Terkadang Cinta Perlu Rekayasa
Mei 20, 2019
“Antara
rekayasa dan kepalsuan itu, ibarat dua sisi mata uang. Itu menurut saya, Ayah…” ujar Sumardi kepada pak Suwirman yang duduk di kursi samping kanannya. Anak dan Ayah itu terlibat percakapan
tentang kehidupan yang sering direkayasa dan dipalsukan. Sang Ayah manggut-manggut
mendengar pernyataan putra sulungnya itu.
“Ya,
boleh jadi sebagian begitu,” sahut pak Wirman kemudian. “Tapi, bagaimana kamu
bisa berkata begitu?” tanya pak Wirman menyelidik pikiran putranya yang masih lajang.
“Ya,
setidaknya begitulah pemahaman saya tentang proses rekayasa yang terjadi dalam
kehidupan ini. Rekayasa terjadi karena ingin menciptakan kepalsuan samar. Sebaliknya
kepalsuan merupakan hasil sebuah rekayasa.” Sumardi memaparkan pemikirannya.
“Orang
merekayasa sesuatu, menciptakan kepalsuan supaya terlihat sempurna di mata
orang lain, begitu maksudmu?” tebak pak Wirman memintas.
Sumardi
menganguk. “Supaya
tidak terlihat kekurangan atau borok yang disembunyikan. Bahkan seseorang. dengan
merekayasa sesuatu ia merasa percaya diri dan bangga” tandas Sumardi.
“Hm,
bisa saja begitu. Tapi semua itu tergantung niat dan akibatnya, Adi..”
“Maksud
Ayah?”
“Ada
rekayasa, niatnya ternyata merugikan orang lain atau pihak lain. Nah, yang
ini tidak boleh dilakukan,”
“Contohnya?”
“Rekayasa
anggaran keuangan, penghitungan suara Pemilu dan masih banyak yang lainnya.”
jelas pak Wirman memberi contoh.
“Lalu,
yang tidak merugikan orang lain, Ayah?”
“Rekayasa
alis mata, bulu mata, penampilan seseorang di hadapan orang lain. Yang ini
tidak merugikan orang lain, bukan?”
“Iya
juga ya, Ayah?”
“Ya
iya…Termasuk rekayasa cinta!” tambah pak Wirman memancing.
Sumardi
tersedak. Ia begitu kaget dengan pernyataan ayahnya barusan.
“Kamu
tak usah kaget begitu. Kamu sudah dewasa.” pintas pak Wirman.
“Jadi,
Ayah juga begitu dulu kepada Ibu?” seru Sumardi blak-blakan menuduh.
“Ha
ha ha ha…” Pak Wirman tertawa lebar. “Makanya dengar baik-baik ucapan Ayah,”
“Oke
Ayah, sip…”
“Tapi
ada syaratnya…”
“Lho? Kok pake syarat segala, Ayah?”
“Iya, syaratnya gampang...Jangan
bilang ibumu…hehehehe…”
“Aman,
ayah…”
Pak
Wirman menceritakan ketika PDKT sama ibu Sumardi dulunya perlu merekayasa gaya
dan penampilan. Berpakaian yang bersih dan rapi, mengenakan minyak wangi.
Begitu pula halnya ketika berbicara. Kadang-kadang perlu gladi resik sendiri di
rumah sebelum berkunjung ke rumah wanita idamannya.
“Nah,
begitu yang Ayah maksud tentang rekayasa cinta,” ujar pak wirman.
Sumardi
geleng-geleng kepala. “Bukan
main, Ayah…” komentar Sumardi bergumam.
“Makanya
Ayah berani katakan, terkadang cinta itu perlu rekayasa. Biar semua jadi lancar dan
meyakinkan. Biar anak Ayah yang ganteng ini cepat dapat jodoh.” ujar pak Wirman, blak-blakan tak mau kalah di hadapan putranya.***