Cerpen Pasar Malam

 “Selamat sore, masyarakat negeri Entah Berantah...! Nanti malam, anda akan dapat menikmati, aneka macam atraksi dan permainan, di pasar malam yang bertempat di ibu kecamatan ini. Mari kita kunjungi beramai-ramai, jangan sampai anda ketinggalan. Ajak keluarga dan tetangga serta sanak famili anda untuk naik bianglala, komedi putar, galeon dan lain-lainnya …!!!”
Pengumuman itu terdengar jelas melalui pengeras suara dari sebuah mobil pickup L 300 yang bergerak pelan. Bocah-bocah kecil mulai merengek, ingin naik komedi putar. Kaum remaja putra dan putri senyum kecil mendengar acara pasar malam bertepatan dengan malam mingguan.
Ternyata orang dewasa, emak-emak, ibu-ibu muda, tak kalah gembiranya mendengar promosi pasar malam itu.
Senja datang menjelang, diiringi suara azan untuk menunaikan shalat fardhu Magrib. Masyarakat di negeri yang bernama ‘Antah Berantah’ itu mulai berkemas-kemas untuk menuju arena pasar malam usai menunaikan ibadah shalat Magrib.
Di jalan raya mulai terdengar kebisingan dari suara knalpot kendaraan beroda dua yang menuju arena pasar malam di ibu kecamatan. Junaidi pun tak mau ketinggalan. Anak muda berusia 20-an yang masih jomblo itu, sudah bersiap-siap hendak berangkat ke ibu kecamatan. 
“Kak, jangan lupa bawa oleh-olehnya pulang dari pasar malam…” ujar Suminten, yang ternyata sudah berdiri di pintu melepas kakaknya pergi ke pasar malam..
“Kamu mau oleh-oleh apa, Sum?” tanya Junaidi mematikan mesin motornya kembali.
“Hm, apa ya? Kakak ipar aja, deh…”
“Jangan bercanda ah…”
“Biar abang enggak diketawaian papa dan mama, jomblo abadi, hehehe…”
“Kamu mau dibawain oleh-oleh boneka, Sum?” ujar Junaidi sengaja mengalihkan pembicaraan Suminten, adik satu-satunya.
“Kalau abang sempat, ya enggak apa-apalah,” ujar Suminten menutup daun pintu.
Sebenarnya Junaidi tak mau ambil pusing dengan candaan adiknya tadi di rumah. Membawa oleh-oleh calon kakak ipar. Emangya semudah itu, dapat pacar di keramaian seperti di pasar malam?
Huftt…! Junaidi terbatuk.
Direlung hatinya ia ingin juga punya pacar. Selama ini ia merasa tidak ada yang mau dengannya. Ia merasa dirinya terlalu kuper, kurang pergaulan. Terlalu lemah menghadapi perempuan.
Selama ini Junaidi hanya memikirkan kerja, kerja…mengumpulkan uang untuk membiayai sekolah adiknya Suminten. Junaidi terlalu berharap banyak pada Suminten agar kelak menjadi sarjana.
*****
Hiruk pikuk keramaian di arena pasar malam mulai terdengar. Setelah memarkir motor Junaidi melangkah agak tergesa-gesa menyeruak disela-sela orang banyak menuju arena hiburan.
Brakkk…!
Bahu junaidi menyenggol seseorang sampai terhuyung ke pagar wahana komedi putar.
“Mmma…, maaf ya dek, enggak sengaja,” Junaidi gugup dan salah tingkah.
“Ndak apa-apa, bang…” ujar perempuan yang memegang tangan kirinya yang kesakitan.
“Benar nggak apa-apa…?”
Wanita yang usianya lebih muda dari Junaidi itu mengangguk pelan. Junaidi merasa lega. Tapi di hatinya merasa bersalah melihat wanita itu kesakitan di tangannya.
“Hm…, maaf, siapa namanya, dek”
“Ariani, panggil saja Ani…”
“Oh ya, saya Junaidi, panggil saja Bang Jun.” ujar Junaidi menyodorkan tangan memperkenalkan diri tanpa diminta. Ariani membalas sodoran tangan Junaidi.
“Kesini, bersama siapa, sendirian…?”
Ariani mengangguk.
“Hm, bagaimana kalau kita ke tempat bakso saja dulu?” Junaidi menawarkan jasanya.
“Tidak usah repot, bang Jun.”
“Bukan begitu, Ani. Anggaplah abang saat ini menebus kesalahan, telah menyenggol dan membuat Ani hampir terjatuh dan sakit pada tangan.”
Ariani tak menjawab.
“Oke?”
Ariani mengangguk.
Usai makan bakso di lapak pinggiran, mereka menyusuri seputar arena pasar malam. Kini .Junaidi sedikit lega. Paling tidak, dia tidak sendirian menyaksikan pasar malam.
“Ani, mau naik galleon atau bianglala…?”  tanya Junaidi.
“Nggak, Ani takut…Tapi kalau abang mau naik, Ani tunggu…”
Junaidi terdiam sejenak.
“Bagaimana kalau kita naik sama-sama?”
Ariani menggeleng.
“Kenapa nggak mau, Ani?”
“Nanti dimarahin pacarnya abang.”
Junaidi tercekat.
“Abang tidak punya pacar. Atau, jangan-jangan Ani enggak mau, takut ketahuan pacarnya…?”
Ariani tersenyum. Manis sekali senyum dari bibir mungil dan indah itu.
“Menurut abang, ani sudah punya pacar apa belum..?” Ariani balik bertanya.
“Nggak tau, tapi siapa tau sudah punya pacar…”
“Belum ada yang mau,,”
Junaidi tercenung. Wanita secantik ini belum punya pacar? Sulit rasanya Junaidi untuk percaya.
“Barangkali, Ani yang tidak mau…”selidik Junaidi.
“Kalau abang, gimana…?
“Juga belum ada yang mau….”
“Oohh…”
“Kalau ada yang mau, sekarang gimana, Ani?”
Ani terdiam. Wanita itu sudah dapat menyambar dan memahami pertanyaan pria yang baru dikenalnya itu.
“Gmana ya…? Tapi bang, kita baru saja berkenalan,” pintas Ariani.
“Iya, abang maklum. Kita baru saja beberapa jam berkenalan.” balas Junaidi meskipun agak kecewa. Junaidi menekur seraya melipat kedua tangan di dada.
Sementara Ariani melirik sekilas ke wajah Junaidi. Ariani mengerti apa arti tekuran kepala pria di sampingnya.
“Bang…”
“Iya,…”
“Waktu akan berbicara, bang. Kalau jodoh, kita pasti akan bertemu kembali. Dan, pasar malam ini adalah awal dari semua itu,” ujar Ariani.
Junaidi terdiam.
Lihat juga cerpen : Keputusan Guru Samin
Kagum atas ucapan Ariani barusan. Tiba-tiba Junaidi tersenyum dan menatap Ariani penuh harap. Ariani pun tersenyum senang. Dari tadi, baru kali ini Ariani melihat Junaidi tersenyum.

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel