karena terputusnya jembatan hati dengan murid.” Ulas pak Imran.

“Menurut bapak, kira-kira apa yang menyebabkan guru mengalami hambatan, atau tidak cukup waktu untuk membangun jembatan komunikasi dengan murid?” sela Gunadi bertanya.

“Berapa jam tugas mengajar guru dan lamanya guru dan murid berada di sekolah?” Pak Imran balik bertanya.

“Dua puluh empat jam pelajaran paling sedikit. Namun kenyataanya ada yang lebih. Lamanya guru dan murid berada di sekolah lebih kurabng 8 jam per hari, pak.” jawab Gunadi.

Pak Imran terdiam.

Sebenarnya pensiunan guru itu sudah mendengari kalau sekarang ada program sertifikasi dengan beban jam mengajar lebih dua puluh jam tatap muka di ruang kelas..

“Bukan main…” desis pak Imran.

“Iya, begitulah, pak.”

“Tapi nak Gunadi termasuk guru yang beruntung jika dibanding bapak jadi guru dulu,”

“Beruntungnya dimana, pak?” tukas Gunadi.

“Guru sekarang sudah sejahtera berkat perhatian pemerintah.”

“Itu memang betul, pak. Tapi beban kerja guru semakin padat, belum lagi perangkat administrasi yang harus disiapkan guru…,”

“…Sehingga berkurang waktu untuik membangun komunikasi dengan murid?” potong pak Imran.

“Betul, pak.”

“Nah,walau pun begitu, bagimana pun beratnya beban dan tugas guru sekarang namun usahakan untuk selalu membangun jembatan hati, jalan komunikasi dengan murid. Perbanyaklah bersosialisasi, beraudiensi dengan murid.

Jika memang ditemui ada murid yang susah diatur, ketahuilah, mereka itu belum tahu atau menyadari apa akibat dari sikap dan perbuatannya demikian. Bangun jembatan komunikasi dengan mereka melalui strategi dan metode masing-masing guru sehingga mereka dapat menyadari dan paham kalau sikap dan tingkah laku demikian merugikan diri mereka sendiri.

“Hm, bagaimana nak Gunadi?” tanya pak Imran mengakhiri wejangannya.

“Wah, luar biasa. Terima kasih banyak, nasehat dan wejangannya, pak. Sangat bermanfaat bagi saya sebagai guru baru. Mudah-mudahan saya berkesempatan datang lagi untuk menimba ilmu dan bapak bermurah hati menerima saya,” ujar Gunadi.

“Hehehe…pintu rumah sederhana ini selalu terbuka untuk siapa saja, nak Gunadi.”

“Kalau begitu saya permisi, pak..” ujar Gunadi seraya berdiri dan menyalami pak Imran. 
Kemudian melangkah menuju motornya.

“Ya, hati-hati nak Gunadi.”..seru pak Imran.

“Insyaallah, pak.” Sahut Gunadi mengangguk.

Gunadi tertegun ketika dipintu pagar ia berpapasan dengan seorang siswa perempuan berpakaian seragam es-em-a. Siswi itu mengangguk sebagai isyarat menyapa Gunadi.

“Itu cucu saya, nak Gunadi…!” seru pak Imran dari teras rumah.

Gunadi tersenyum dan mangangguk.

Ketika hendak menstater motor, Gunadi  masih sempat menoleh ke punggung cucu pak Imran. Cantik dan sopan. Gunadi berkata dalam hati seraya meninggalkan tempat itu.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel