Sekilas Tentang Adat Mangaku Mamak di Minangkabau

Sekilas tentang adat 'mangaku mamak' di minangkabau – Setiap nagari di wilayah minangkabau memiliki struktur pemerintahan dan struktur adat tersendiri. Oleh sebab itu setiap individu maupun keluarga yang bermukim harus terdata dan mematuhi aturan dalam kedua struktur yang ada dalam nagari tersebut.

Hal itu sesuai dengan pepatah, dimaa bumi dipijak disinan langik dijunjuang. Bagaimana dengan pendatang dari nagari lain atau wilayah lain di luar orang Minangkabau?

Sebagai individu atau keluarga pendatang dari nagari lain dan telah bermukim di suatu nagari perlu terdata dalam struktur pemerintahan nagari tersebut.

Hal ini dilakukan dengan cara  mendaftar dan memiliki kartu keluarga dan kartu tanda penduduk suatu nagari.

Agar terdata dalam struktur adat salingka nagari tersebut, pendatang individu/keluarga harus malakok pada suku atau kaum tertentu yang ada dalam nagari tersebut.

Malakok secara bahasa diartikan menempel/melekat pada suku/kaum di tempat bermukim.

Malakok diartikan mangaku mamak di tempatnya bermukim. Hal ini sesuai pepatah Tabang basitumpu hinggok basicakam. Pendatang telah meninggalkan nagari halamannya kemudian menetap di nagari lain. Kampuang ditinggakan kampuang ditapati, mamak ditinggakan mamak ditapati.

Sebagai contoh, Arnis beserta keluarga, nagari asal Sungai Garinggiang menetap di Nagari Tigo Jangko. Sudah terdata dalam struktur pemerintah ditandai dengan kartu keluarga dan KTP namun belum terdata dalam struktur adat.

Oleh sebab itu Arnis perlu mangaku mamak di Nagari Tigo Jangko.

Calon kemenakan ini memberi tahu  mamak yang dituju terlebih dulu. Selanjutnya  mamak yang dituju meneliti dan merembukkan dengan perangkat adat yang ada di nagari.

Dalam proses mangaku mamak, seorang individu harus memenuhi persyaratan seperti dalam pepatah, cupak diisi limbago dituang. Persyaratan ini sesuai dengan kemampuan orang yang mangaku mamak, kok ndak panuah kaateh panuah ka bawah.

Pelaksanaan adat mangaku mamak diadakan di rumah gadang suku tersebut. Tentunya dengan mengadakan jamuan makan oleh orang yang akan mangaku mamak.

Selain itu, ninik mamak yang hadir akan diberi uang adat yang jumlahnya tidak ditentukan.

Hal ini sesuai dengan pepatah, Kok kain baeto, ameh batayia, kok pitih babilang. Namun demikian jumlahnya tidak dirtentukan, yang penting ikhlas dan sesuai kemampuan.

Individu atau keluarga yang sudah resmi menjadi kemenakan suku/kaum suatu nagari akan dihimbaukan di pasa nan rami, labuah nan golong. Orang yang sudah mangaku mamak disebut dengan kamakan batali ameh atau kamanakan batali budi.

Sebaliknya, individu/keluarga yang mangaku mamak harus menjalankan kewajiban sebagai anak kamanakan dalam falsafah sahino samalu, salarang sapantangan dengan anggota suku/kaum tempat mangaku mamak.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel