Cerpen : Keputusan Guru Samin
Oktober 11, 2019
“Coba pikirkan kembali keputusan pak Samin,” ujar
sang kepala sekolah di belakang mejanya. Pak Jumadi, sang kepala sekolah,
sebenarnya tidak begitu kaget dengan keputusan yang disampaikan guru Samin.
Sebelumnya ia sudah mendengar kabar angin dari guru-guru tentang keinginan guru
Samin untuk mengundurkan diri sebagai wakil kepala sekolah.
“Sudah
saya pikirkan sebelumnya, pak,” jawab guru Samin mantap.
Pak
Jumadi tercenung. Ia menelan ludah. Tenggorongannya terasa kering mendengar
kebulatan tekad guru Samin, berhenti menjadi pembantunya dalam menjalankan
tugas bidang Kurikulum.
“Barangkali,
pak Samin marah, atau pernah tersinggung oleh ucapan dan tindakan saya selaku
pimpinan di sekolah ini?” tanya pak Jumadi menyelidik. Namun guru Samin
menggeleng cepat dan tersenyum kecil.
“Sama
sekali tidak, pak...” timpal guru Samin kemudian
“Lho?
Kalau begitu, apa yang membuat pak Samin berubah pikiran dan mengambil
keputusan seperti inI?”.
“Maaf,
pak. Saya bukan berubah pikiran. Keputusan yang saya ambil ini sudah saya
pikirkan dan pertimbangkan matang-matang sejak beberapa bulan terakhir, pak,”
terang guru Samin.
“Waduh,
pak Samin. Sangat disayangkan, satu atau dua semester lagi pak Samin bisa
mengajukan diri menjadi kepala sekolah. Dan, kalau pak Samin sabar, satu
semester lagi pak Samin bisa menyelesaikan program kualifikasi guru….”
“Saya
juga berhenti program kualifikasi guru itu, pak…” potong guru Samin.
Lagi-lagi
pak Jumadi menggeleng kepala.
“Kenapa
begitu, pak Samin?”
“Saya
tidak yakin apa yang saya lakukan saat ini, gelar dan jabatan atau pun pangkat, tidak akan terlalu banyak menolong diri saya sampai saat ini lagi, pak.”
“Maksud
pak Samin?”
“Saya
ingin jadi guru biasa saja, dan mengurus anak-anak saya yang sekarang sedang
dibangku sekolah semuanya, pak….”
“Otomatis
pak samin juga tidak ikut program sertifikasi?” pintas pak Jumadi.
“Iya, termasuk tidak ikut program sertifikasi.
Keputusan ini bukan karena bapak selaku kepala sekolah yang menjadi
penyebabnya, murni keinginan saya. Tapi percayalah, saya terus akan berusaha menjadi
guru yang baik bagi murid-murid kita untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah
ini.”
Untuk
kesekian kalinya pak Jumadi menghela nafasnya.
“Baiklah
pak Samin. Saya tidak dapat berbuat apa-apa lagi dengan keputusan pak Samin ini,” ujar pak
Jumadi seraya menggeleng-geleng kepala.
“Terima
kasih pengertiannya, pak.”
Guru
Samin meninggalkan ruang kepala sekolah dengan hati lega.
Guru
dengan 5 anak yang masih dalam bangku pendidikan itu menyadari akibat keputusannya.
Anak-anak yang masih bersekolah pasti
membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak akan cukup dengan gaji pokok
semata.
Lihat juga cerpen : Roda Kehidupan
Di
benak guru Samin juga terbayang perjalanan kehidupan penuh kabut hitam yang bakal
dilewatinya. Namun ia masih memiliki pengharapan agar kabut perjalanan hidup itu
dapat dilewati tanpa mengeluh.
Dan misinya untuk mengantarkan anak-anaknya meraih gelar sarjana terwujudkan.***