Perahu Angsa Merah Talago Anguih

“Mamaaa…! Acha mo naik perahu angsa itu…!” Untuk kesekian kalinya bocah perempuan itu merengek. Ia ingin naik sepeda air perahu angsa. Berulang kali sepasang mata bocah kecil itu tertuju pada wahana wisata telaga. Sepeda air (waterbike) perahu angsa yang terparkir di pinggiran telaga. Perahu angsa berwarna merah itu sepertinya sangat menarik hati bocah manis itu.

Sang mama lebih memilih berdiam diri. Tak bergeming. Sudah berulang kali ia membujuk putri semata wayangnya untuk tidak naik sepeda air perahu angsa. Namun upayanya tak membuahkan hasil sehingga lebih baik berdiam diri.

Marina, ibu muda satu anak dan menjadi singel parent itu menatap nanar. Pandangan matanya menerawang jauh melintasi Talago Anguih.

Pandangannya terantuk pada deretan bukit Kasumbo di sebelah barat yang melatari pemandangan wisata alam Talago Anguih.

Tanpa disadari Marina. Seorang lelaki tiga puluhan yang tidak jauh dari tempat duduknya. Diam-diam memperhatikan Marina dan anaknya Anisa.

Hariadi, lelaki itu pura-pura mengutak-atik ikon pada androidnya. Padahal telinganya dengan jelas mendengar percakapan Marina dengan anaknya.

“Kasihan anak itu….” Hariadi bergumam. Dalam hati ia merasa kasihan pada Anisa. Tanpa alasan telah melarang anaknya, bocah manis itu untuk naik perahu angsa untuk menelusuri air Talago Anguih.

Hariadi bangkit dari tempat duduknya. Menghampiri gadis kecil yang memegang tangan mamanya.

“Acha mau naik perahu angsa?” tanya Hariadi. Bocah kecil itu tak menjawab. Namun menoleh sekilas ke arah mamanya. Seolah-olah meminta persetujuan mamanya untuk menjawab.

“Iya, Om…” jawab Anisa kemudian seraya mengangguk.

“Yuk ikut dengan Om. Mau?” ajak Hariadi.

“Nggak usah, Uda. Merepotkan Uda saja,” potong Marina cepat.

“Nggak apa-apa, Uni. Toh, saya kebetulan petugas di tempat wisata ini,” tutur Hariadi berterus terang.

“Boleh ya, ma…?” rengek Anisa

Marina tak dapat menolak lagi. Hariadi membimbing tangan si bocah kecil untuk menuruni tempat menuju parkir perahu angsa. Sampai di tempat parkir perahu angsa, Hariadi menoleh ke arah Marina.

“Uni ikut nggak?” teriak Hariadi.

Marina tak kuasa menolak ajakan petugas ganteng Talago Anguih itu. Serta merta ia bangkin dari duduknya dan melangkah pelan menuruni pinggiran Talago Anguih sehingga sampai di area parkir perahu angsa.

“Uni duluan naik…” suruh Hariadi. Marini mengangguk. Dengan kemudian Marini dengan hati-hati menaiki perahu angsa dan disusul Anisa. Hariadi naik dan duduk di sebelah kanan sedangkan Marina di sebelah kiri. Sementara Anisa duduk agak ke belakang.

Setelah memberi aba-aba, Hariadi mulai menggenjot pedal sepeda air itu. Secara otomatis Marini juga ikut mengenjet pedal sepeda air sehingga perahu angsa mulai bergerak.

Sekali-sekali Hariadi menoleh ke arah Anisa. Terlihat di wajah bocah perempuan itu rasa senang naik armda sepeda air perahu angsa.

“Bagaimana Acha? Senang naik perahu angsa ini bukan?” tanya Hariadi gembira seakan merasakan kegembiraan di ahti si bocah Anisa.

“Wah, senang banget, Om…” jawab Anisa.

Kini perahu angsa sudah sampai di tengah telaga. Hariadi merasa heran kenapa Marini lebih banyak diam dari tadi.

“Uni, kenapa Uni diam saja dari tadi?” tanya Hariadi memancing.

“Habis, saya mau ngomong apa, Uda.” sahut Marinia.

Hariadi tersenyum seraya menoleh sekilas ke wajah marina.

“Iya, Om. Mama orangnya pendiam, susah diajak bicara…” celetuk Anisa.

“Acha jangan sok tahu, ah…”Marina pura-pura cemberut.

“Apa tampang saya menakutkan, Uni?” tanya Hariadi menggoda. Marisa menoleh sekilas ke arah hariadi.

“Enggak juga koq..” sahut Marina seraya tersenyum.

Hariadi menikmati senyum berlesung pipi sang ibu muda itu

“Maaf Uni, papanya Anisa koq nggak ikut?” tanya Hariadi.

Marina terdiam.

“Oh, sekali lagi maaf, Uni.” Ujar Hariadi merasa bersalah.

“Nggak apa-apa, koq…” Marina menghela nafas.

Mengingat papanya Anisa membuat hati Marina semakin terasa sakit. 

“Kalau begitu kita cerita yang lain aja ya, Uni?” kata Hariadi kemudian.

“Uda…siapa ya…?”

“Panggil Uda Hari saja, Uni…”potong Hariadi cepat.

“Kalau begitu jangan panggil saya Uni, panggil saja Rina, mungkin usia saya lebih muda dari Uda…” balas Marina.

“Oke, oke Rina…”

“Uda sudah berkeluarga?” tanya Marina kemudian.

Hariadi tersedak. Batuk-batuk kecil. Kaget dengan pertanyaan Marina barusan.

“Sudah, tapi kami sudah bercerai…” jawab Hariadi terus terang.

“Punya anak?”

“Belum sempat dikaruniai anak,”

“Oh….”

“Pertanyaan saya belum Rina jawab, bukan?”

“Pertanyaan yang mana?” Marina pura-pura lupa.

“Ya, sudah…”

“Papanya Anisa?”

Hariadi mengangguk.

“Kami juga sudah bercerai, Uda…” jawab Marina jujur.

“Horeeeeee…..!!!” tiba Anisa berteriak girang. Marina terkejut. Namun Hariadi nampak tenang saja. Hariadi pun tersenyum girang. 

“Hus! Acha! Kamu apa-apan ini!!!” bentak Marina menoleh ke belakang.

“Biarkan Acha dengan kesenangannya, Rina.” tegur Hariadi kemudian.

“Maksud Uda, gimana?”

“Acha senang, mama dan Om-nya senasib gitu, hehehe…” ujar Hariadi menggoda.

“Iiihhhh! Om-nya Acha, genit…!” Marina cemberut dan nyaris mencubit tangan Hariadi.

“Tapi benar kata Acha, kita senasib sepenunggangan, eh..sepenanggungan…” gurau Hariadi kemudian.

Marina terdiam.

Hariadi pun terdiam. Sementara kakinya terus menggenjot pedal sepeda air perahu angsa merah.

“Kalau begitu, mama jadian aja sama om, hehehe…” celetuk Anisa tiba-tiba.

Gerrrr! Darah mengalir di tubuh Marina berdesir. Jantungnya mulai berdegup kencang.

“Acha, kamu jangan malu-maluin mama lagi dong…” ujar Marina memelas.

“Uda mau, koq…” sela Hariadi.

“Kita baru kenal, Uda. Mana mungkin kita langsung jadian. Saya belum mengenal siapa Uda begitu sebaliknya,…”.

“Sssttt…” Hariadi mengatupkan telunjuk di kedua bibirnya. Lalu ia berkata.

“Uda mau kita jadian. Sepeda air perahu angsa ini, Anisa si bocah manis ini, adalah saksinya. Perjalanan waktu berikutnya akan membuktikan kalau kita akan saling mengenal.”

Kembali Marina terdiam. Dalam hati ia begitu mengagumi cara dan isi bicara lelaki di samping yang baru dikenalnya.

“Bagaimana, Rina?”

Tiba-tiba Anisa meraih tangan kanan mamanya dan tangan kiri Om Hariadi. Kemudian mempertemukan keduanya. Marina tak dapat menolak, begitu pula Hariadi.

Hariadi menoleh, menatap wajah Marina. Perlahan Marina menggerakkan kepala dan menatap balas Hariadi. Kemudian ia tertunduk malu…

“Iya, uda. Saya mau. Perahu angsa merah, si kecil Anisa dan Talago Anguih ini jadi saksinya.” balas Marisa dengan bibir bergetar.

“Percayalah Rina, perjalanan waktu akan membuktikan kesungguhan kita…” timpal Hariadi diringi oleh tepuk tangan gembira dari Anisa, si bocah kecil yang pintar.

“Dan percayalah, kita sudah sampai kembali di parkir perahu angsa ini..” ujar Anisa seraya mengangkat kedua tangannya sambil mengucapkan lafaz hamdalah. Sekian.***


Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel