Ayah, Kenapa Engkau Harus Kembali
Juni 27, 2019
Ayah, kenapa engkau harus kembali - Setahun telah berlalu, kini usia telah
menginjak 6 tahun. Seperti biasanya aku masih... dan selalu bersama si mba. Yah, benar mba
sudah melebihi dari seorang pengabdi di rumah kami. Dia adalah orang yang sudah
merawat aku dari kecil. Guru
ketika di rumah, yang mengajarkan berbagai
hal terutama berkaitan dengan etika.
Bisa dibilang meskipun aku terlahir dari
keluarga yang kaya, memiliki segalanya. Namun, berkat didikan mba aku hanyalah
si dia anak yang sederhana. Kata mba,
"Meski
nona kaya, tapi nona dengan mereka sama-sma memiliki hati. Hati yang mudah
hancur meski hanya karena sebuah kata, hati yang mudah rapuh hanya karena salah
tingkah. Kekayaan yang nona punya bukan seutuhnya kepunyaan nona, melainkan ada hak orang lain
yang dititipkan pada riski
nona."
Mba mengajarkanku segala kebaikan dengan kelembutan dan
ketulusan. Hampir setiap saat aku menghabiskan waktu bersamanya.
Ya terkadang aku lebih membutuhkannya
dibanding dengan ibuku sendiri. Saat pulang sekolah orang pertama yang aku cari
ialah si mba bukan ibu. Ibu orang yang sangat sibuk lebih mementingkan karier
dibanding anaknya sendiri.
Lagi-lagi mba datang sebagai penyejuk hati, penawar luka lara. Mba bilang
"Nona Ibu sayang nona, makanya ibu kerja banting
tulang, Ibu
nak masa depan putri-putrinya cerah. Nona jangan sedih karena ibu jarang
memiliki waktu untuk keluarga, kan
masih ada mba yang selalu ada untuk nona yang manis." Lagi-lagi senyumannya adalah
air yang memadamkan api.
Oh ya, cerita soal balon penghantar mimpi aku
masih melakukannya dan hal yang membuat aku bahagia adalah ketika mendapatkan
surat balasannya. Hari ini adalah puncak kebahagiaanku.
Lihat juga : Balon Pengantar Mimpi
Setelah 1 tahun
kepergiannya, kini aku mendapat kabar bahwa ayah segera pulang. Adikku yang
paling kecil bahkan sudah tak kenal ayahnya.
Hal pertama yang aku pikirkan adalah
saat pintu terbuka untuk ayah adalah berlari menjemputnya lalu memeluknya
seerat mungkin.
Satu....
Dua...
Ti.......
Suasana semula yang begitu ramai, hening seribu bahasa, hancur sudah apa yang telah
dibayangkan. Ternyata hal ini lebih
menyakitkan dibanding diacuhkan olehnya. Kalau tau begini akhirnya mending ayah
tak kembali. Niat semula yang ingin berlari mendekatinya malah berubah balik
kanan menjauhinya.
Hati yang semula berbunga mekarnya indah
melihat seorang anak kecil di dekapannya melayukan segalanya. Senyum manis yang
terlukis diwajah wanita sebelahnya menjadi pisau penyayat luka.
Kenapa engkau harus kembali ayah? Kenapa
engkau ganti angan ini dengan mimpi buruk? Aku terima semua kekuranganmu, tentang minimnya waktu untuk
bersama. Jangankan bermain bersama, ngobrol satu
menit saja susah.
Sekarang kami dengar ayah pulang, betapa bahagia dan betapa
terkejutnya, saat
pintu terbuka, ayah datang ga seorang diri saja, tetapi dengan membawa
seorang perempuan dan anak kecil yang digendongan Ayah.
Aku kecewa Ayah, engkau kembali hanya untuk
menyayat luka yang belum sembuh! (Penulis : Andini Meysi Ullanda)