Terkadang Cinta Perlu Rekayasa

 “Antara rekayasa dan kepalsuan itu, ibarat dua sisi mata uang. Itu menurut saya, Ayah…” ujar Sumardi kepada pak Suwirman yang duduk di kursi samping kanannya. Anak dan Ayah itu terlibat percakapan tentang kehidupan yang sering direkayasa dan dipalsukan. Sang Ayah manggut-manggut mendengar pernyataan putra sulungnya itu.

“Ya, boleh jadi sebagian begitu,” sahut pak Wirman kemudian. “Tapi, bagaimana kamu bisa berkata begitu?” tanya pak Wirman menyelidik pikiran putranya yang masih lajang.

“Ya, setidaknya begitulah pemahaman saya tentang proses rekayasa yang terjadi dalam kehidupan ini. Rekayasa terjadi karena ingin menciptakan kepalsuan samar. Sebaliknya kepalsuan merupakan hasil sebuah rekayasa.” Sumardi memaparkan pemikirannya.

“Orang merekayasa sesuatu, menciptakan kepalsuan supaya terlihat sempurna di mata orang lain, begitu maksudmu?” tebak pak Wirman memintas.

Sumardi menganguk. “Supaya tidak terlihat kekurangan atau borok yang disembunyikan. Bahkan seseorang. dengan merekayasa sesuatu ia merasa percaya diri dan bangga” tandas Sumardi.

“Hm, bisa saja begitu. Tapi semua itu tergantung niat dan akibatnya, Adi..”

“Maksud Ayah?”

“Ada rekayasa, niatnya ternyata merugikan orang lain atau pihak lain. Nah, yang ini tidak boleh dilakukan,”

“Contohnya?”

“Rekayasa anggaran keuangan, penghitungan suara Pemilu dan masih banyak yang lainnya.” jelas pak Wirman memberi contoh.

“Lalu, yang tidak merugikan orang lain, Ayah?”

“Rekayasa alis mata, bulu mata, penampilan seseorang di hadapan orang lain. Yang ini tidak merugikan orang lain, bukan?”

“Iya juga ya, Ayah?”

“Ya iya…Termasuk rekayasa cinta!” tambah pak Wirman memancing.

Sumardi tersedak. Ia begitu kaget dengan pernyataan ayahnya barusan.

“Kamu tak usah kaget begitu. Kamu sudah dewasa.” pintas pak Wirman.

“Jadi, Ayah juga begitu dulu kepada Ibu?” seru Sumardi blak-blakan menuduh.

“Ha ha ha ha…” Pak Wirman tertawa lebar. “Makanya dengar baik-baik ucapan Ayah,”

“Oke Ayah, sip…”

“Tapi ada syaratnya…”

“Lho? Kok pake syarat segala, Ayah?”

“Iya, syaratnya gampang...Jangan bilang ibumu…hehehehe…”

“Aman, ayah…”

Pak Wirman menceritakan ketika PDKT sama ibu Sumardi dulunya perlu merekayasa gaya dan penampilan. Berpakaian yang bersih dan rapi, mengenakan minyak wangi. Begitu pula halnya ketika berbicara. Kadang-kadang perlu gladi resik sendiri di rumah sebelum berkunjung ke rumah wanita idamannya.

“Nah, begitu yang Ayah maksud tentang rekayasa cinta,” ujar pak wirman.

Sumardi geleng-geleng kepala. “Bukan main, Ayah…” komentar Sumardi bergumam.

“Makanya Ayah berani katakan, terkadang cinta itu perlu rekayasa. Biar semua jadi lancar dan meyakinkan. Biar anak Ayah yang ganteng ini cepat dapat jodoh.” ujar pak Wirman, blak-blakan tak mau kalah di hadapan putranya.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel