Makan Nasi dengan Garam

 “Pernah makan nasi dengan garam? Begitu pertanyaan saya kepada seorang murid pada saat bincang-bincang ringan sore hari, sambil nunggu waktu untuk mengambil absensi pada mesin frintfinger. Semula saya mengira, murid saya itu akan menjawabnya dengan jawaban, ‘pernah’ atau ‘tidak pernah’.
Ternyata perkiraan saya meleset. Siswa saya malah balik bertanya,
“Gimana rasanya kalau makan pakai garam doang, Pak? Apa Bapak pernah dulu semasa sekolah, makan nasi hanya dengan garam doang?”
Saya tidak ingin siswa saya ini kecewa jika saya mengkritik jawabannya yang tidak sesuai pertanyaan yang saya ajukan. Sambil tersenyum kecil saya menjawab saja dengan jujur.
“Bukan pernah lagi, tapi sering….! Kalau ditanya rasanya, ya… enak. Soalnya perut sudah kelewat lapar sementara orangtua Bapak tidak punya uang untuk membeli bahan lauk-pauk sebagai teman makan nasi.”
Saya lihat dengan sudut mata, siswa saya ini serius mendengar cerita saya. Makanya saya kembali melanjutkannya.
“Kalau perut sudah lapar, jangankan pakai garam, hanya makan nasi doang akan terasa enak. Tapi biasanya, Bapak akan mencari kelapa dan memarutnya sendiri kemudian diberi garam. Makan nasi dengan parutan kelapa dan garam juga enak. Apalagi dikasih sedikit cabai merah.”
“Kamu pernah makan nasi dengan garam?” Kembali saya ulangi pertanyaan untuk siswa.
“Rasanya belum pernah, pak.”
“Wah, baguslah kalau begitu.”
“Lho? Kenapa bagus, Pak?”
“Kamu termasuk anak yang beruntung hidup di zaman moderen ini. Semua serba ada dan mudah didapatkan. Kalau enggak ada teman makan nasi di rumah, kamu bisa belinya di warung nasi. Sekarang sudah banyak warung nasi. Kalaupun tidak ada uang sekarang, kamu bisa ngutang dulu. Iya kan?”
Murid saya mengangguk.
Saya kembali tersenyum kecil manakala saya melihat tangannya sedang menggenggam android bagus. Androidnya saja bagus, apalagi penampilannya yang cukup menarik.  Mana mungkin siswa saya ini pernah makan nasi dengan garam.
“Begitu susahnya jadi anak sekolah zaman dulu ya, Pak?” tanya murid saya kemudian.
“Hm, gimana, ya?” Saya garut-garut kepala yang memang tidak gatal. Namun akhirnya dapat menjawabnya. “Kebetulan, Bapak sendiri memang hidup susah. Anak sekolah sekarang  juga ada yang susah hidupnya meskipun zaman sudah canggih,” 
“Meskipun Bapak dulu semasa sekolah sering makan nasi dengan garam. Tapi Bapak rajin belajar ya, Pak?”
Waduh, ternyata siswa saya yang cantik ini nyinyir, kepo banget sama gurunya.
“Iya, mungkin karena Bapak ingin hidup di kemudian hari tidak lagi makan nasi dengan garam. Rajin pangkal pandai, begitu kata pepatah. Kalau rajin belajar semasa sekolah nanti akan jadi orang pintar.”
Bunyi nada pada mesin printfinger terdengar menghentikan percakapan antara saya dengan murid. Bunyi nada frintfinger pertanda ambang batas waktu bertugas di sekolah telah berakhir.***

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel