Perahu Angsa Merah Talago Anguih
Mei 17, 2019
“Mamaaa…!
Acha mo naik perahu angsa itu…!” Untuk kesekian kalinya
bocah perempuan itu merengek. Ia ingin naik sepeda air perahu angsa. Berulang
kali sepasang mata bocah kecil itu tertuju pada wahana wisata telaga. Sepeda
air (waterbike) perahu angsa yang
terparkir di pinggiran telaga. Perahu angsa berwarna merah itu sepertinya sangat
menarik hati bocah manis itu.
Sang
mama lebih memilih berdiam diri. Tak bergeming. Sudah berulang kali ia membujuk
putri semata wayangnya untuk tidak naik sepeda air perahu angsa. Namun upayanya
tak membuahkan hasil sehingga lebih baik berdiam diri.
Marina,
ibu muda satu anak dan menjadi singel
parent itu menatap nanar. Pandangan matanya menerawang jauh melintasi
Talago Anguih.
Pandangannya terantuk pada deretan bukit Kasumbo di sebelah
barat yang melatari pemandangan wisata alam Talago Anguih.
Tanpa
disadari Marina. Seorang lelaki tiga puluhan yang tidak jauh dari tempat
duduknya. Diam-diam memperhatikan Marina dan anaknya Anisa.
Hariadi,
lelaki itu pura-pura mengutak-atik ikon pada androidnya. Padahal telinganya
dengan jelas mendengar percakapan Marina dengan anaknya.
“Kasihan
anak itu….” Hariadi bergumam. Dalam hati ia merasa kasihan pada Anisa. Tanpa
alasan telah melarang anaknya, bocah manis itu untuk naik perahu angsa untuk
menelusuri air Talago Anguih.
Hariadi
bangkit dari tempat duduknya. Menghampiri gadis kecil yang memegang tangan
mamanya.
“Acha
mau naik perahu angsa?” tanya Hariadi. Bocah kecil itu tak menjawab. Namun
menoleh sekilas ke arah mamanya. Seolah-olah meminta persetujuan mamanya untuk
menjawab.
“Iya,
Om…” jawab Anisa kemudian seraya mengangguk.
“Yuk
ikut dengan Om. Mau?” ajak Hariadi.
“Nggak
usah, Uda. Merepotkan Uda saja,” potong Marina cepat.
“Nggak
apa-apa, Uni. Toh, saya kebetulan petugas di tempat wisata ini,” tutur Hariadi
berterus terang.
“Boleh
ya, ma…?” rengek Anisa
Marina
tak dapat menolak lagi. Hariadi membimbing tangan si bocah kecil untuk menuruni
tempat menuju parkir perahu angsa. Sampai di tempat parkir perahu angsa,
Hariadi menoleh ke arah Marina.
“Uni
ikut nggak?” teriak Hariadi.
Marina
tak kuasa menolak ajakan petugas ganteng Talago Anguih itu. Serta merta ia bangkin
dari duduknya dan melangkah pelan menuruni pinggiran Talago Anguih sehingga
sampai di area parkir perahu angsa.
“Uni
duluan naik…” suruh Hariadi. Marini mengangguk. Dengan kemudian Marini dengan
hati-hati menaiki perahu angsa dan disusul Anisa. Hariadi naik dan duduk di
sebelah kanan sedangkan Marina di sebelah kiri. Sementara Anisa duduk agak ke
belakang.
Setelah
memberi aba-aba, Hariadi mulai menggenjot pedal sepeda air itu. Secara otomatis
Marini juga ikut mengenjet pedal sepeda air sehingga perahu angsa mulai
bergerak.
Sekali-sekali
Hariadi menoleh ke arah Anisa. Terlihat di wajah bocah perempuan itu rasa
senang naik armda sepeda air perahu angsa.
“Bagaimana
Acha? Senang naik perahu angsa ini bukan?” tanya Hariadi gembira seakan
merasakan kegembiraan di ahti si bocah Anisa.
“Wah,
senang banget, Om…” jawab Anisa.
Kini
perahu angsa sudah sampai di tengah telaga. Hariadi merasa heran kenapa Marini
lebih banyak diam dari tadi.
“Uni,
kenapa Uni diam saja dari tadi?” tanya Hariadi memancing.
“Habis,
saya mau ngomong apa, Uda.” sahut Marinia.
Hariadi
tersenyum seraya menoleh sekilas ke wajah marina.
“Iya,
Om. Mama orangnya pendiam, susah diajak bicara…” celetuk Anisa.
“Acha
jangan sok tahu, ah…”Marina pura-pura cemberut.
