Jembatan Hati
April 19, 2019
Motor
matic keluaran terbaru itu berhenti. Persis
di depan pintu pagar sebuah rumah sangat sederhana. Rumah semi permanen itu
nampak sunyi. Pintu depan rumah tertutup namun jendelanya terbuka. Pertanda
masih ada penghuninya di dalam.
Pengendara
motor matic berpakaian dinas harian itu men-standar motornya. Membuka helm
pelindung dan menggantungnya pada cantolan di bagian setang kendaraannya. Kini
sudah nampak sosok pengendara motor berwarna biru itu. Seorang lelaki muda
tampan dengan tubuh tinggi dan kekar.
Pekarangan
rumah yang tidak begitu luas dipagar dengan bambu. Agak ragu, lelaki berusia
muda dan berpakaian dinas pegawai negeri itu.membuka pintu pagar. Lalu perlahan
melangkah menuju pintu rumah.
Pemilik
rumah muncul di balik pintu setelah lelaki muda mengetuk dan mengucapkan salam.
“Waalaikumsalam…”
sahut pak Imran, lelaki tua pensiunan guru itu dengan ramah.
“Maaf,
pak. Saya sudah mengganggu bapak,” ujar pemuda itu seraya menyalami sang
empunya rumah dengan tubuh agak membungkuk pertanda hormat.
“Oh,
tidak. Tidak mengganggu, koq…Silahkan masuk, nak…”
“Terima
kasih, disini saja, pak.” sahut anak muda seraya meraih sebuah kursi rotan.
Kursi yang cukup untuk tempat duduk dua orang.
“Oh,
ya? Anak muda ini siapa ya?” tanya pak Imran kemudian.
“Saya
Gunadi…. Guru SMP di Nagari ini, pak..” ujar Gunadi memperkenalkan diri.
Pak
Imran manggut-manggut.
“Dulu
bapak juga mengajar di SMP itu tapi sekarang sudah pensiun, hehehe… “timpal pak
Imran tertawa kecil.
“Nah,
itulah sebabnya saya ingin berkunjung ke rumah bapak, ingin bercerita dan
meminta saran pada bapak tentang kiat menghadapi anak murid zaman sekarang. Itu
pun kalau bapak tidak keberatan..” kata
Gunadi menyatakan keinginannya.
Gunadi
tercenung sejenak. Seperti informasi yang diperolehnya dari rekan guru lain, pensiunan
guru yang bernama pak Imran tinggal di rumah sederhana. Betul juga kata
rekan-rekannya di sekolah. Pak Imran itu guru yang baik semasa berdinas.
Sederhana tapi suka berbagi ilmu dan pengalaman dengan guru-guru muda.
“Lho?
Guru muda kok jadi melamun?” tegur pak Imran dengan nada bergurau.
Gunadi
tersentak. Merasa jengah dan tersenyum kecil karena malu.
“Katanya
tadi datang kesini mau bercerita dan bertanya pada bapak…Cerita apa nak
Gunadi?”
“Iya,
betul, pak….Kenapa ya, pak, anak sekolah sekarang susah diatur? Bagaimana
pendapat dan masukan dari bapak terhadap saya”
“Oh,
ya? Benarkah begitu…?” tukas pak Imran.
“Kayaknya
seperti itu, pak… “
“Hehehe…”
kembali pak Imran tertawa kecil, ciri khas pak Imran ketika bercerita
“Ada
yang terputus antara guru dengan murid. Begitu pula antara orangtua dan anak di
rumah,” kata pak Imran memulai.
“Apa
itu, pak?” pintas Gunadi penasaran.
“Jembatan
hati.”
“Jembatan
hati? Maksudnya, pak?” desak Gunadi semakin ingin tahu.
Pak
Imran meneruskan ceritanya di hadapan guru muda yang ganteng itu. Jembatan
adalah penguhung antara satu tempat dengan tempat lain sehingga memperlancar
tercapainya tujuan.
Antara
guru dengan murid di ruang kelas harus terbangun jembatan hati. Begitu pula
antara orangtua dengan anak.
Gunadi
semakin tertarik dan serius mendengarkan pencerahan dari pensiunan guru itu.
Kalau
sudah ada jembatan hati antara guru dengan murid, antara orangtua dan anak maka
akan tercipta jalan komunikasi. Komunikasi yang baik akan mempermudah guru
menyampaikan materi pelajaran maupun nasehat kepada murid.
Apa
yang disampaikan guru akan lancar dan nyambung dengan pikiran dan hati
murid-muirid. Begitu pula antara orangtua dengan anak di rumah.
