Cerpen Pasar Malam
Oktober 13, 2019
“Selamat sore, masyarakat negeri Entah
Berantah...! Nanti malam, anda akan dapat menikmati, aneka macam atraksi dan
permainan, di pasar malam yang bertempat di ibu kecamatan ini. Mari kita
kunjungi beramai-ramai, jangan sampai anda ketinggalan. Ajak keluarga dan
tetangga serta sanak famili anda untuk naik bianglala, komedi putar, galeon dan
lain-lainnya …!!!”
Pengumuman
itu terdengar jelas melalui pengeras suara dari sebuah mobil pickup L 300 yang
bergerak pelan. Bocah-bocah kecil mulai merengek, ingin naik komedi putar. Kaum
remaja putra dan putri senyum kecil mendengar acara pasar malam bertepatan
dengan malam mingguan.
Ternyata
orang dewasa, emak-emak, ibu-ibu muda, tak kalah gembiranya mendengar promosi
pasar malam itu.
Senja
datang menjelang, diiringi suara azan untuk menunaikan shalat fardhu Magrib.
Masyarakat di negeri yang bernama ‘Antah Berantah’ itu mulai berkemas-kemas
untuk menuju arena pasar malam usai menunaikan ibadah shalat Magrib.
Di
jalan raya mulai terdengar kebisingan dari suara knalpot kendaraan beroda dua
yang menuju arena pasar malam di ibu kecamatan. Junaidi pun tak mau
ketinggalan. Anak muda berusia 20-an yang masih jomblo itu, sudah bersiap-siap
hendak berangkat ke ibu kecamatan.
“Kak,
jangan lupa bawa oleh-olehnya pulang dari pasar malam…” ujar Suminten, yang
ternyata sudah berdiri di pintu melepas kakaknya pergi ke pasar malam..
“Kamu
mau oleh-oleh apa, Sum?” tanya Junaidi mematikan mesin motornya kembali.
“Hm,
apa ya? Kakak ipar aja, deh…”
“Jangan
bercanda ah…”
“Biar
abang enggak diketawaian papa dan mama, jomblo abadi, hehehe…”
“Kamu
mau dibawain oleh-oleh boneka, Sum?” ujar Junaidi sengaja mengalihkan
pembicaraan Suminten, adik satu-satunya.
“Kalau
abang sempat, ya enggak apa-apalah,” ujar Suminten menutup daun pintu.
Sebenarnya
Junaidi tak mau ambil pusing dengan candaan adiknya tadi di rumah. Membawa
oleh-oleh calon kakak ipar. Emangya semudah itu, dapat pacar di keramaian
seperti di pasar malam?
Huftt…!
Junaidi terbatuk.
Direlung
hatinya ia ingin juga punya pacar. Selama ini ia merasa tidak ada yang mau
dengannya. Ia merasa dirinya terlalu kuper, kurang pergaulan. Terlalu lemah
menghadapi perempuan.
Selama
ini Junaidi hanya memikirkan kerja, kerja…mengumpulkan uang untuk membiayai
sekolah adiknya Suminten. Junaidi terlalu berharap banyak pada Suminten agar
kelak menjadi sarjana.
*****
Hiruk
pikuk keramaian di arena pasar malam mulai terdengar. Setelah memarkir motor
Junaidi melangkah agak tergesa-gesa menyeruak disela-sela orang banyak menuju
arena hiburan.
Brakkk…!
Bahu
junaidi menyenggol seseorang sampai terhuyung ke pagar wahana komedi putar.
“Mmma…,
maaf ya dek, enggak sengaja,” Junaidi gugup dan salah tingkah.
“Ndak
apa-apa, bang…” ujar perempuan yang memegang tangan kirinya yang kesakitan.
“Benar
nggak apa-apa…?”
Wanita
yang usianya lebih muda dari Junaidi itu mengangguk pelan. Junaidi merasa lega.
Tapi di hatinya merasa bersalah melihat wanita itu kesakitan di tangannya.
“Hm…,
maaf, siapa namanya, dek”
“Ariani,
panggil saja Ani…”
“Oh
ya, saya Junaidi, panggil saja Bang Jun.” ujar Junaidi menyodorkan tangan memperkenalkan diri
tanpa diminta. Ariani membalas sodoran tangan Junaidi.
“Kesini, bersama siapa, sendirian…?”
Ariani
mengangguk.
“Hm,
bagaimana kalau kita ke tempat bakso saja dulu?” Junaidi menawarkan jasanya.
“Tidak
usah repot, bang Jun.”
“Bukan
begitu, Ani. Anggaplah abang saat ini menebus kesalahan, telah menyenggol dan
membuat Ani hampir terjatuh dan sakit pada tangan.”
Ariani
tak menjawab.
“Oke?”
Ariani
mengangguk.
Usai
makan bakso di lapak pinggiran, mereka menyusuri seputar arena pasar malam.
Kini .Junaidi sedikit lega. Paling tidak, dia tidak sendirian menyaksikan pasar
malam.
“Ani,
mau naik galleon atau bianglala…?” tanya
Junaidi.
“Nggak,
Ani takut…Tapi kalau abang mau naik, Ani tunggu…”
Junaidi
terdiam sejenak.
“Bagaimana
kalau kita naik sama-sama?”
Ariani
menggeleng.
“Kenapa
nggak mau, Ani?”
“Nanti
dimarahin pacarnya abang.”
Junaidi
tercekat.
“Abang
tidak punya pacar. Atau, jangan-jangan Ani enggak mau, takut ketahuan
pacarnya…?”
Ariani
tersenyum. Manis sekali senyum dari bibir mungil dan indah itu.
“Menurut
abang, ani sudah punya pacar apa belum..?” Ariani balik bertanya.
“Nggak
tau, tapi siapa tau sudah punya pacar…”
“Belum
ada yang mau,,”
Junaidi
tercenung. Wanita secantik ini belum punya pacar? Sulit rasanya Junaidi untuk
percaya.
“Barangkali,
Ani yang tidak mau…”selidik Junaidi.
“Kalau
abang, gimana…?
“Juga
belum ada yang mau….”
“Oohh…”
“Kalau
ada yang mau, sekarang gimana, Ani?”
Ani
terdiam. Wanita itu sudah dapat menyambar dan memahami pertanyaan pria yang baru
dikenalnya itu.
“Gmana
ya…? Tapi bang, kita baru saja berkenalan,” pintas Ariani.
“Iya,
abang maklum. Kita baru saja beberapa jam berkenalan.” balas Junaidi meskipun
agak kecewa. Junaidi menekur seraya melipat kedua tangan di dada.
Sementara
Ariani melirik sekilas ke wajah Junaidi. Ariani mengerti apa arti tekuran
kepala pria di sampingnya.
“Bang…”
“Iya,…”
“Waktu
akan berbicara, bang. Kalau jodoh, kita pasti akan bertemu kembali. Dan, pasar
malam ini adalah awal dari semua itu,” ujar Ariani.
Junaidi
terdiam.
Lihat juga cerpen : Keputusan Guru Samin
Kagum
atas ucapan Ariani barusan. Tiba-tiba Junaidi tersenyum dan menatap Ariani
penuh harap. Ariani pun tersenyum senang. Dari tadi, baru kali ini Ariani
melihat Junaidi tersenyum.