Cerpen : Keputusan Guru Samin

Coba pikirkan kembali keputusan pak Samin,” ujar sang kepala sekolah di belakang mejanya. Pak Jumadi, sang kepala sekolah, sebenarnya tidak begitu kaget dengan keputusan yang disampaikan guru Samin. Sebelumnya ia sudah mendengar kabar angin dari guru-guru tentang keinginan guru Samin untuk mengundurkan diri sebagai wakil kepala sekolah.
“Sudah saya pikirkan sebelumnya, pak,” jawab guru Samin mantap.
Pak Jumadi tercenung. Ia menelan ludah. Tenggorongannya terasa kering mendengar kebulatan tekad guru Samin, berhenti menjadi pembantunya dalam menjalankan tugas  bidang Kurikulum.
“Barangkali, pak Samin marah, atau pernah tersinggung oleh ucapan dan tindakan saya selaku pimpinan di sekolah ini?” tanya pak Jumadi menyelidik. Namun guru Samin menggeleng cepat dan tersenyum kecil.
“Sama sekali tidak, pak...” timpal guru Samin kemudian 
“Lho? Kalau begitu, apa yang membuat pak Samin berubah pikiran dan mengambil keputusan seperti inI?”.
“Maaf, pak. Saya bukan berubah pikiran. Keputusan yang saya ambil ini sudah saya pikirkan dan pertimbangkan matang-matang sejak beberapa bulan terakhir, pak,” terang guru Samin.
“Waduh, pak Samin. Sangat disayangkan, satu atau dua semester lagi pak Samin bisa mengajukan diri menjadi kepala sekolah. Dan, kalau pak Samin sabar, satu semester lagi pak Samin bisa menyelesaikan program kualifikasi guru….”
“Saya juga berhenti program kualifikasi guru itu, pak…” potong guru Samin.
Lagi-lagi pak Jumadi menggeleng kepala.
“Kenapa begitu, pak Samin?”
“Saya tidak yakin apa yang saya lakukan saat ini, gelar dan jabatan atau pun pangkat, tidak akan terlalu banyak menolong diri saya sampai saat ini lagi, pak.”
“Maksud pak Samin?”
“Saya ingin jadi guru biasa saja, dan mengurus anak-anak saya yang sekarang sedang dibangku sekolah semuanya, pak….”
“Otomatis pak samin juga tidak ikut program sertifikasi?” pintas pak Jumadi.
 “Iya, termasuk tidak ikut program sertifikasi. Keputusan ini bukan karena bapak selaku kepala sekolah yang menjadi penyebabnya, murni keinginan saya. Tapi percayalah, saya terus akan berusaha menjadi guru yang baik bagi murid-murid kita untuk meningkatkan mutu pendidikan di sekolah ini.”
Untuk kesekian kalinya pak Jumadi menghela nafasnya.
“Baiklah pak Samin. Saya tidak dapat berbuat apa-apa lagi  dengan keputusan pak Samin ini,” ujar pak Jumadi seraya menggeleng-geleng kepala.
“Terima kasih pengertiannya, pak.”
Guru Samin meninggalkan ruang kepala sekolah dengan hati lega.
Guru dengan 5 anak yang masih dalam bangku pendidikan itu menyadari akibat keputusannya. Anak-anak yang masih bersekolah pasti membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tidak akan cukup dengan gaji pokok semata.
Lihat juga cerpen : Roda Kehidupan
Di benak guru Samin juga terbayang perjalanan kehidupan penuh kabut hitam yang bakal dilewatinya. Namun ia masih memiliki pengharapan agar kabut perjalanan hidup itu dapat dilewati tanpa mengeluh.

Dan misinya untuk mengantarkan anak-anaknya meraih gelar sarjana terwujudkan.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel