Sekilas Tentang Adat Mangaku Mamak di Minangkabau
April 05, 2019
Sekilas tentang adat 'mangaku mamak' di minangkabau –
Setiap nagari di wilayah minangkabau memiliki struktur pemerintahan dan
struktur adat tersendiri. Oleh sebab itu setiap individu maupun keluarga yang
bermukim harus terdata dan mematuhi aturan dalam kedua struktur yang ada dalam nagari
tersebut.
Hal
itu sesuai dengan pepatah, dimaa bumi
dipijak disinan langik dijunjuang. Bagaimana dengan pendatang dari nagari
lain atau wilayah lain di luar orang Minangkabau?
Sebagai
individu atau keluarga pendatang dari nagari lain dan telah bermukim di suatu
nagari perlu terdata dalam struktur pemerintahan nagari tersebut.
Hal
ini dilakukan dengan cara mendaftar dan memiliki kartu keluarga dan kartu tanda penduduk
suatu nagari.
Agar
terdata dalam struktur adat salingka
nagari tersebut, pendatang individu/keluarga harus malakok pada suku atau kaum tertentu yang ada dalam nagari
tersebut.
Malakok secara bahasa
diartikan menempel/melekat pada suku/kaum di tempat bermukim.
Malakok
diartikan mangaku mamak di tempatnya
bermukim. Hal ini sesuai pepatah Tabang
basitumpu hinggok basicakam. Pendatang telah meninggalkan nagari halamannya kemudian menetap di nagari lain. Kampuang ditinggakan kampuang ditapati, mamak ditinggakan mamak ditapati.
Sebagai
contoh, Arnis beserta keluarga, nagari asal Sungai Garinggiang menetap di
Nagari Tigo Jangko. Sudah terdata dalam struktur pemerintah ditandai dengan
kartu keluarga dan KTP namun belum terdata dalam struktur adat.
Oleh sebab itu
Arnis perlu mangaku mamak di Nagari Tigo
Jangko.
Calon
kemenakan ini memberi tahu mamak yang dituju
terlebih dulu. Selanjutnya mamak yang
dituju meneliti dan merembukkan dengan perangkat adat yang ada di nagari.
Dalam
proses mangaku mamak, seorang
individu harus memenuhi persyaratan seperti dalam pepatah, cupak diisi limbago dituang. Persyaratan ini sesuai dengan
kemampuan orang yang mangaku mamak, kok
ndak panuah kaateh panuah ka bawah.
Pelaksanaan
adat mangaku mamak diadakan di rumah gadang suku tersebut. Tentunya dengan mengadakan jamuan makan oleh orang yang akan mangaku mamak.
Selain
itu, ninik mamak yang hadir akan diberi uang adat yang jumlahnya tidak
ditentukan.
Hal ini sesuai dengan pepatah, Kok
kain baeto, ameh batayia, kok pitih babilang. Namun demikian jumlahnya
tidak dirtentukan, yang penting ikhlas dan sesuai kemampuan.
Individu
atau keluarga yang sudah resmi menjadi kemenakan suku/kaum suatu nagari akan
dihimbaukan di pasa nan rami, labuah nan
golong. Orang yang sudah mangaku mamak disebut dengan kamakan batali ameh atau kamanakan
batali budi.
Sebaliknya,
individu/keluarga yang mangaku mamak harus menjalankan kewajiban sebagai anak kamanakan dalam falsafah sahino samalu, salarang sapantangan dengan
anggota suku/kaum tempat mangaku mamak.***