Cerpen - Ketika Rindu Tak Selalu Menyiksa

Efendy menatap lurus jauh ke depan. Tatapannya yang hampa melewati pekarangan sekolah yang luas dan hijau. Pandangannya tertumbuk pada salah satu ruang kelas yang pintunya telah tertutup. Tidak ada siapa-siapa di sana. Kegiatan pembelajaran hari itu memang telah berakhir. Warga sekolah sudah pulang ke rumah masing-masing sejak tadi.
Bukan siswa penghuni kelas, yang kini ada dalam ilusi Efendy, tatkala menatap kelas itu dari meja piket yang berada di koridor depan kantor sekolah. Justru cara dan gaya mengajar seorang guru di kelas itu yang terbayang oleh Efendy.
Wiraningtyas! Ya, sosok yang sudah lama hadir dalam ilusi Efendy. Diam-diam ia menjadi perindu rahasia, sejak mengenal wanita, yang memang tidak muda lagi dari segi usia.
Efendy menghela nafas. Berat.
“Oh, tidak mungkin!”
Efendy sangat menyadari kalau dirinya tidak mungkin membuka mulut, apalagi bertindak gegabah. Lebih baik ia diam membisu seribu bahasa. Menikmati diam-diam sejumput perhatian, ulasan senyum dari bibir  Wiraningtyas, yang entah benar entah tidak untuk dirinya.
Sebagai lelaki ia sangat ketakutan. Takut kepada dirinya sendiri. Juga takut kepada Wiraningtyas. Efendy takut kalau Wiraningtyas mengetahui apa yang dirasakannya saat ini. Rindu!
Kadang-kadang, Efendy mengumpat dirinya sendiri sebagai lelaki pengecut. Namun di sisi lain ia merasa, itu lebih baik ketimbang dirinya jadi seorang pemberani. Menjadi pemberani justru akan membahayakan dirinya sendiri dan Wiraningtyas.
Ia tidak mau Wiraningtyas marah. Kalau sekadar marah, mungkin tidak seberapa. Lebih dari itu justru, akan mengganggu ketentraman hidup Wiraningtyas. Itu sangat tak diinginkan Efendy. 
Ia ingin melihat Wiryaningtyas tenang bertugas sebagai guru.  Bahagia bersama keluarganya.
Itu sebabnya Efendy lebih memilih jadi pengecut, menutup rapat-rapat rahasia hatinya. Agar tidak satupun manusia yang tahu  bahwa dirinya telah lama menjadi perindu rahasia.
“Ah, tidak mungkin Wiraningtyas. Kamu tidak boleh tahu, siapa pun tidak boleh mengetahui kalau aku merindukanmu,” Kembali Efendy membatin. “Biarlah aku menjadi perindu rahasia selamanya. Menikmati getar-getar kerinduan ini setiap hari tanpa harus tersiksa. Merindu itu tidak harus merasa tersiksa, seperti yang kurasakan saat ini,”
“Lagi mikirin ibuk di rumah ya, pak Fendy?” Sebuah suara menyapa, membuyarkan lamunan Efendy. Tiba-tiba jantung Efendy berdenyut kencang karena ia sudah hafal suara wanita yang menyapanya barusan.
“Eh…, oh…iya, Ningtyas…” balas Efendy gugup, berbohong.
“Pak Fendy sudah ngambil absensi pulang?” tanya Wiraningtyas kemudian..
Efendy merasa sedikit lega.
“Sudah. Ningtyas bagaimana?”
“Ini barusan. Tadi usai mengajar saya langsung pulang dan berencana kembali untuk ngambil absensi pulang sore ini,” sahut Wiraningtyas.
“Oh,”
“Saya duluan pulang ya pak Fendy, masih ada pekerjaan di rumah,” ujar Wiraningtyas pamit.
“Iya, hati-hati, Ningtyas,”
“Baik pak Fendy. Bapak belum pulang juga?”
“Iya, saya juga mau pulang, Ningtyas…”
Lihat juga : Karena Hujan di Bulan Desember
Sementara itu senja mulai membayang pertanda akan berganti dengan malam. Efendy bangkit dan melangkah menuju motornya. Diam-diam hatinya merasa lega.***