Iuran Uang Minyak
Mei 06, 2019
Seperti
biasa, Dusun Rimbo Panjang memang selalu sepi kalau sudah masuk waktu Magrib. Selain karena belum disentuh penerangan
listrik, anak-anak di dusun ini pergi mengaji ke surau. Tidak akan ditemui
anak-anak di perempatan atau pertigaan jalan. Juga di warung-waung di seluruh
dusun Rimbo Panjang. Di warung-warung yang diterangi oleh lampu stromking akan
terlihat tanpa pengunjung.
Lain
halnya di sebuah surau yang berada di tengah-tengah dusun Rimbo Panjang.
Suasana jadi riuh oleh suara puluhan anak-anak yang sedang berlatih mengaji. Sesekali terdengar suara Angku Mudo, sebutan untuk guru mengaji
di surau.
Suara Angku Mudo Syair terdengar sekali-sekali ketika ada murid ngaji yang minta bantuan
diajarkan membaca bagian tertentu dalam al Qur’an .
Sebelum
mengaji secara bergiliran, anak-anak surau memang latihan sendiri maupun
bersama untuk membaca Al Qur’an.
Lampu
stromking menyala memerah menerangi seisi ruangan surau. Tiba-tiba lampu
stromking satu-satunya itu menyala redup. Terdengar suara anak-anak mulai menghilang. Angku Mudo Syair dengan segera menurunkan lampu gantung itu dan memompa tabung
minyak.
Lampu stromking menyala terang kembali. Seiring
dengan itu, kembali terdengar riuh suara anak-anak mengaji, melanjutkan latihan membaca al Qur'an.
Dalam
surau, anak-anak ngaji duduk berkelompok dengan tertib. Kalau ada yang
bergelut, tidak belajar membaca al-Qur’an, niscaya akan
mendapat ‘oleh-oleh’ pukulan rotan dari Angku Mudo.
Pukulan
atau cambukan rotan sudah tidak asing lagi di surau Dusun Rimbo Panjang. Toh, orangtua telah
menyerahkan anaknya mengaji ke surau dan siap menerima hukuman pukul atau
cambuk dengan rotan jika melanggar aturan dalam mengaji.
Anak-anak
mengaji duduk menurut tingkatan kemampuan mengajinya. Ada kelompok mengaji al
Qur’an pemula dan tingkatan mahir. Kedua kelompok ini masing-masing duduk
melingkar.
Selain
kelompok mengajai al Qur’an, ada pula kelompok mengaji papan tulis. Kelompok
ini duduk berbanjar, menghadap papan tulis. Mereka terdiri dari kelompok kaji
Alif, mengeja huruf hijaiyah yang ditulis di papan tulis.
Ada
pula tingkatan kedua, mengaji ayat pendek dan tingkatan ketiga mengaji ayat
panjang yang juga dituliskan di papan tulis.
Tiba-tiba
suasana dalam surau jadi hening mana kala terdengar bunyi pukulan rotan pada lantai
surau dari Angku Mudo. Pukulan rotan pada lantai ini menjadi pertanda bagi
murid surau untuk diam dan tak ada lagi yang berbicara.
“Besok
sudah hari Sabtu. Apa yang harus kalian bawa?” tanya Angku Mudo di tengah
keheningan suara.
“Uang
minyak, Ngku Mudo…!” jawab murid-murid mengaji serempak.
“Bagus…”
sahut Angku Mudo seraya manggut-manggut.
“Ayah
saya katanya belum punya uang, Ngku Mudo..” tukas seorang murid ngaji al-Qur’an
tingkat mahir.
Semua
mata tertuju pada anak yang bertanya. Sementara itu Angku Mudo Syair terdiam. Ia tahu kalau
murid itu sudah mulai mahir membaca al Qur’an.
“Kalau begitu, dengan apa kita
beli minyak lampu stromking untuk menerangi kita mengaji?” tanya Angku Mudo
kemudian.
“Iya,
angku Mudo, saya paham. Nanti saya usahakan agar ayah menyiapkan uang minyak
besok, ngku Mudo,” tutur anak itu lagi.
Iuran
mengaji di surau disebut sebagai uang minyak. Murid yang mengaji di surau wajib
membayar iuran uang minyak setiap minggu, tepatnya setiap hari sabtu. Dan guru ngaji pun, memang menggunakan uang itu untuk membeli minyak tanah sebagai bahan bakar lampu penerangan stromking.
Selebihnya iuran uang minyak digunakan Angku Mudo untuk
keperluannya dan disebut sebagai beli sabun Angku Mudo.***