“Apa
tampang saya menakutkan, Uni?” tanya Hariadi menggoda. Marisa menoleh sekilas
ke arah hariadi.
“Enggak
juga koq..” sahut Marina seraya tersenyum.
Hariadi
menikmati senyum berlesung pipi sang ibu muda itu
“Maaf
Uni, papanya Anisa koq nggak ikut?” tanya Hariadi.
Marina
terdiam.
“Oh,
sekali lagi maaf, Uni.” Ujar Hariadi merasa bersalah.
“Nggak
apa-apa, koq…” Marina menghela nafas.
Mengingat
papanya Anisa membuat hati Marina semakin terasa sakit.
“Kalau
begitu kita cerita yang lain aja ya, Uni?” kata Hariadi kemudian.
“Uda…siapa
ya…?”
“Panggil
Uda Hari saja, Uni…”potong Hariadi cepat.
“Kalau
begitu jangan panggil saya Uni, panggil saja Rina, mungkin usia saya lebih muda
dari Uda…” balas Marina.
“Oke,
oke Rina…”
“Uda
sudah berkeluarga?” tanya Marina kemudian.
Hariadi
tersedak. Batuk-batuk kecil. Kaget dengan pertanyaan Marina barusan.
“Sudah,
tapi kami sudah bercerai…” jawab Hariadi terus terang.
“Punya
anak?”
“Belum
sempat dikaruniai anak,”
“Oh….”
“Pertanyaan
saya belum Rina jawab, bukan?”
“Pertanyaan
yang mana?” Marina pura-pura lupa.
“Ya,
sudah…”
“Papanya
Anisa?”
Hariadi
mengangguk.
“Kami
juga sudah bercerai, Uda…” jawab Marina jujur.
“Horeeeeee…..!!!”
tiba Anisa berteriak girang. Marina terkejut. Namun Hariadi nampak tenang saja.
Hariadi pun tersenyum girang.
“Hus!
Acha! Kamu apa-apan ini!!!” bentak Marina menoleh ke belakang.
“Biarkan
Acha dengan kesenangannya, Rina.” tegur Hariadi kemudian.
“Maksud
Uda, gimana?”
“Acha
senang, mama dan Om-nya senasib gitu, hehehe…” ujar Hariadi menggoda.
“Iiihhhh!
Om-nya Acha, genit…!” Marina cemberut dan nyaris mencubit tangan Hariadi.
“Tapi
benar kata Acha, kita senasib sepenunggangan, eh..sepenanggungan…” gurau
Hariadi kemudian.
Marina
terdiam.
Hariadi
pun terdiam. Sementara kakinya terus menggenjot pedal sepeda air perahu angsa merah.
“Kalau
begitu, mama jadian aja sama om, hehehe…” celetuk Anisa tiba-tiba.
Gerrrr!
Darah mengalir di tubuh Marina berdesir. Jantungnya mulai berdegup kencang.
“Acha,
kamu jangan malu-maluin mama lagi dong…” ujar Marina memelas.
“Uda
mau, koq…” sela Hariadi.
“Kita
baru kenal, Uda. Mana mungkin kita langsung jadian. Saya belum mengenal siapa
Uda begitu sebaliknya,…”.
“Sssttt…”
Hariadi mengatupkan telunjuk di kedua bibirnya. Lalu ia berkata.
“Uda
mau kita jadian. Sepeda air perahu angsa ini, Anisa si bocah manis ini, adalah
saksinya. Perjalanan waktu berikutnya akan membuktikan kalau kita akan saling
mengenal.”
Kembali
Marina terdiam. Dalam hati ia begitu mengagumi cara dan isi bicara lelaki di
samping yang baru dikenalnya.
“Bagaimana,
Rina?”
Tiba-tiba
Anisa meraih tangan kanan mamanya dan tangan kiri Om Hariadi. Kemudian
mempertemukan keduanya. Marina tak dapat menolak, begitu pula Hariadi.
Hariadi
menoleh, menatap wajah Marina. Perlahan Marina menggerakkan kepala dan menatap
balas Hariadi. Kemudian ia tertunduk malu…
“Iya,
uda. Saya mau. Perahu angsa merah, si kecil Anisa dan Talago Anguih ini jadi
saksinya.” balas Marisa dengan bibir bergetar.
“Percayalah
Rina, perjalanan waktu akan membuktikan kesungguhan kita…” timpal Hariadi
diringi oleh tepuk tangan gembira dari Anisa, si bocah kecil yang pintar.
“Dan
percayalah, kita sudah sampai kembali di parkir perahu angsa ini..” ujar Anisa
seraya mengangkat kedua tangannya sambil mengucapkan lafaz hamdalah. Sekian.***