Makan Nasi dengan Garam
November 10, 2019
“Pernah
makan nasi dengan garam?” Begitu pertanyaan saya kepada seorang
murid pada saat bincang-bincang ringan sore hari, sambil nunggu waktu untuk mengambil
absensi pada mesin frintfinger. Semula saya mengira, murid saya itu akan menjawabnya
dengan jawaban, ‘pernah’ atau ‘tidak pernah’.
Ternyata
perkiraan saya meleset. Siswa saya malah balik bertanya,
“Gimana
rasanya kalau makan pakai garam doang, Pak? Apa Bapak pernah dulu semasa
sekolah, makan nasi hanya dengan garam doang?”
Saya
tidak ingin siswa saya ini kecewa jika saya mengkritik jawabannya yang tidak
sesuai pertanyaan yang saya ajukan. Sambil tersenyum kecil saya menjawab saja
dengan jujur.
“Bukan
pernah lagi, tapi sering….! Kalau ditanya rasanya, ya… enak. Soalnya perut sudah
kelewat lapar sementara orangtua Bapak tidak punya uang untuk membeli bahan
lauk-pauk sebagai teman makan nasi.”
Saya
lihat dengan sudut mata, siswa saya ini serius mendengar cerita saya. Makanya
saya kembali melanjutkannya.
“Kalau
perut sudah lapar, jangankan pakai garam, hanya makan nasi doang akan terasa
enak. Tapi biasanya, Bapak akan mencari kelapa dan memarutnya sendiri kemudian
diberi garam. Makan nasi dengan parutan kelapa dan garam juga enak. Apalagi
dikasih sedikit cabai merah.”
“Kamu
pernah makan nasi dengan garam?” Kembali saya ulangi pertanyaan untuk siswa.
“Rasanya
belum pernah, pak.”
“Wah,
baguslah kalau begitu.”
“Lho?
Kenapa bagus, Pak?”
“Kamu
termasuk anak yang beruntung hidup di zaman moderen ini. Semua serba ada dan
mudah didapatkan. Kalau enggak ada teman makan nasi di rumah, kamu bisa belinya
di warung nasi. Sekarang sudah banyak warung nasi. Kalaupun tidak ada uang
sekarang, kamu bisa ngutang dulu. Iya kan?”
Murid
saya mengangguk.
Saya
kembali tersenyum kecil manakala saya melihat tangannya sedang menggenggam
android bagus. Androidnya saja bagus, apalagi penampilannya yang cukup
menarik. Mana mungkin siswa saya ini
pernah makan nasi dengan garam.
“Begitu
susahnya jadi anak sekolah zaman dulu ya, Pak?” tanya murid saya kemudian.
“Hm,
gimana, ya?” Saya garut-garut kepala yang memang tidak gatal. Namun akhirnya
dapat menjawabnya. “Kebetulan, Bapak sendiri memang hidup susah. Anak sekolah
sekarang juga ada yang susah hidupnya
meskipun zaman sudah canggih,”
“Meskipun
Bapak dulu semasa sekolah sering makan nasi dengan garam. Tapi Bapak rajin
belajar ya, Pak?”
Waduh,
ternyata siswa saya yang cantik ini nyinyir, kepo banget sama gurunya.
“Iya,
mungkin karena Bapak ingin hidup di kemudian hari tidak lagi makan nasi dengan
garam. Rajin pangkal pandai, begitu kata pepatah. Kalau rajin belajar semasa
sekolah nanti akan jadi orang pintar.”
Bunyi
nada pada mesin printfinger terdengar menghentikan percakapan antara saya
dengan murid. Bunyi nada frintfinger pertanda ambang batas waktu bertugas di
sekolah telah berakhir.***