“Begitu
kira-kira, nak Gunadi…” kata pak Imran.mengakhiri petuahnya.
Gunadi
mengangguk paham.
“Oh,
pantas saja, anak sekolah terutama semasa saya sekolah dulu tidak separah
sekarang sikap dan kelakuannya, pak.” ujar Gunadi kemudian.
“Benar
nak Gunadi.” sambung pak Imran.”Semasa bapak masih mengajar dulu, cukup banyak
waktu bagi guru untuk membangun jembatan hati dengan murid sehingga ada jalan komunikasi
yang baik, apa yang dinasehatkan atau materi pelajaran yang disampaikan mudah
nyambung di pikiran dan hati anak.
Nah,
sekarang ini konon banyak hambatan dalam membangun jembatan hati maupun
komunikasi dengan murid. Kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi seyogyanya
menjadi sarana ampuh untuk membangun jembatan hati itu dengan murid dan anak.
Namun
anak sekarang kelihatannya justru merasa
terkekang karena aturan dan nasehat. Bahkan lebih berani menantang sanksi dan
hukuman yang diberikan guru. Ini karena terputusnya jembatan hati dengan murid.”
Ulas pak Imran.
“Menurut
bapak, kira-kira apa yang menyebabkan guru mengalami hambatan, atau tidak cukup
waktu untuk membangun jembatan komunikasi dengan murid?” sela Gunadi bertanya.
“Berapa
jam tugas mengajar guru dan lamanya guru dan murid berada di sekolah?” Pak
Imran balik bertanya.
“Dua
puluh empat jam pelajaran paling sedikit. Namun kenyataanya ada yang lebih. Lamanya
guru dan murid berada di sekolah lebih kurabng 8 jam per hari, pak.” jawab
Gunadi.
Pak
Imran terdiam.
Sebenarnya
pensiunan guru itu sudah mendengari kalau sekarang ada program sertifikasi
dengan beban jam mengajar lebih dua puluh jam tatap muka di ruang kelas..
“Bukan
main…” desis pak Imran.
“Iya,
begitulah, pak.”
“Tapi
nak Gunadi termasuk guru yang beruntung jika dibanding bapak jadi guru dulu,”
“Beruntungnya
dimana, pak?” tukas Gunadi.
“Guru
sekarang sudah sejahtera berkat perhatian pemerintah.”
“Itu
memang betul, pak. Tapi beban kerja guru semakin padat, belum lagi perangkat
administrasi yang harus disiapkan guru…,”
“…Sehingga
berkurang waktu untuik membangun komunikasi dengan murid?” potong pak Imran.
“Betul,
pak.”
“Nah,walau
pun begitu, bagimana pun beratnya beban dan tugas guru sekarang namun usahakan
untuk selalu membangun jembatan hati, jalan komunikasi dengan murid.
Perbanyaklah bersosialisasi, beraudiensi dengan murid.
Jika
memang ditemui ada murid yang susah diatur, ketahuilah, mereka itu belum tahu
atau menyadari apa akibat dari sikap dan perbuatannya demikian. Bangun jembatan
komunikasi dengan mereka melalui strategi dan metode masing-masing guru
sehingga mereka dapat menyadari dan paham kalau sikap dan tingkah laku demikian
merugikan diri mereka sendiri.
“Hm,
bagaimana nak Gunadi?” tanya pak Imran mengakhiri wejangannya.
“Wah,
luar biasa. Terima kasih banyak, nasehat dan wejangannya, pak. Sangat bermanfaat
bagi saya sebagai guru baru. Mudah-mudahan saya berkesempatan datang lagi untuk
menimba ilmu dan bapak bermurah hati menerima saya,” ujar Gunadi.
“Hehehe…pintu
rumah sederhana ini selalu terbuka untuk siapa saja, nak Gunadi.”
“Kalau
begitu saya permisi, pak..” ujar Gunadi seraya berdiri dan menyalami pak Imran.
Kemudian melangkah menuju motornya.
“Ya,
hati-hati nak Gunadi.”..seru pak Imran.
“Insyaallah,
pak.” Sahut Gunadi mengangguk.
Gunadi
tertegun ketika dipintu pagar ia berpapasan dengan seorang siswa perempuan
berpakaian seragam es-em-a. Siswi itu mengangguk sebagai isyarat menyapa
Gunadi.
“Itu
cucu saya, nak Gunadi…!” seru pak Imran dari teras rumah.
Gunadi
tersenyum dan mangangguk.
Ketika
hendak menstater motor, Gunadi masih
sempat menoleh ke punggung cucu pak Imran. Cantik dan sopan. Gunadi berkata
dalam hati seraya meninggalkan tempat itu.***