Cerpen - Ketika Rindu Tak Selalu Menyiksa
November 29, 2019
Efendy menatap lurus jauh
ke depan. Tatapannya yang hampa melewati pekarangan sekolah yang luas dan hijau.
Pandangannya tertumbuk pada salah satu ruang kelas yang pintunya telah
tertutup. Tidak ada siapa-siapa di sana. Kegiatan pembelajaran hari itu memang
telah berakhir. Warga sekolah sudah pulang ke rumah masing-masing sejak tadi.
Bukan
siswa penghuni kelas, yang kini ada dalam ilusi Efendy, tatkala menatap kelas
itu dari meja piket yang berada di koridor depan kantor sekolah. Justru cara
dan gaya mengajar seorang guru di kelas itu yang terbayang oleh Efendy.
Wiraningtyas!
Ya, sosok yang sudah lama hadir dalam ilusi Efendy. Diam-diam ia menjadi
perindu rahasia, sejak mengenal wanita, yang memang tidak muda lagi dari segi
usia.
Efendy
menghela nafas. Berat.
“Oh,
tidak mungkin!”
Efendy
sangat menyadari kalau dirinya tidak mungkin membuka mulut, apalagi bertindak gegabah.
Lebih baik ia diam membisu seribu bahasa. Menikmati diam-diam sejumput
perhatian, ulasan senyum dari bibir Wiraningtyas, yang entah benar entah tidak
untuk dirinya.
Sebagai
lelaki ia sangat ketakutan. Takut kepada dirinya sendiri. Juga takut kepada Wiraningtyas.
Efendy takut kalau Wiraningtyas mengetahui apa yang dirasakannya saat ini.
Rindu!
Kadang-kadang,
Efendy mengumpat dirinya sendiri sebagai lelaki pengecut. Namun di sisi lain ia
merasa, itu lebih baik ketimbang dirinya jadi seorang pemberani. Menjadi
pemberani justru akan membahayakan dirinya sendiri dan Wiraningtyas.
Ia
tidak mau Wiraningtyas marah. Kalau sekadar marah, mungkin tidak seberapa.
Lebih dari itu justru, akan mengganggu ketentraman hidup Wiraningtyas. Itu sangat
tak diinginkan Efendy.
Ia ingin melihat Wiryaningtyas tenang bertugas sebagai
guru. Bahagia bersama keluarganya.
Itu
sebabnya Efendy lebih memilih jadi pengecut, menutup rapat-rapat rahasia hatinya.
Agar tidak satupun manusia yang tahu
bahwa dirinya telah lama menjadi perindu rahasia.
“Ah,
tidak mungkin Wiraningtyas. Kamu tidak boleh tahu, siapa pun tidak boleh mengetahui
kalau aku merindukanmu,” Kembali Efendy membatin. “Biarlah aku menjadi perindu
rahasia selamanya. Menikmati getar-getar kerinduan ini setiap hari tanpa harus
tersiksa. Merindu itu tidak harus merasa tersiksa, seperti yang kurasakan saat
ini,”
“Lagi
mikirin ibuk di rumah ya, pak Fendy?” Sebuah suara menyapa, membuyarkan lamunan Efendy. Tiba-tiba
jantung Efendy berdenyut kencang karena ia sudah hafal suara wanita
yang menyapanya barusan.
“Eh…,
oh…iya, Ningtyas…” balas Efendy gugup, berbohong.
“Pak
Fendy sudah ngambil absensi pulang?” tanya Wiraningtyas kemudian..
Efendy
merasa sedikit lega.
“Sudah.
Ningtyas bagaimana?”
“Ini
barusan. Tadi usai mengajar saya langsung pulang dan berencana kembali untuk
ngambil absensi pulang sore ini,” sahut Wiraningtyas.
“Oh,”
“Saya
duluan pulang ya pak Fendy, masih ada pekerjaan di rumah,” ujar Wiraningtyas
pamit.
“Iya,
hati-hati, Ningtyas,”
“Baik
pak Fendy. Bapak belum pulang juga?”
“Iya,
saya juga mau pulang, Ningtyas…”
Lihat juga : Karena Hujan di Bulan Desember
Sementara
itu senja mulai membayang pertanda akan berganti dengan malam. Efendy bangkit
dan melangkah menuju motornya. Diam-diam hatinya merasa lega.***